Liputan6.com, Jakarta - Hasil hitung cepat atau quick count Pemilu 2019 mendapat tudingan negatif. Berbagai lembaga survei pun membeberkan data dan proses penghitungannya.
Diwadahi oleh Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi), mereka menggelar Ekspos Data Hasil Quick Count. Lembaga survei yang hadir yakni Charta Politika, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Indikator, Cyrus Network, Indo Barometer, Konsepindo, Populi Center, dan Poltracking.
Advertisement
Ketua Umum Persepi Philips J Vermonte menyampaikan, secara tegas, seluruh lembaga survei tidak pernah menyatakan quick count adalah hasil resmi.
"Aktivitas quick count dan exit poll adalah legal dan bisa dibilang difasilitasi dalam konteks penyelenggaraan pemilu. Yang tidak boleh adalah menyiarkan sebelum jam 15.00 WIB sore. Seluruhnya difasilitasi oleh hukum dan tidak melanggar apapun," tutur Philips di kawasan Menteng, Jakarta Selatan, Sabtu (20/4/2019).
Dalam acara di Hotel Morrissey itu, Persepi membuka booth lembaga survei untuk secara transparan membeberkan seluruh metodologi, manajemen, proses pelaksanaan, hingga ekspos data quick count.
"Quick count dan exit poll itu saintifik, metodenya establish, dan memiliki mekanisme yang tidak abal-abal. Bentuknya adalah partisipasi publik dan bila diminta buka data, kami buka. Tapi sekarang yang minta buka data, mau buka data juga enggak?" kata Philips.
Persepi sendiri selalu melakukan evaluasi bersama lembaga survei, baik yang menjadi anggota ataupun tamu undangan. Saat kasus 2014 lalu, ada 10 lembaga survei yang berpartisipasi dalam quick count dan tiga di antaranya menghasilkan persentasi tinggi untuk calon presiden Prabowo Subianto.
"Waktu itu 2014, tujuh lembaga persentase Jokowi unggul, tiga lembaga Prabowo. Persepsi mengadakan audit dan semua hadir untuk audit, sementara tiga ini tidak mau hadir untuk audit," kata Philips.
Direktur Charta Politika, Yunarto menyampaikan, isu peggiringan opini bahwa KPU pada akhirnya akan menyamakan hasil hitungnya dengan quick count adalah tidak bisa dipertanggungjawabkan dan jauh dari keilmiahan.
"Pihak yang sudah berani menyebutkan angka ke publik, kami juga mengimbau keterbukaan informasi sehingga publik tidak dibingungkan oleh klaim. Ini transparansi agar publik bisa melihat apakah kami sudah menjalankan sesuai prosedur. Semoga kita bisa mendapatkan hal yang lebih terang di sini," ujar Yunarto.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Quick Count Alat Pengontrol Kecurangan
Direktur Eksekutif SMRC Jayadi Hanan menyebut, quick count merupakan bentuk partisipasi masyarakat demi pemilu yang berjalan demokratis. Tentunya quick count menjadi alat referensi menilai hasil yang dikeluarkan secara resmi.
"Pemilu kita sudah berlangsung empat kali. 2004, 2009, 2014, 2019. Sudah tujuh kali termasuk Pileg. Sudah melakukan tiga kali siklus Pilkada, jadi ada lebih 1500 proses pemilihan dan seterusnya itu tidak pernah ada masalah dengan quick count. Politisi pun sebenarnya sudah terbiasa dengan quick count ini. Jelas quick count itu persoalan pengetahuan, bukan politik," beber Jayadi.
Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi mengatakan, secara historis quick count merupakan alat kontrol kecurangan.
"Jadi kita bangsa Indonesia dihadapkan kenyataan bukan hanya pemilu yang lama, tapi perhitungannya juga lama. Baru 22 Mei, kenapa lama, karena proses perhitungannya bertingkat-tingkat. Di situlah quick count berguna, supaya ada data pembanding KPU. Sehingga KPU bisa menangani adanya pencurian suara," ungkapnya.
Peneliti Senior Indo Barometer, Asep Saefudin meminta masyarakat bahkan elit politik sekalipun untuk paham perbedaan survei, exit poll, dan quick count. Untuk survei dan exit poll biasa dilakukan sebelum perhitungan Pemilu dan bentuknya menjadi opini.
Sementara quick count menggunakan sampel data hasil penghitungan dari TPS dan menggunakan metodologi yang sesuai.
"Kita siap transparan buka-bukaan data. Siap diaudit. Quick count ini kegiatan yang sudah sangat panjang dipersiapkan, sudah matang berbulan-berbulan. Rasanya tidak ada harganya sama sekali, sudah susah payah, dihargai dengan tukang bohong, hoaks. Rasanya gimana gitu," terang Asep.
"Perlu diketahui bagaimana kita merancang quick count ini. Buat sampel saja berminggu-minggu. Di KPU saja DKPP berubah-ubah setiap waktu dan kita harus sesuaikan. Belum lagi menyiapkan instrumen, dan seterusnya. Quick count ini bukan hasil final. Hasil final itu ada di KPU," lanjutnya.
Advertisement