Pekan Ini, Menhub Bakal Undang Maskapai Bahas Tiket Pesawat

Tarif tiket pesawat masih menjadi isu hangat. Apalagi menjelang Ramadan 2019, moda udara diprediksi masih jadi primadona bagi para pemudik.

oleh Athika Rahma diperbarui 22 Apr 2019, 10:59 WIB
Ilustrasi tiket pesawat (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Tarif tiket pesawat masih menjadi isu hangat. Apalagi menjelang Ramadan 2019, moda udara diprediksi masih jadi primadona bagi para pemudik.

Perihal itu, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menyatakan akan mengundang perwakilan maskapai untuk bahas tarif pesawat yang masih mahal.

"Minggu ini, akan kita undang maskapai untuk membicarakan soal tiket pesawat yang masih mahal, bagaimana bisa mengatur harga yang pantas untuk kalangan tertentu yang ingin menggunakan moda udara, tanpa mengorbankan kinerja maskapai," ujar Budi di Gedung Kementerian Perhubungan, Senin (22/4/2019).

Sebelumnya, maskapai pelat merah Garuda Indonesia sudah mencoba untuk turunkan harga tiket hingga 50 persen. Namun, harga tiket pesawat dirasa masih mahal. Akhirnya, sebagian besar penumpang memilih moda lain dan jumlah penumpang mengalami kemerosotan.

Imbasnya, Budi kembali mendesak Garuda untuk menyesuaikan harga tiket pesawat sesuai skema sub class. Skema yang dimaksud adalah harga tiket batas bawah dengan porsi 5 hingga 10 persen. Dalam waktu 2 minggu, harga tiket pesawat harus sudah turun.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Menhub Beri Waktu 2 Minggu

Ilustrasi Tiket Pesawat

Sebelumnya, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi memberikan waktu kepada maskapai penerbangan milik negara PT Garuda Indonesia untuk menyesuaikan harga tiket pesawat sesuai skema sub class. Skema yang dimaksud adalah harga tiket batas bawah dengan porsi 5 hingga 10 persen.

"Kalau 2 minggu lagi tidak bisa ya saya tetapin," ujar Menhub di Senayan, Jakarta, Rabu, 17 April 2019.

Menhub menilai, saat ini penurunan tiket Garuda belum dirasakan masyarakat. Dia pun mengaku sudah bertemu dengan Direktur Utama Garuda Indonesia Ari Ashkara.

"Jadi saya masukkan, sama kayak dulu, kalau orang beli itu terpampang tentang Y-Class dan segala macam (subclass lain). Sehingga orang tinggal milih," jelas dia.

Mantan Direktur Angkasa Pura II itu menyebutkan, saat ini mayoritas tiket angkutan udara pelat merah itu masih didominasi sub class tertinggi atau paling mahal. Padahal sudah ada kesepakatan untuk menurunkan harga tiket pesawat.

"Garuda dari dulu sepakat tetapi saya menganggap apa yang dilakukan selama ini tidak clear. Ini yang justru jadi catatan itu dari temen-temen sekalian," tandasnya.

 


Tarif Batas Bawah Tiket Pesawat Sulitkan Maskapai Berkembang

Calon penumpang memasuki pintu keberangkatan di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (13/2). Jumlah penumpang di jalur penerbangan domestik Bandara Halim menurun sebesar 18,38 persen sejak kenaikan harga tiket pesawat. (Merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Sebelumnya, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menilai adanya penetapan tarif batas bawah tiket pesawat membuat industri penerbangan dalam negeri sulit berkembang. Pasalnya, para pelaku di industri ini tidak memiliki fleksibilitas untuk menetapkan harga yang lebih murah guna agar bisa bersaing dengan pelaku lain.

Ketua BPKN, Ardiansyah Parman mengatakan, di tengah kebutuhan akan jasa angkutan udara yang semakin besar, konsumen kini dihadapkan pada tingginya harga tiket penerbangan. Hal ini salah satunya lantaran maskapai tidak bisa fleksibel dalam menentukan harga lantaran terbentur kebijakan tarif batas bawah.

"Akses masyarakat terhadap angkutan udara, sebenarnya pengaturannya tidak hanya sebatas menetapkan tarif batas bawah dan atas. Tarif batas bawah ini menyebabkan pelaku usaha tidak memiliki fleksibilitas ketika punya kesempatan untuk memberikan harga yang lebih rendah. Kalau dia berikan harga lebih rendah, dia akan melanggar aturan," ujar dia saat berbincang denganLiputan6.com di Jakarta, Selasa, 9 April 2019.

Menurut dia, sebenarnya pada saat-saat tertentu maskapai bisa saja memberikan harga tiket  pesawat yang lebih murah kepada konsumen. Contohnya, saat harus mengirimkan pesawatnya dalam kondisi kosong ke tempat lain.

"Sebenarnya ada pelaku usaha sebenarnya dia kirim pesawatnya dari Jakarta ke Ujung Pandang karena harus digunakan besok pagi hari, ini harus berangkat tengah malam. Ketika dia menawarkan harga yang rendah dan konsumen harus berkorban dengan berangkat tengah malam kan bisa saja," kata dia.

Oleh sebab itu, lanjut Ardiansyah, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebaiknya mempertimbangkan kembali kebijakan tarif batas bawah tiket pesawat.

Dengan demikian, maskapai tetap memiliki ruang untuk menentukan harga tiketnya tanpa mengurangi faktor keamanan dan keselamatan penumpang.

‎"Masalah (tarif batas bawah) dicabut atau tidak, itu kewenangan pemerintah. Tetapi intinya, untuk kepentingan nasional, untuk pertumbuhan jasa penerbangan di Indonesia, harus dipikirkan kebijakan yang out of the box agar kita bisa bersaing. Jangan sampai konsumennya sulit, nanti pelaku usaha tidak (berkembang). Kita kan masih membutuhkan jasa transportasi yang mudah, yang aksesnya murah, tetapi tidak ada tawar menawar mengenai keamanan dan keselamatan," tandas dia.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya