Liputan6.com, Jakarta - Pria paro baya itu duduk tertunduk di kamar mandi Padepokan Antigalau Yayasan Al Busthomi di Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jabar. Ember penuh air dan kembang 'tujuh rupa' disiapkan di depannya.
Kaos dan celana putihnya seketika basah usai seorang pria menyiramkan air bunga tersebut ke kepalanya.
Advertisement
YA, inisial pria tersebut, tengah menjalani ritual mandi kembang. Tujuannya satu, ingin menenangkan pikirannya yang galau.
Caleg Partai Gerindra tersebut gundah gulana lantaran perolehan suaranya tak mencapai target untuk lolos ke parlemen. Ia pun depresi.
YA tercatat sebagai caleg DPRD Kabupaten Cirebon daerah pemilihan (Dapil) VII.
"Hitungan sementara dari beberapa TPS hasilnya sekitar 1.000 suara. Targetnya 7.000 suara. Jauh dari target," kata YA di Padepokan Antigalau.
YA beruntung tak harus menjual semua aset dan hartanya untuk modal kampanye. Dia mengaku hanya bermodal jaringan dan keyakinan.
Tak cuma YA, ada pula caleg yang datang ke Padepokan Antigalau dengan wajah murung. Caleg yang enggan disebut identitasnya ini depresi lantaran harta dan asetnya habis untuk modal kampanye.
Pimpinan Yayasan Al-Busthomi Cirebon yang mengelola Padepokan Antigalau, Ustaz HM Ujang Bustomi mengatakan, caleg tersebut menangis saat menceritakan kisahnya. Rasa sedih dan sakitnya berlipat ganda saat sang istri memilih hengkang.
"Habis tenaga, pikiran, materi, lalu ditinggal istrinya. Ada uang abang disayang, tidak ada uang abang ditendang," kata Ustaz Ujang menceritakan kisah sang caleg, kepada Liputan6.com, Jumat (26/4/2019).
Saat ini sudah ada enam caleg yang datang ke padepokannya. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah. Mereka mencurahkan isi hatinya kepada sang ustaz.
"Mereka sakit hati, tidak terima kekalahan, ada juga yang dikerjain tim sukses. Mikirin uang banyak yang sudah dikeluarkan," ujar Ustaz Ujang.
Rata-rata, kata Ujang para caleg itu mengalami depresi ringan. Mereka tidak bisa tidur. Ada pula yang sulit diajak berkomunikasi sehingga dibawa oleh keluarganya datang ke padepokan tersebut.
Untuk menyembuhkan depresinya, para caleg gagal tersebut mengikuti berbagai tahapan terapi dan pengobatan spiritual. Ustaz Ujang mengatakan, metode penyembuhan fokus menggunakan media air.
Para caleg terlebih dulu akan mendapat motivasi serta nasihat spiritual, pencucian otak dengan penanaman ilmu Tauhid. Menurut dia, caleg yang kalah dan depresi karena terlalu terbawa suasana politik.
"Jadi seakan meyakini politik adalah segalanya, menuhankan politik. Padahal, politik itu hanya bagian dari perhiasan dunia. Kalau kalah ya sudah, namanya juga pesta demokrasi," kata dia.
Tidak sedikit caleg gagal tersebut memilih untuk menginap di padepokan.
"Mereka itu sebenarnya butuh tenang, banyak istirahat dan tidur, jangan banyak pikiran. Saya sudah bilang kalau nyaleg ya harus siap kalah dan menang," sambung dia.
Setelah diberikan nasihat spiritual, pasien akan dimandikan air yang ditaburi beragam bunga dan doa. Dia menjelaskan, air menjadi media terapi karena dapat membuang aura negatif dalam tubuh.
Air, lanjut Ustaz Ujang, bisa membuat hati, pikiran dan fisik menjadi tenteram. Namun, demikian, dia menekankan pasien yang ikut terapi tersebut tetap berdoa dan meminta kesembuhan kepada Allah.
"Terapi ini kan hanya media pembantu saja, termasuk saya, selebihnya pasien itu sendiri. Waktu untuk mandi air kembang bebas tergantung kesiapan pasien mau pagi atau malam sekalipun tak masalah," kata dia.
Setelah mandi kembang, para caleg gagal tersebut akan ikut proses rukiyah. Dia mengatakan, umumnya pasien yang datang berhasil mengikuti berbagai tahapan pengobatan.
Dia menyebutkan, pada pileg tahun 2014 lalu, padepokan antigalau menangani 12 caleg gagal yang depresi. Namun, beberapa di antara mereka mengalami depresi yang cukup berat.
"Maksimal satu bulan kalau menginap di padepokan terapinya bukan hanya mandi kembang saja ada terapi khusus yang kami lakukan, yang intinya, kami ajak mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah, berdoa agar hidup normal," kata dia.
Berbeda dengan caleg yang mencari ketenangan jiwa di Padepokan Antigalau, ada pula caleg yang menumpahkan amarahnya dengan membakar surat suara karena kecewa perolehan suara tak sesuai harapan.
KS, caleg untuk PDIP untuk DPRD Kota Sungai Penuh, dan temannya, RJ, anggota Panwas Desa Koto Padang, harus dibekuk polisi lantaran nekat membakar surat suara.
Peristiwa ini terjadi pada Kamis, 18 April dini hari lalu, usai penghitungan suara di TPS 1, 2, dan 3 di Desa Koto Padang, Kecamatan Tanah Kampung.
Mereka kemudian diperiksa intensif oleh tim Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jambi.
Hasil pemeriksaan sementara, tindakan itu dipicu kekecewaan pelaku. KS mengaku karena perolehan suara di tiga TPS di Desa Koto Padang, Kecamatan Tanah Kampung, tak sesuai harapan.
Atas peristiwa ini, KPU Kota Sungai Penuh dan KPU Provinsi Jambi, harus melakukan pemungutan suara ulang.
Berbeda dengan para caleg yang stres karena gagal, Muannas Alaidid, menganggap menang kalah dalam kompetisi adalah hal yang wajar.
Caleg dari PSI yang gagal melenggang ke Senayan ini sudah menerima kekalahannya dan menganggap sebagai risiko perjuangan.
"Itu risiko perjuangan, sejauh ini tidak ada caleg PSI yang stres lalu bunuh diri," ujar Muannas kepada Liputan6.com.
Tak mau terlarut dalam kekecewaan, dia mengaku akan fokus berjuang agar tetap dikenal masyarakat untuk bekal pemilu selanjutnya.
"Pastinya pascapemilu ini tugas besar sudah menanti kami untuk tetap eksis di 2024," kata dia.
Selain itu, kata Muannas, dirinya juga memiliki tugas untuk menjaga rekan-rekannya yang lolos di tingkat provinsi. "Itu kita minta agar mereka menjaga amanah yang telah diberikan," tandas Muannas.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Siap Menang Tak Siap Kalah
Fenomena caleg gagal yang stres ini terus terjadi setiap pelaksanaan pemilu. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, caleg yang depresi ini biasanya bukan kader politik yang matang. Sehingga mereka tak bisa beradaptasi dengan dunia politik yang kompleks.
"Mereka orientasinya kekuasaan, sehingga kurang rasional dalam berkompetisi. Uang habis-habisan, menghalalkan segala cara tapi mereka hanya siap menang, tidak siap kalah," kata Titi kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (26/4/2019).
Demi kekuasaan itu, kata Titi, untuk menjadi caleg DPR, setidaknya mereka harus mengeluarkan uang sebesar Rp 1 miliar, bahkan ada yang Rp 9 miliar untuk modal kampanye.
Seharusnya, kata dia, ketika mereka mengajukan diri menjadi caleg orientasinya bukan kekuasaan, tetapi nilai-nilai kemanusiaan dan ideologi kepartaian.
Sementara, kata Titi, partai cenderung membiarkan para calegnya habis-habisan mengeluarkan modal. "Bagi partai yang penting mendapat suara sebanyak-banyaknya. Mereka tidak membantu calegnya berkampanye secara proporsional," ujar Titi.
Untuk mencegah calegnya stres gara-gara gagal memperoleh suara, sebaiknya partai membuat pembatasan belanja kampanye agar mereka tidak jor-joran. Kemudian, untuk menjadi caleg setidaknya harus melalui proses kaderisasi minimal 3 tahun.
Sebab, selama ini partai banyak yang mengajukan calegnya dari para pesohor, orang populer yang tidak pernah menjalani kaderisasi.
"Asal comot saja, siapa yang mau dimasukin (jadi caleg) tetapi tidak dibekali dengan pemahaman pengetahuan kepemiluan yang cukup," kata dia.
Pesan moralnya, kata Titi, untuk menjadi caleg harus berorientasi pada nilai-nilai kebajikan, sehingga lebih iklas jika kalah bertarung.
Untuk caleg yang terlanjur stres, kata Titi, partai harus bertanggungjawab dengan memberikan konseling agar mereka bisa kembali hidup normal.
"Bagaimanapun mereka sudah bekerja keras untuk partai. Bagaimana pun harus ada kompensasi, mereka (partai) harus mengambil tanggung jawab untuk pemulihan," tandas Titi.
Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta M Taufik mengaku sudah memberikan cukup pembekalan kepada para calegnya sebelum berkompetisi. Mereka, kata dia, sudah diwanti-wanti harus siap menang atau kalah.
Tapi, jika masih ada caleg yang stres gara-gara kalah pemilu, kata Taufik, kemungkinan rekrutmen pada tahap psikotes kurang cermat, sehingga ada saja caleg yang tidak siap mental.
"Tapi stres sejenak itu manusiawi, asal jangan seterusnya," ujar Taufik kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (26/4/2019).
Gerindra, kata Taufik memberikan layanan psikolog bagi para caleg yang stres karena gagal.
Sementara itu, Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan DPP PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari mengatakan, partainya hanya memberikan bantuan hukum jika ada caleg yang merasa dicurangi.
"Asumsinya (caleg) tidak stres, PDIP menganggap semua orang yang mendaftar (caleg) adalah orang dewasa yang independen," kata Eva kepada Liputan6.com.
Namun, jika masih ada caleg yang mentalnya tak siap kemungkinan sistem dalam rekrutmen kurang sempurna.
"PDIP kaderisasi paling bagus walaupun di last minute ada tambahan. Tapi namanya sistem nggak ada yang sempurna," tutur Eva.
Meski begitu, kata Eva, PDIP sebenarnya sudah melakukan tes psikologi sebelum rekrutmen caleg. Namun, Eva mengakui jika sistem rekrutmen tersebut belum sempurna terutama di daerah.
"PDIP sudah melakukan tes psikologi berkaitan dengan kemampuan untuk ber-dealing dengan kompleksitas, dan kemampuan menghadapi kegagalan," tandas Eva.
Advertisement
Mengapa Caleg Bisa Stres?
Ada caleg yang stres karena gagal, ada pula caleg yang bisa menerima kekalahan lalu melanjutkan hidupnya. Lalu mengapa bisa berbeda efeknya pada masing-masing individu?
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan RI, dr Fidiansjah SpKJ penyebab stres yang terjadi pada individu sebenarnya tidak bisa diprediksi. Namun, yang pasti, ketika daya tahan mental rapuh, lalu ada gejolak antara cita-cita dan harapan sementara realitasnya tidak terpenuhi bisa menyebabkan seseorang mengalami stres.
"Orang-orang yang rapuh menghadapi antara realitas dengan kenyataan bukan hanya pada pemilu. Tapi terjadi di semua kondisi. Untuk itu, prinsipnya di dalam penyeleksian pasti mengalami kemenangan atau kegagalan," kata dokter yang karib disapa Fidi.
"Maka kesiapan menerima kenyataan karena tidak sesuai yang diharapan harus bisa menerima. Prinsip pertamanya itu siap kalah dan menang," lanjutnya kepada Liputan6.com, Rabu (17/4/2019).
Sebenarnya, sebelum seseorang maju menjadi calon legislatif, orang ini harus menunjukkan surat keterangan kesehatan termasuk kesehatan jiwa. Namun, ketika seseorang gagal duduk di kursi DPR atau DPRD hal ini dianggap sebagai kejadian tidak biasa. Bisa dianalogikan seperti bencana alam yang memang tidak bisa diprediksi.
"Ini sebuah situasi yang diketahui banyak pihak sebagai sesuatu seperti kejadian yang tidak biasa atau bencana. Proses ini (pemilu) adalah proses persaingan dan gangguan jiwa itu bisa terjadi dari ringan sampai tingkat berat," kata Fidi.