Indef: Kebijakan BI Tahan Suku Bunga Kurang Tepat

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga terus menguat tajam, pertanda kepercayaan investor sudah mulai pulih terhadap investasi di Indonesia.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 26 Apr 2019, 10:45 WIB
Karyawan menghitung uang kertas rupiah yang rusak di tempat penukaran uang rusak di Gedung Bank Indonessia, Jakarta (4/4). Selain itu BI juga meminta masyarakat agar menukarkan uang yang sudah tidak layar edar. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk tetap mempertahankan bunga acuan atau BI 7-day Reverse Repo Rate di level 6 persen. Bunga acuan ini bertahan di posisi 6 persen sejak 15 Nopember 2018.

ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Dzulfian Syafrian berpendapat, kebijakan yang dijalankan oleh BI tersebut kurang tepat. Ini mengingat perkembangan perekonomian nasional dan global dalam 6 bulan belakangan, seperti inflasi yang terkendali sangat baik dan rendah.

"Rupiah secara umum juga terus menguat. Rupiah menguat tidak hanya terhadap dolar AS (USD), tapi juga terhadap mata uang lainnya seperti euro, yen Jepang, dan pound sterling Inggris," jelas dia, Jumat (26/4/2019).

Pertimbangan lainnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga terus menguat tajam, pertanda kepercayaan investor sudah mulai pulih terhadap investasi di Indonesia. Negara tidak lagi dianggap rentan, khususnya terhadap krisis moneter atau mata uang seperti tahun lalu.

"Hal ini juga didukung oleh data, menurunnya imbal hasil surat utang jangka panjang (tenor 10 tahun) yang berarti risiko perekonomian kita sudah menurun dibanding sebelumnya," jelas Dzulfian.

Selain itu, ia memprediksi perekonomian dunia juga masih akan melambat dibandingkan ekspektasi sebelumnya. "Hal ini juga telah dibahas khusus di pertemuan World Bank Group meeting 2 minggu lalu di Washington DC. Yang berarti, ancaman arus modal keluar ke luar negeri akan mereda dibanding tahun lalu," sambungnya.

"Selama 2018, memang rupiah babak belur dan menyentuh level terendahnya dalam beberapa tahun belakangan, namun masa itu sudah lewat. 2019 tidak akan seperti itu," dia menambahkan.

Oleh karenanya, ia menyimpulkan, keputusan BI yang masih mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate di angka 6 persen belum sesuai. "Singkat kata, menurut saya kebijakan mempertahankan suku bunga BI ini kurang tepat," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


BI Tahan 7-day Reverse Repo Rate di Level 6 Persen

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menggelar konferensi pers di Jakarta, Kamis (17/1). Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Januari 2019 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 6 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang berlangsung pada 24 dan 25 April 2019 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 6 persen.

"Sedangkan untuk suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25 persen dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen," jelas Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo di Jakarta, Kamis (25/4/2019).

Ia menjelaskan, keputusan tersebut sejalan dengan upaya memperkuat stabilitas eksternal perekonomian Indonesia. 

Sementara itu, untuk mendorong permintaan domestik Bank Indonesia memperluas kebijakan yang lebih akomodatif antara lain dengan:

- Meningkatkan ketersediaan likuiditas dan mendukung pendalaman pasar keuangan melalui penguatan strategi operasi moneter

- Mendorong efisiensi pembayaran ritel melalui perluasan layanan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia/SKNBI (penambahan waktu dan percepatan setelmen, peningkatan batas nominal transaksi, dan penurunan tarif)

- Mendorong sisi supply transaksi Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), khususnya melalui penyederhanaan ketentuan kewajiban underlying transaksi

- Mendorong implementasi penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di pasar uang dan pasar valas (market operator)

- Mengembangkan pasar Surat Berharga Komersial (SBK) sebagai alternatif sumber pendanaan jangka pendek oleh korporasi

- Mendorong perluasan elektronifikasi bansos non tunai, dana desa, moda transportasi, dan operasi keuangan pemerintah.

Koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait juga terus dipererat guna mempertahankan stabilitas ekonomi, khususnya dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan, serta menjaga momentum pertumbuhan ekonomi ke depan, khususnya dalam memperkuat permintaan domestik dan mendorong ekspor, pariwisata dan aliran modal asing.


Ketidakpastian Pasar Keuangan Berkurang

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo saat memberikan keterangan usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Jakarta, Kamis (21/2). BI kembali menahan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7RRR) di angka 6 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Onny Widjanarko pada menambahkan, perbaikan ekonomi global lebih rendah dari prakiraan, sementara ketidakpastian pasar keuangan berkurang.

Ekonomi AS tumbuh melambat dipengaruhi menurunnya pendapatan dan keyakinan pelaku usaha, terbatasnya stimulus fiskal pasca berakhirnya penurunan pajak korporasi, serta berlanjutnya permasalahan struktural di pasar tenaga kerja.

Demikian pula ekonomi China masih melambat, meskipun telah dilakukan ekspansi fiskal melalui pemotongan pajak dan pembangunan infrastruktur.

Perbaikan ekonomi Eropa diprakirakan lebih lambat akibat melemahnya ekspor dan belum selesainya permasalahan di sektor keuangan serta berlanjutnya tantangan struktural terkait kondisi aging population.

"Demikian juga perbaikan ekonomi negara-negara Amerika Latin dan Timur Tengah lebih rendah dari prakiraan," kata dia. 

Sejalan dengan perlambatan ekonomi dunia, volume perdagangan dan harga komoditas global menurun, kecuali harga minyak yang naik pada periode terakhir karena faktor geopolitik.

Respons kebijakan moneter global tidak seketat prakiraan semula sehingga ketidakpastian pasar keuangan global berkurang.

Perkembangan ekonomi global di satu sisi memberikan tantangan dalam mendorong ekspor, namun berkurangnya ketidakpastian keuangan global di sisi lain berdampak positif bagi aliran masuk modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya