Liputan6.com, Taiwan Sepak terjang Kartini yang menginspirasi tampak nyata dalam diri Yati. Ia adalah pekerja migran di Taiwan. Merantau jauh dari Tanah Air tercinta, dedikasi Yati yang bekerja keras sukses mengharumkan nama bangsa.
Baru-baru ini, Yati mendapat penghargaan sebagai salah satu pengasuh rumah tangga teladan. Seremoni penghargaan tersebut akan diberikan Walikota Hsinchu, Lin Chih-chien pada 28 April 2019.
Baca Juga
Advertisement
"Ada lebih dari 16.000 pekerja migran di Taiwan. Saya bersyukur atas tenaga dan jasa mereka untuk meringankan kekurangan tenaga kerja, khususnya sektor kesejahteraan sosial," kata Lin Chih-chien, dilansir dari Asia Times, Minggu (21/4/2019).
Yati telah bekerja di Taiwan selama lebih dari 11 tahun. Tiga tahun lalu, ia mulai bekerja untuk keluarga Lee. Sehari-hari, ia bertugas merawat ibu Lee yang sudah lanjut usia.
Wanita lansia 92 tahun itu dirawat di Cabang Hsin-Chu, National Taiwan University Hospital karena menderita pneumonia. Yati dan anak-anak Lee bergiliran merawatnya.
Perawatan yang apik dan sabar dari Yati membantu lansia tersebut pulih dengan cepat dalam waktu 22 hari. Praktisi dan perawat medis terkesan dengan upayanya.
Keluarga Lee menyatakan, mereka bersyukur telah bertemu Yati. Di mata keluarga Lee, Yati dikenal sebagai pengasuh yang baik dan peduli kepada semua orang.
Simak video menarik berikut ini:
Lulus SMA bertolak ke Taiwan
Kerja keras sebagai pengasuh yang merawat lansia juga dialami Yusni. Selepas lulus dari sekolah menengah di Jawa Barat pada usia 17 tahun, ia pindah ke Taiwan untuk bekerja sebagai pengasuh. Selama sembilan tahun pengalamannya, suka duka telah ia alami.
Dalam bahasa Mandarin, Yusni mengenang, saat pertama kali dirinya tiba di Taiwan. Ia tidak memiliki arahan, kecuali bekerja keras untuk mengirimkan uang ke rumah demi membantu menghidupi keluarganya.
Ia memutuskan mengais rezeki di Taiwan. Empat tahun pertama di Taiwan, Yusni memiliki sedikit kesempatan berteman dengan orang Taiwan. Ini karena ia harus bekerja hampir sepanjang waktu merawat lansia dari Hunan, Tiongkok yang menderita demensia.
Lansia tersebut tidak ada yang merawat karena anak-anaknya tinggal di luar negeri. Setahun kemudian, lansia itu dimasukkan di panti jompo, yang memungkinkan Yusni mendapatkan hari libur reguler setiap bulan.
Hubungan dengan lansia yang dirawatnya sangat baik. Namun, hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi Yusni yang kala itu masih berusia 17 tahun.
"Memberikan perawatan kepada seseorang dengan demensia dan gangguan pendengaran yang berhubungan dengan usia lanjut akan sulit bagi siapa pun pada usia 17 tahun. Karena dia berbicara dengan aksen Hunan yang kental. Sementara aku, hanya tahu sedikit bahasa Mandarin," ungkap Yusni, dilansir dari Focus Taiwan News Channel.
Advertisement
Kuasai bahasa Mandarin
Awalnya, sang "nenek Hunan" sering mengeluh karena Yusni dianggap cepat marah dan kurang memahami pasien demensia. Hal ini terkait dengan kendala bahasa. Tapi keduanya menjadi sangat dekat setelah Yusni belajar, bagaimana mengatasinya.
"Aku sangat berterima kasih kepada nenek Hunan dan aksennya yang kental," kata Yusni.
Yusni rupanya sangat serius belajar bahasa Mandarin dan meningkatkan pelafalannya. Kini, ia sudah mampu menguasai bahasa Mandarin dengan lancar seperti penduduk asli juga terampil membaca, menulis, dan mendengar bahasa Mandarin.
Sang nenek meninggal pada Februari 2017 setelah tujuh tahun dirawat oleh Yusni.
"Meskipun aku sangat merindukannya, aku tidak berani melihat foto-fotonya sampai saat ini (karena aku didera kesedihan luar biasa)," ujarnya.
Yusni juga pernah menderita kesedihan lain tatkala seorang lansia meninggal karena sakit pada Mei di tahun yang sama dengan kematian nenek Hunan. Dua kematian dalam waktu tiga bulan menyebabkan Yusni stres.
Saking stres, Yusni pernah ingin pulang ke Tanah Air. Tetapi kesedihan yang dirasakan oleh mendiang suami lansia itu membuatnya berubah pikiran.
"Anak-anaknya semua kembali ke rumah masing-masing setelah upacara pemakaman nenek. Dia (suami lansia) mengunci diri di kamarnya dan menangis," kata Yusni.
"Aku berpikir akan sangat tidak baik jika aku meninggalkan kakek dalam keadaan seperti itu. Aku tidak tega melakukan itu. Jadi, aku tetap tinggal."