Harga Minyak Turun Tipis Imbas Stok AS Melonjak

Harga minyak melemah tipis seiring stok persediaan Amerika Serikat (AS) melonjak. Akan tetapi, harga minyak masih berada di posisi tinggi.

oleh Agustina Melani diperbarui 25 Apr 2019, 06:15 WIB
Ilustrasi Tambang Minyak (iStock)

Liputan6.com, New York - Harga minyak stabil mendekati level tertinggi dalam enam bulan setelah data menunjukkan stok Amerika Serikat (AS) naik ke level tertinggi sejak Oktober 2017.

Hal ini melawan kekhawatiran pasokan yang ketat dihasilkan dari pengurangan produksi OPEC dan sanksi AS terhadap Venezuela dan Iran.

Harga minyak berjangka Brent melemah sembilan sen menjadi USD 74,42 per barel pada pukul 01.00 waktu setempat. Harga minyak acuan ini capai level tertinggi pada perdagangan Selasa waktu setempat di kisaran USD 74,73 per barel.

Sementara itu, harga minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI) melemah 49 sen menjadi USD 65,81 per barel. Harga kontrak minyak mencapai USD 66,60 per barel pada perdagangan Selasa, dan harga itu tertinggi sejak 31 Oktober.

Persediaan minyak mentah naik 5,5 juta barel pada pekan lalu. The Energy Administration mengatakan, angka tersebut jauh melebihi dari perkiraan analis sekitar 1,3 juta barel.

Namun, stok bensin turun 2,1 juta barel. Penurunan itu lebih besar dari yang diperkirakan.

"Apa yang kami lihat adalah angka utama dari harga minyak yang tertekan tetapi didukung oleh data bensin. Karena sanksi yang dijatuhkan pada Iran dan fakta itu tidak akan ada keringanan membuat angka tersebut lebih terlihat menguat," ujar Analis Price Futures Group, Phil Flynn seperti dikutip dari laman Reuters, Kamis (25/4/2019).

Harga minyak mentah berjangka dan pengiriman untuk pasar spot spot naik setelah AS mengatakan akan mengakhiri semua pembebasan sanksi terhadap Iran.

Selain itu menuntut negara-negara menghentikan impor minyak dari Iran sejak Mei atau menghadapi sanksi. Langkah ini meningkatkan kekhawatiran tentang ketatnya pasokan minyak global.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Selanjutnya

Ilustrasi Tambang Minyak (iStock)

Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif menuturkan, AS harus bersiap hadapi konsekuensi jika berusaha hentikan Iran dari menjual minyak dan menggunakan Selat Hormuz.

China, pelanggan minyak terbesar Iran secara resmi mengeluhkan langkah ini.

AS mengatakan, melihat Arab Saudi sebagai mitra untuk menyeimbangkan pasar minyak. Menteri Energi Saudi, Khalid al-Falih menuturkan, produksi negaranya tidak akan jauh berbeda dari bulan-bulan sebelumnya.

Ia menambahkan, Arab Saudi bertujuan mempertahankan kuota produksi yang ditetapkan dalam kesepakatan oleh OPEC, Rusia dan lainnya. Akan tetapi, penentuan Juni tergantung pada kebutuhan pelanggan.

"Jika pasar mulai terlihat terlalu ketat dengan pengurangan ekspor Iran, Saudi memiliki kapasitas untuk mengurangi dampak tanpa melanggar janji OPEC+ dan membahayakan komitmen kelompok OPEC+," ujar dia.

Sementara itu, data EIA menunjukkan produksi AS mencapai level tertinggi 12,2 juta barel per hari pada pekan lalu.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya