Liputan6.com, Jakarta - Hujan meteor Lyrid akan kembali melintasi langit malam sejumlah negara pada bulan ini. Diperkirakan oleh NASA, puncaknya akan terjadi pada 22-23 April 2019, meskipun penampakan rembulan dipredisksi jauh lebih cerah ketimbang 'kawanan' batu ruang angkasa tersebut.
Menurut NASA, fenomena hujan meteor tahunan itu bertepatan dengan memudarnya kecemerlangan dari Bulan gibbous atau Bulan cembung --fase di mana Bulan nyaris purnama.
Itu artinya, dengan tambahan sinar Bulan, penampakan hujan meteor diprediksi akan sulit diamati, berdasarkan keterangan dari para ahli astronomi, demikian seperti dikutip dari Daily Mail, Minggu (21/4/2019).
Baca Juga
Advertisement
Tahun ini, para peneliti di Giant Magellan Telescope telah merilis infografis yang diklaim bisa membantu para pengamat langit untuk menyaksikan dengan jelas hujan meteor Lyrid.
Kata mereka, penglihatan yang optimal terjadi dalam beberapa jam sebelum fajar menyingsing, di mana pun Anda berada di belahan Bumi utara.
Selain itu, penduduk pun bisa tak mengandalakan alat bantu seperti teleskop, sebab meteor biasanya dapat dilihat dengan mata telanjang.
Untuk menemukan lokasi yang dilalui meteor, kita disarankan untuk melihat bintang yang berkilau paling terang di rasi Lyra, agar bisa menemukan radiant --titik di langit di mana meteor bisa terlihat oleh manusia di Bumi.
Sementara itu, jumlah meteor Lyrid yang disinyalir akan melewati langit malam Bumi ialah 100 per jam. Sedangkan rata-rata meteor datang dengan sekitar 15 hingga 20 setiap jam.
Selama 2.700 tahun terakhir, para astronom telah memantau pergerakan Lyrid dengan penampakan pertama yang tercatat berasal dari Tiongkok kuno pada 687 SM.
Orang-orang dapat kembali mengamati Thatcher pada tahun 2276, sebab komet ini datang dengan periode orbit 415 tahun.
Di satu sisi, menurut situs web sky.org, hujan meteor Lyrid akan mencapai puncaknya pada 23 April 2019. Namun bintang jatuh ini kemungkinan akan mulai terlihat setiap malam mulai 19 hingga 25 April.
Mengamati Prospek
Dari New Delhi, pancaran bintang jatuh Lyrid akan muncul 30 derajat di atas cakrawala timur laut di tengah malam. Ini berarti, warga di Negeri Taj Mahal mungkin bisa melihat sekitar 5 meteor per jam.
Namun untuk melihat kehadiran meteor terbanyak, tempat terbaik untuk menyaksikannya ialah pada hamparan daratan yang luas dan minim sekali cahaya.
Jadi jika Anda ingin melihat sekilas bintang jatuh itu, Anda harus menengok langit pada Minggu malam, Senin subuh atau setelah Senin dini hari.
Di daerah pedesaan yang gelap, di bawah langit yang tak berbulan, pengamat bintang biasanya dapat melihat sekitar 10 hingga 20 meteor per jam, berjalan melintasi langit ketika hujan meteor Lyrid memuncak.
Jumlah itu amat jauh berbeda dengan apa yang terjadi di daerah perkotaan dan tempat-tempat lain yang penuh dengan lampu jalan dan penerangan lainnya.
Namun ada yang lebih buruk dari itu, yakni kehadiran Bulan Merah Jambu atau Pink Moon. Cahaya yang dipancarkan Bulan akan membatasi kemampuan kita untuk melihat meteor Lyrid ketika objek antariksa ini melintasi langit, kata astronom dari New Jersey, Kevin D. Conod, yang juga manajer di Newark Museum’s Dreyfuss Planetarium.
Conod menambahkan, waktu yang ideal untuk menyaksikan meteor adalah pada jam-jam sebelum fajar pada hari Senin, 22 April. "Dengan sinar Bulan yang cerah dan polusi cahaya dari lampu kota, kita mungkin hanya bisa melihat sekitar dua hingga tujuh meteor per jam," tulisnya dalam kolom astronomi jerseysbest.com.
Advertisement
Dari Mana Asal Meteor Lyrid?
Hujan meteor Lyrid adalah salah satu hujan meteor tertua dalam catatan sejarah astronomi dan meteor ini cenderung bergerak cepat dan cerah, menurut NASA.
Bintang jatuh tersebut sebenarnya adalah partikel debu kecil yang dibentuk dari ekor komet tua bernama Thatcher (C/1861 G1).
Setiap tahun, Bumi berpapasan dengan ekor berdebu Thatcher dan partikel-partikel komet akan terlihat melesat menembus langit, di mana biasanya terbakar di ketinggian sekitar 70 hingga 100 km dari permukaan tanah. Partikel-partikel meteor itu melaju dengan kecepatan sekitar 110.000 mph.
"Ketika komet mengelilingi matahari, debu yang mereka keluarkan secara bertahap menyebar di sekitar orbitnya," catat NASA.
"Setiap tahun, Bumi melewati jejak puing-puing ini, yang memungkinkan serpihan-serpihan itu bertabrakan dengan atmosfer kita di mana mereka hancur untuk menciptakan garis-garis berapi dan berwarna-warni di langit."