Liputan6.com, Wellington - Baru-baru ini Menteri Pertahanan Sri Lanka Ruwan Wijewardene mengatakan bahwa bom beruntun di negaranya yang terjadi pada Minggu Paskah, 21 April 2019 merupakan pembalasan atas serangan di dua masjid Kota Christchurch, Selandia Baru. Sebuah klaim yang dipertanyakan oleh para ahli terorisme.
Pemerintah Selandia Baru tidak diam terkait klaim tersebut.
Baca Juga
Advertisement
"Kami telah melihat laporan pernyataan dari Menteri Pertahanan Sri Lanka yang menuduh hubungan antara serangan teroris Minggu Paskah dan serangan 15 Maret di Christchurch," kata Juru Bicara Perdana Menteri Jacinda Ardern yang dikutip dari Sydney Morning Herald, Rabu (24/4/2019).
Kantor PM Ardern juga mengatakan, negaranya "belum melihat adanya laporan intelijen yang menjadi dasar penilaian semacam itu." Untuk diketahui, Wijewardene juga tidak memberikan bukti di parlemen.
"Warga Selandia Baru menentang terorisme dan kekerasan ekstrem dalam segala bentuknya. Setelah serangan di masjid Christchurch, kutukan pelaku kekerasan dan pesan perdamaian yang menyatukan kita semua," ujar sumber yang sama.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh ahli terorisme mengatakan, perlu waktu berbulan-bulan untuk merencanakan pengeboman terkoordinasi.
Jika dihitung, maka jarak antara insiden Christchuch dan Sri Lanka hanya berselang satu bulan lebih enam hari.
Sebanyak 321 orang dinyatakan tewas dalam insiden pada Minggu yang bertempat di delapan tempat. Pengeboman dilaporkan terjadi di tiga gereja, empat hotel mewah, dan rumah warga. Sebagian dari korban meninggal termasuk pula anak-anak, bahkan bayi berusia delapan bulan.
ISIS Klaim Dalang Serangan
Sementara itu pada Selasa 23 April 2019, ISIS mengklaim sebagai dalang teror bom bunuh diri beruntun di Sri Lanka. Tidak seperti operasi lainnya yang langsung memberikan klaim, pengakuan kelompok teror itu baru diberikan dua hari usai peristiwa-- melalui corong media ISIS, Amaq.
Namun, kelompok itu tidak memberikan bukti apa pun untuk mendukung klaim mereka. Lebih lanjut, pengakuan itu seperti pada berbagai serangan teroris sebelumnya, seolah bersifat oportunistik untuk mencari sorotan semata.
Kendati demikian, otoritas Sri Lanka sebelumnya telah menduga bahwa organisasi teroris internasional mungkin telah membantu kelompok lokal National Thowheeeth Jamaath (NTJ) dalam melancarkan bom bunuh diri pada Minggu. Kelompok NTJ telah masuk radar Sri Lanka 10 hari sebelum insiden 21 April 2019.
Pejabat Amerika Serikat mendukung dugaan Kolombo bahwa NTJ mungkin dibanntu pihak luar. Sumber-sumber pejabat AS mengatakan kepada CNN bahwa mereka telah mengidentifikasi aktor penting dalam teror bom di Sri Lanka dan untuk sementara menyimpulkan bahwa orang tersebut memiliki koneksi ke organisasi terorisme internasional, termasuk ISIS.
Amerika sedang mencoba mencari tahu seberapa terlibat ISIS dalam memfasilitasi serangan, kata pejabat itu, termasuk apakah para operator ISIS menyediakan perencanaan, pembiayaan, peralatan untuk membuat bom, dan apakah mereka bertemu langsung dengan para penyerang Sri Lanka.
"Kami masih mencari kemungkinan koneksi dan seberapa dalam," kata pejabat AS.
Sementara itu sebelumnya, pejabat Amerika Serikat lain yang berbicara dalam kondisi anonimitas menyatakan, dalang teror bom beruntun Sri Lanka diduga kuat terinspirasi ISIS.
"Indikasi intelijen awal adalah bahwa kelompok yang bertanggung jawab atas serangan di Sri Lanka terinspirasi oleh ISIS," kata seorang pejabat AS kepada koresponden CNN untuk Pentagon, dilansir pada hari Selasa.
Advertisement
Skeptis
Tak seperti serangan teror yang melanda belahan dunia beberapa waktu terakhir, klaim sepihak yang datang dari ISIS terhadap tragedi di Sri Lanka 21 April 2019 datang dalam periode waktu yang lama.
Kini, klaim tersebut --jika benar-- dianggap sebagai sebuah kemunduran bagi situasi keamanan Sri Lanka, mengingat selama ini, ISIS tak memiliki banyak kehadiran di Negeri Ceylon.
ISIS memang pernah mencoba merekrut anggota dari Negeri Ceylon. Pada tahun 2016, seorang pejabat Sri Lanka mengatakan bahwa 32 warga Sri Lanka telah bergabung dengan kelompok itu.
Namun, selama berpuluh-puluh tahun terakhir, tidak pernah ada catatan ISIS atau sel-selnya beroperasi secara signifikan di negara mayoritas umat Buddha itu.