Liputan6.com, Karanganyar - Pesta politik sudah usai. Namun karena digerakkan para politisi yang mencari dukungan instan, ternyata menyisakan berbagai masalah. Masa kampanye yang diisi dengan kebencian dan pemujaan berlebihan menyisakan permusuhan.
Dari banyak literasi dan tradisi yang masih hidup, sangat banyak kearifan lokal yang diperuntukkan untuk menjaga dan merawat perdamaian. Bahasa anak-anak milenial "baikan dong", menjadi sebuah gaya hidup di Nusantara.
Praktisi dan peneliti budaya Jawa Hangno Hartono, dari Yayasan Cahaya Nusantara (Yantra) sesungguhnya dalam tradisi jawa ada tradisi konflik. Bahkan kosa kata asli bahasa Jawa juga tak mengenal kata mungsuh (musuh).
Baca Juga
Advertisement
"Jika kemudian ada, itu adalah serapan dari bahasa sansekerta maupun bahasa Melayu," kata Hartono.
Barangkali tradisi Dukutan di lereng Gunung Lawu, Tawangmangu Kabupaten Karanganyar bisa menjadi gambaran. Ini adalah sebuah tradisi untuk merawat perdamaian gaya masyarakat Jawa.
Tradisi Dukutan, rutin digelar warga Dusun Nglurah, Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar. Tradisi ini rutin digelar tiap Selasa Kliwon di wuku Dukut (kalender Jawa). Melibatkan para pemuda dan warga dari dua wilayah pedukuhan yakni Nglurah Lor (Utara) dan Nglurah Kidul (Selatan).
Digelar di situs Candi Menggung yang merupakan leluhur Dusun Nglurah. Candi Menggung adalah situs yang dikeramatkan oleh warga Nglurah. Warga meyakini bahwa leluhur mereka, Kyai dan Nyai Menggung, bersemayam di punden itu. Leluhur yang dipertemukan dengan permusuhan dan berakhir melalui perdamaian.
Simak video pilihan berikut:
Bertikai
Upacara dimulai saat iring-iringan yang diawali sesepuh kampung diikuti lelaki pembawa sesaji, ibu-ibu, dan warga lain menaiki tangga Situs Menggung. Lelaki pembawa sesaji mengenakan pakaian menyerupai prajurit. Atasan lurik dan bawahan celana selutut ditutupi jarit/kain.
Sesaji yang dipanggul itu ditata pada tampah persegi. Tampah adalah alas dari pelepah dan daun pisang. Isi sesaji sama, yaitu tungku berisi bara api dan kemenyan, aneka bunga, jajan pasar, hasil bumi, nasi jagung, gudangan, kendi berisi air sendang, dan lain-lain.
Kemudian sesaji diletakkan di dekat arca berbentuk lingga dan yoni di komplek Situs Menggung. Sesepuh kampung berdiri di luar situs dekat pohon yang diduga berusia ratusan tahun. Dia menengadahkan dua tangan dan merapal doa. Sesaji yang sudah didoakan dibagikan kepada lelaki yang berdandan menyerupai prajurit.
Mereka memeluk pincuk daun pisang (wadah dari daun pisang berbentuk kerucut terbalik) berisi peluru. Peluru-peluru yang berupa isi sesaji ini sudah diremas-remas untuk kemudian dilempar kepada warga yang hadir, sambil mengelilingi bagian dalam komplek Situs Menggung.
"Hoe..... Hore.....Hla kae wong e!" teriak para petugas berpakaian prajurit itu sambil melemparkan sesaji di pincuk ke luar kompleks situs.
Saat melempar inilah yang menjadi simbol pertikaian. Banyak yang usil melemparkan ke kerumunan warga. Bahkan sengaja mencari-cari jika ada warga yang bersembunyi. Mereka memburu warga hingga ke ladang. Karena ladang posisinya lebih tinggi dari tempat upacara, mereka banyak yang berlari mengejar.
Dramaturgi harus dituntaskan. Agar pertikaian itu benar-benar hidup dan memiliki jiwa, warga menghindari lemparan peluru berupa makanan itu. Alasannya sepele, bau yang tak sedap.
Advertisement
Menghindar, Memanfaatkan
Dua perempuan usia setengah abad, Lamiyem dan Tukiyem, menghindar dengan berdiri di jalan setapak menuju ladang warga.
"Madepo mburi ndak kena rai. Kembange lebokke dompet. Iki mengko banyune diombe trus pangananne didum. (Menghadaplah ke belakang agar tak mengenai wajah. Bunganya masukkan dompet. Nanti airnya diminum dan makanannya dibagi)," kata Lamiyem menasihati.
Lamiyem dan Tukiyem membawa plastik bening berisi air dan kantong plastik warna hitam. Plastik bening berisi air sendang (mata air) di dekat situs. Kantong plastik hitam berisi makanan sesaji.
"Njupuk gandik, bongko, sambel, toya sendang, sekar. Kangge syarat sehat. (Ambil gandhik, bongko, sambel, air sendang, dan bunga. Untuk syarat kesehatan)," kata Lamiyem.
Gandik adalah makanan lokal yang terbuat dari jagung putih lokal yang direndam dan ditumbuk. Ada dua jenis, gandik coklat yang terasa manis karena dicampur gula kelapa, dan gandik putih yang terasa gurih. Semua yang hadir, baik warga desa maupun bukan kebagian gandik yang berukuran dua jari orang dewasa.
Menurut Wagimin, tokoh Kampung Nglurah, tak semua orang memasak sesaji dan makanan kenduri. Perempuan yang memasak tidak boleh dalam kondisi haid dan harus mandi besar. Mereka tidak boleh menggunakan bahan dari beras dan ayam.
Tumpeng yang dijadikan sesaji terbuat dari nasi jagung. Ingkung pada sesaji dan kenduri diganti tempe bakar. Tamu yang datang mendapat suguhan gandik.
"Ada punar (makanan dari jagung) warna kuning dari kunir, hitam dari arang, dan merah dari gula. Tidak semua orang tahu," kata Wagimin.
Makanan yang disantap saat kenduri berbeda dengan yang disiapkan untuk sesaji. Wagimin menyebut perbedaan pada warna, bentuk, dan ukuran. Makanan kenduri terdiri dari nasi jagung, panggang tempe, bongko, ares, botok. Semua makanan ditata pada wadah dari daun dan pelepah pisang.
"Nggak boleh dicicipi saat masak. Tetapi rasanya selalu enak dan pas," tambahnya.
Permusuhan Awal Jatuh Cinta
Lalu bagaimana dengan pertikaian yang berakhir damai?
Digambarkan dengan kedatangan kedua rombongan pemuda. Masing-masing kelompok mendandani dirinya agar tampak lebih garang dari lawannya. Mereka akan dipertemukan pada sebuah area yang telah ditentukan.
Kedua kubu yang telah tersulut adrenalinnya itu kemudian saling ejek satu sama lain. Sangat kolosal. Menuju klimaks, kedua kelompok diajak mengelilingi makam leluhur mereka sambil membawa keranjang berisi sajian yang telah disediakan tadi.
Skenario berlanjut, saat mengelilingi makam inilah ada yang memprovokasi, suasana berubah riuh ketika para pemuda dari dua wilayah tadi mulai saling melempar makanan dalam keranjang. Ketika kelelahan mereka berhenti dan makan bersama. Disitulah perdamaian terwujud.
Tradisi ini berdasar kisah bermula dari pengembaraan yang kemudian tinggal di Nglurah Lor. Dalam pengembaraannya bertemu dengan Nyai Roso Putih dari Nglurah Kidul yang sakti. Pertemuan itu justru berlanjut dalam kekisruhan dan adu kekuatan hingga melibatkan warga dari dua wilayah.
Kisah pertempuran kedua sosok itu akhirnya berakhir bahagia karena akhirnya saling mencintai. Mereka menikah dan hidup bahagia bersama para warga dari dua dusun.
Akhir bahagia inilah yang kemudian menjadi jiwa tradisi Tawur DUkutan. Tradisi ini berlangsung sekali dalam tujuh bulan.
Advertisement
Jawa Tak Kenal Konflik, Namun Harmoni
Kembali dalam kajian ilmuwan, Hangno Hartono menyebutkan bahwa di Jawa hanya mengenal harmoni, tanpa konflik, sinkretik, ekletik.
"Itu akhirnya bermuara pada konsep manunggaling kawula-gusti. Konsep kemanunggalan ini kalau jaman sekarang bisa dimaknai sebagai manunggalnya rakyat dan pemerintah, atasan dan bawahan. Sangat cantik ketika diadopsi TNI menjadi TNI Manunggal Masuk Desa," kata Hangno.
Kunci utama menjaga roh perdamaian adalah tolernsi. Yang kuat tidak sombong dan memamerkan kekuatannya, justru malah diam-diam membantu yang lemah. Sebaliknya, yang lemah juga tak memanfaatkan kelemahannya untuk mengemis pada yang kuat.
Pesta demokrasi sudah selesai. Pesta sungguhankah? Atau hanya ritual lima tahunan yang tak berarti apa-apa jika menyisakan kebencian dan permusuhan.
"Baikan dong."