Liputan6.com, Cirebon - Berbagai cara dilakukan masyarakat guna merawat keharmonisan antar sesama. Terutama kembali bersatu usai mengikuti momen pemilihan umum. Menang kalah selalu ada dalam setiap kompetisi.
Seperti yang ada di Cirebon, warga di Pantura Jawa Barat ini memiliki tradisi yang tak pernah lepas usai mengikuti pesta demokrasi.
"Warga Cirebon sudah lama hidup dalam nuansa demokrasi sebenarnya dan ini terlihat dalam setiap pemilihan kepala desa yang dipilih langsung oleh masyarakat," ujar Filolog Cirebon Opan Safari, Kamis (24/4/2019).
Baca Juga
Advertisement
Dia menuturkan, awal mula pemilihan kepala desa dipilih langsung oleh masyarakat pada masa Ki Gedeng Alang-alang. Saat itu Ki Gedeng Alang-alang dipilih secara aklamasi menjadi kepala desa dan Pangeran Cakrabuana sebagai wakilnya.
Seiring dengan berkembangnya Cirebon, model pemilihan kepala desa melalui pemilihan langsung semakin menjalar. Momen pesta demokrasi di Cirebon pada masa itu berjalan lancar tanpa kendala signifikan.
"Pemilihannya sederhana murah namanya Wiwian calon kepala desa yang maju itu dipajang oleh panitia pemilihan kemudian warga yang memilih tinggal baris di belakang calon kepala desa itu. Ada juga yang menggunakan media biting," ungkap Opan.
Opan mengatakan, dalam setiap pemilihan kepala desa di Cirebon persaingan selalu sehat. Siapapun kepala desa di Cirebon yang menang, masyarakat kembali bersatu dalam damai. Kumandang baikan dong pun bergema dari Kota Cirebon.
Masuknya Penjajah
Bahkan, usai menggelar pemilihan kepala desa, masyarakat menggelar sebuah syukuran. Kepala desa yang menang mentraktir makan seluruh warga desanya.
"Sudah turun temurun dan jadi tradisi makan-makan tiga hari tiga malam setiap pedagang yang lewat dipanggil kepala desa pemenang dan semua merasakan. Termasuk kepala desa dan pendukungnya yang kalah," kata dia.
Seiring berjalannya waktu, kehidupan berdemokrasi yang diwariskan Ki Gedeng Alang-alang dan Pangeran Cakrabuana itu berubah. Seiring datangnya penjajah, kehidupan demokrasi Cirebon yang tulus tanpa tedeng aling-aling bernuansa politis.
"Sekitar abad 17 mulai berubah kepala desa harus memberi upet sampai setiap ada yang ingin maju menjadi calon kepala desa harus sowan dulu ke Sultan Belanda atau Jepang. Padahal dulu tidak dan Sultan itu tugasnya hanya melantik," kata dia.
Sejak saat itu, tidak sedikit masyarakat, kepala desa hingga keluarga besar keraton melakukan perlawanan. Padahal, kata Opan, pada masa Sunan Gunungjati, tidak pernah menerapkan sistem upeti ke masyarakat Cirebon.
Opan menjelaskan, Sunan Gunungjati menerapkan sistem zakat kepada warga nya. Melalui kepala desa, zakat tersebut dikelola untuk ketahanan pangan dan warga tidak mampu.
"Terlihat sejak era Sultan Matangaji Sultan ke V Keraton Kasepuhan," ujar dia.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement