Liputan6.com, Jakarta Masyarakat Indonesia konon terkenal ramah dan santun. Namun, perilaku saling caci maki dan penyebaran hoaks saat itu, utamanya dalam Pemilu 2019, menunjukkan ada pergeseran tata nilai berbahasa.
Bahkan, pergeseran tata nilai dan kesantunan berbahasa pada saat ini sudah termasuk mengkhawatirkan. Pola bicara dan tutur sapa antarmasyarakat Indonesia semakin mengedepankan saling mengalahkan, bahkan saling menguasai antarpeserta tutur dalam sebuah komunitas tutur.
Advertisement
Adab tuturan berbahasa, yaitu rasa tenggang rasa, saling menghormati, dan tidak menegatifkan muka lawan tutur menjadi kebiasaan langka dan aneh di persada Indonesia ini.
Bahasa ibu sebagai sumber ilham kesantunan berbahasa sudah tergantikan oleh gawai, sehingga perkembangan anak-anak dan pola tuturnya berkembang tidak sewajarnya. Anak-anak Indonesia mulai tercerabut dari jati diri keindonesiaannya dan melupakan muruah, baik kesantunan berbahasa Indonesia maupun berbahasa daerah.
Malahan, pola tutur keminggris cenderung menggunakan bahasa manasuka atau basa-basi serta semakin disukai. Masyarakat Indonesia pun belum seluruhnya memahami bahwa menegakkan, menghormati, dan membela harkat dan martabat, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah, adalah salah satu upaya pemertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Apabila Presiden Republik Indonesia selalu mendengungkan tol laut, darat, dan udara untuk mempersatukan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka mengutamakan, melestarikan, dan menjaga muruah bahasa Indonesia dan bahasa daerah manfaatnya jauh lebih dahsyat untuk persatuan dan kesatuan NKRI.
Sebab, di dalam falsafah bahasa negara dan daerah menyimpan khazanah kesantunan dan jati diri bangsa Indonesia. Pilar dasar pembangunan revolusi mental yang diusung oleh Presiden Ir. H. Joko Widodo sudah seharusnya dimulai dari model pengutamaan bahasa Indonesia, baik di ruang publik maupun pemanfaatan di forum-forum resmi negara tingkat nasional serta internasional.
Selain itu, bahasa daerah juga wajib dilestarikan karena kekayaan bahasa daerah akan memperkaya cakrawala keindonesiaan di masa depan, yaitu jiwa nasionalisme yang berisi rangkaian kebinekaan bahasa dan sastra di seluruh Indonesia.
Bahasa dan Kesatuan NKRI
Sampai saat ini pun masih diperlukan sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia, baik penyelenggara negara, berbagai pemangku kepentingan, maupun masyarakat awam di Indonesia terkait pentingnya pengutamaan bahasa Indonesia dan pelestarian bahasa daerah.
Bahkan, masih banyak yang belum tahu bahwa di Indonesia ada lembaga yang mengurusi pengutamaan bahasa Indonesia dan pelestarian bahasa daerah, yaitu Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan memiliki sejarah perjalanan panjang. Jejaknya mulai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Kongres Bahasa Indonesia I di Solo pada 25—27 Juni 1938, dan dilindungi oleh UUD 1945 Bab XV Pasal 35 dan 36 mengenai bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu kebangsaan. Dasar hukum lainnya, Undang-Undang No 24 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu kebangsaan. Fungsinya diperkuat oleh PP No 57 2014 tentang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra, serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia.
Sejarah awal berdirinya Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan dimulai dengan cikal bakal Lembaga Bahasa Nasional, Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Pusat Bahasa, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, dan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan dengan munculnya Perpres No 101 Tahun 2018 tentang perubahan atas Perpres No 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa berubah menjadi Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan.
Advertisement
Peran Badan Bahasa
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) sekarang menjadi Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merupakan instansi pemerintah yang ditugaskan untuk menangani masalah kebahasaan dan kesastraan di Indonesia.
Sebagai badan yang telah lama menangani masalah kebahasaan dan kesastraan, Badan Bahasa mempunyai sejarah panjang. Pada tahun 1930-an pemerintah kolonial Belanda sudah mulai mengadakan penelitian tentang kebudayaan yang ada di Indonesia. Sementara itu, usaha swasta sejak tahun 1930 diwakili oleh Yayasan Matthes, yang pada tahun 1955 namanya berubah menjadi Yayasan Sulawesi Selatan Tenggara yang berkedudukan di Makassar (Ujung Pandang).
Pada tahun 1947 dibentuk Fakultas Sastra dan Filsafat, Departemen van Onderwijs, Kunsten en Wetenschapen (Kementerian Pengajaran, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan) yang bertujuan menampung kegiatan ilmiah universitas, terutama dalam bidang bahasa dan kebudayaan.
Pada Maret 1948, dibentuk lembaga yang bernama Balai Bahasa, yang diresmikan di Yogyakarta atas dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Mr. Ali Sastroamidjojo, Nomor 1532/A tanggal 26 Februari 1948.
Berikut adalah sejarah pembentukan lembaga-lembaga yang nantinya akan menjadi Badan Bahasa dan Perbukuan, yaitu dibentuklah Lembaga Bahasa dan Budaya (1952), Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (1959), Direktorat Bahasa dan Kesusastraan (1966), Lembaga Bahasa Nasional (1969), Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (1974), Pusat Bahasa (2000), Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2010), dan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan (2018).
Sejarah panjang berdiri dan dibentuknya Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan tersebut sudah selayaknya diapresiasi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Sehingga agenda pemartabatan serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi PBB 2045 sesuai amanah Kongres Bahasa Indonesia(KBI) XI juga harus menjadi agenda Presiden Indonesia ke depan.
Jika hal tersebut terwujud bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar tidak akan pernah melupakan jati dirinya serta akan berdaya saing di tingkat global dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Masyarakat Indonesia pun tidak sibuk hanya mempermasalahkan berita bohong, hoaks, pencemaran nama baik, dan bahkan isu-isu radikalisme.
Kesantunan berbahasa pun akan menjadi hiasan dan buah tuturan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, mulai Miangas hingga Pulau Rote. Semoga.