Liputan6.com, Jakarta - Hasil hitung cepat (quick count) pemilu 2019 oleh 10 lembaga survei hingga hari Rabu tengah malam, masih menempatkan pasangan calon (paslon) nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin, unggul sementara atas pasangan lawannya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Selisih suara diantara kedua kubu berkisar antara 7 hingga 11 persen, demikian sebagaimana mengutip laporan kantor berita ABC Biro Indonesia pada Sabtu (20/4/2019).
Baca Juga
Advertisement
Keunggulan sementara kubu Jokowo-Ma'ruf dalam hal perolehan suara hasil quick count, dinilai karena adanya fenomena perlawanan pendukung senyap atau "silent majority" terhadap oposisi.
Menurut Wahyudi Akmaliah, seorang pengamat dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI), pendukung senyap adalah mereka yang selama ini menyimak perdebatan seputar kontestasi politik pemilu presiden 2019, namun memilih tidak berkomentar atau menunjukan pilihannya.
"Pendukung senyap ini berjumlah cukup besar, dan enggan untuk menanggapi maraknya hoaks di tengah pertempuran kampanye kedua pendukung capres dan cawapres. Keberadaan mereka baru disadari ketika tiba saatnya menyampaikan suara di TPS," ujar Wahyudi.
"Pemilih jenis ini tahu bagaimana kinerja Jokowi, dan juga tidak ketinggalan mengamati sepak terjang Prabowo. Biasanya, mereka memilih menyimak saja (silent reader) dan enggan menanggapi hoaks yang kerap dilontarkan oleh militan pendukung paslon 02. Mereka membalasnya saat hari H pemilu di bilik TPS," lanjutnya menjelaskan.
Hoaks Cenderung Menyasar Jokowi?
Sepanjang masa kampanye pilpres 2019 yang berlangsung selama 8 bulan sejak September lalu, bermunculan fitnah dan hoaks di masyarakat melalui internet dan media sosial.
Berdasarkan beberapa survei, hoaks tersebut lebih banyak banyak menyerang paslon petahana Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.
Lembaga PoliticaWave menyebut Jokowi adalah korban hoaks politik terbanyak selama kontestasi Pilpres 2019, di mana 10 hoaks dengan jumlah percakapan terbanyak di internet sepenuhnya menentang pemimpin petahana.
Hoaks ini mengeluarkan isu penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet, utang pemerintah dari China, kontainer berisi surat suara, serbuan tenaga kerja hingga Jokowi dituduh PKI, dan masih banyak lainnya.
Namun, ditambahkan oleh Wahyudi Akmaliah, bahwa tidak dipungkiri agresivitas dan militansi pendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno ini memang berhasil mendongkrak suara signifikan kubu yang didukung.
"Hasil quick count ini cukup mengagetkan, di mana dukungan terhadap Prabowo melampaui estimasi banyak lembaga survei, dan selisih perolehan suaranya sangat tipis," ujar Wahyudi.
Advertisement
Warga Akui Persaingan Panas dalam Pilpres 2019
Sementara itu, sejumlah warga mengakui suasana pilpres 2019 ini memang sangat 'panas' dan sengit. namun mereka menilai hal itu sebagai 'bumbu' yang menyemarakkan pesta demokrasi di Tanah Air.
Linda (47) yang mendukung Joko Widodo sejak 2014 lalu mengaku terlibat debat sengit dengan pendukung 02 di grup Whatsapp yang diikutinya.
"Di grup Whatsapp saya memang lebih banyak (pendukung) 01, tapi yang 02 juga tidak mau kalah. Ada yang keluar dari grup, dan ada juga yang memilih tidak berteman dulu selama pilpres," ujarnya bercerita.
"Hampir setiap hari sahut-sahutan, tapi saya lebih memilih memberitahu yang positif-positif saja dari hasil kerja dan program Pak Jokowi," lanjut Linda.
Adapun bagi pemilih pemula seperti Gadiel (19), bersikap diam dan menghindari perdebatan adalah pilihan yang lebih baik.
"Di medsos memang seru saling serang, tapi kebanyakan pendukung Jokowi memang gak balas atau terpancing. Walau saya sebenarnya sebal, tapi tahan aja. Daripada dilawan mereka makin jadi, makin panas dan nanti dianggapnya kita (pendukung 01) sama seperti mereka, jadi saya biarkan saja," kata pemilih milenial ini.
Lain halnya dengan Anton Sitorus (55) yang memilih tidak terlalu terlibat dalam perdebatan seputar pilpres 2019.
"Kalau tidak begitu (saling berdebat), tidak seru dong pemilunya. Memang harus ada sengit-sengitan antar pendukung. Tapi saya tidak mau fanatik sekali sama hal 'begituan'. Hidup saja masih susah, untuk apa buang waktu ngotot membela capres. Langsung pilih saja jagoan kita," ungkap pria yang sehari-hari berprofesi sebagai pengemudi taksi di Jakarta itu.