Liputan6.com, Jakarta: Tak bisa melihat warna-warni dunia tak membuat seorang wanita asal Jambi berpangku tangan. Dengan segala keterbatasannya sebagai tuna netra ia berbagi kasih pada ratusan orang tersisih di Semarang, Jawa Tengah.
Nama wanita tersebut adalah Priskilla Smith Jully atau biasa dipanggil Priska. Ia tak bisa menyembunyikan kerisauannya saat mengetahui Reinhard dan Magen, dua dari puluhan anak angkatnya sakit. Priska pun bergegas memeriksakan mereka ke dokter spesialis.
Sejak lahir wanita berusia 34 tahun ini memang tak bisa melihat. Tapi Priska tak pernah berputus asa. Bahkan, kasih sayang mengantarkan ibu dua anak ini membuka pintu hati bagi siapa saja yang membutuhkan uluran tangan.
Karena tak lulus sekolah dasar, beragam profesi pernah dijalani Priska untuk menyambung hidup di perantauan. Mulai jadi kondektur bus, penyanyi kafe, penjual kue, penyiar radio hingga preman pasar.
Kini mantan preman ini membangun shelter bagi siapa saja yang disisihkan keluarga. Dimulai dengan menampung beberapa orang di kamar kosnya hingga berkembang menjadi sebuah panti belajar bagi ratusan orang dengan nama "School of Life".
Doa adalah salah satu metode pembelajaran yang dipercaya bisa membawa perubahan kemandirian bagi para anggota yang memiliki keterbatasan. Hal ini ditunjang dengan pemeriksaan kesehatan tiap pekan.
Untuk menghidupi keluarga besarnya Priska setidaknya harus menyediakan uang 80 juta rupiah perbulan. Jumlah anggota yang terus bertambah memaksanya mengontrak rumah yang lebih besar. Selama enam tahun School of Life berdiri, sudah tujuh rumah mereka tempati. Demi tempat tinggal yang layak bagi 100 penghuninya, Priska harus berkorban.
Ketiadaan donatur tetap membuat Priska dan para relawan harus turun langsung disetiap kesempatan. Mulai dari menjadi penyanyi di acara pernikahan sampai berjualan sembako dan pakaian bekas. Semua terwujud dengan bantuan 15 orang staf yang juga mengabdikan 24 jam waktu mereka untuk mengasihi sesama.
Tangan Priska selalu terbuka membagi kasih. Ia berharap bisa merengkuh lebih banyak lagi orang-orang tersisih untuk menghantar mereka menemukan makna kehidupan yang sebenarnya.(IAN)
Nama wanita tersebut adalah Priskilla Smith Jully atau biasa dipanggil Priska. Ia tak bisa menyembunyikan kerisauannya saat mengetahui Reinhard dan Magen, dua dari puluhan anak angkatnya sakit. Priska pun bergegas memeriksakan mereka ke dokter spesialis.
Sejak lahir wanita berusia 34 tahun ini memang tak bisa melihat. Tapi Priska tak pernah berputus asa. Bahkan, kasih sayang mengantarkan ibu dua anak ini membuka pintu hati bagi siapa saja yang membutuhkan uluran tangan.
Karena tak lulus sekolah dasar, beragam profesi pernah dijalani Priska untuk menyambung hidup di perantauan. Mulai jadi kondektur bus, penyanyi kafe, penjual kue, penyiar radio hingga preman pasar.
Kini mantan preman ini membangun shelter bagi siapa saja yang disisihkan keluarga. Dimulai dengan menampung beberapa orang di kamar kosnya hingga berkembang menjadi sebuah panti belajar bagi ratusan orang dengan nama "School of Life".
Doa adalah salah satu metode pembelajaran yang dipercaya bisa membawa perubahan kemandirian bagi para anggota yang memiliki keterbatasan. Hal ini ditunjang dengan pemeriksaan kesehatan tiap pekan.
Untuk menghidupi keluarga besarnya Priska setidaknya harus menyediakan uang 80 juta rupiah perbulan. Jumlah anggota yang terus bertambah memaksanya mengontrak rumah yang lebih besar. Selama enam tahun School of Life berdiri, sudah tujuh rumah mereka tempati. Demi tempat tinggal yang layak bagi 100 penghuninya, Priska harus berkorban.
Ketiadaan donatur tetap membuat Priska dan para relawan harus turun langsung disetiap kesempatan. Mulai dari menjadi penyanyi di acara pernikahan sampai berjualan sembako dan pakaian bekas. Semua terwujud dengan bantuan 15 orang staf yang juga mengabdikan 24 jam waktu mereka untuk mengasihi sesama.
Tangan Priska selalu terbuka membagi kasih. Ia berharap bisa merengkuh lebih banyak lagi orang-orang tersisih untuk menghantar mereka menemukan makna kehidupan yang sebenarnya.(IAN)