Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diingatkan untuk membuat sektor energi harus lebih transparan, untuk menghindari terjadinya praktik pemburu uang yang merugikan negara.
Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan, sektor energi rentan terjadi praktik pemburu rente, pelanggaran korupsi dan suap, sebab kebutuhannya lebih banyak ketimbang pasokannya.
"Menurut saya hampir semua sektor, praktik pemburuan rente sering terjadi apalagi sektor energi sisi demand besar sementara suplai terbatas," kata Faisal, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Baca Juga
Advertisement
Menurut Faisal, untuk memitigasi terjadinya praktik pemburu uang, pemerintah harus meningkatkan transparansi pengelolaan sektor energi, baik dari Hulu hingga hilir.
"Yang jelas masalah transparansi pengelolaan energi baik hulu industri perminyakan batu bara sampai hilir," tutur Faisal.
Faisal pun menitik beratkan pengawasan yang lebih jeli pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menangani sektor energi. Ini sebab menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam menyalurkan energi.
"Terutama untuk BUMN terkait terkait juga cash flownya, ini menyangkut hajat hidup orang banyak, sebab itu transparansi harus diperkuat," tandasnya.
* Ikuti Hitung Cepat atau Quick Count Hasil Pilpres 2019 dan Pemilu 2019 di sini
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
KPK Tetapkan Dirut PLN Sofyan Basir Tersangka Korupsi PLTU Riau-1
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menetapkan Direktur Utama PLN Sofyan Basir sebagai tersangka. Sofyan diduga terlibat dalam korupsi pembangunan PLTU Riau-1 yang melibatkan mantan anggota Komisi VII Eni Saragih dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham.
"KPK meningkatkan penyidian SFB Direktur Utama PLN diduga membantu Eni Saragih selaku anggota DPR RI, menerima hadiah dari Johannes Kotjo terkait kesepakatan kontrak pembangunan PLTU Riau-1," kata Komisioner KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di Gedung KPK, Selasa, 23 April 2019.
Peningkatan proses hukum dari penyelidikan ke penyidikan ini berdasarkan dua alat bukti juga berdasarkan fakta persidangan yang melibatkan empat tersangka sebelumnya, antara lain Eni Saragih, Johannes Kotjo, dan Idrus Marham.
Sebelumnya, mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham divonis 3 tahun penjara oleh majelis hakim Tipikor Jakarta. Idrus dinyatakan terbukti menerima Rp 2,25 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR) melalui mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.
Majelis hakim berpendapat, meski dalam perkara ini Idrus tidak menikmati hasil korupsinya. Sebab, berdasarkan fakta persidangan Idrus yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal dan pelaksana tugas Ketua Umum Partai Golkar mengetahui penerimaan uang oleh Eni Saragih.
Advertisement
Vonis Eni Saragih
Sementara Eni Maulani Saragih divonis 6 tahun pidana penjara oleh majelis hakim Tipikor, Jakarta Pusat. Politikus Golkar itu dinyatakan terbukti menerima suap Rp 4,75 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo atas pengurusan proyek PLTU Riau-1.
"Mengadili oleh karena itu terhadap terdakwa Eni Maulani Saragih dengan pidana penjara selama 6 tahun denda Rp 200 juta apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 2 bulan," ucap Ketua Majelis Hakim Yanto saat membacakan vonis Eni, Jumat, 1 Maret 2019.
Hakim juga mencabut hak politiknya selama 3 tahun.
Berdasarkan fakta persidangan, majelis hakim meyakini keterlibatan Eni dalam kasus ini diawali perintah Setya Novanto, mantan Ketua Partai Golkar, kepada Eni agar membantu bos dari Blackgold Natural Resources (BNR), Johannes Budisutrisno Kotjo, akrab disapa Kotjo, memfasilitasi bertemu dengan Direktur Utama PT PLN persero Sofyan Basir.