Liputan6.com, Aceh - Penjual CD bajakan pernah menjamur di Indonesia. Geliat para penjualnya sempat mengusik industri musik dan perfilman di tanah air, namun, usaha ini kini mulai tidak mendapat tempat di tengah kepungan zaman yang serba daring, era yang juga menjadi pedang bermata dua bagi industri yang sama.
Liputan6.com mewawancarai Mukhtar (28), seorang pelayan toko yang menjual CD/VCD/DVD bajakan di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, Jumat malam, (26/4/2019). Lelaki asal Kecamatan Bubon ini berkeluh-kesah soal toko tersebut yang sepi pembeli.
Advertisement
Saat mengunjungi ruko yang berada di Jalan Singgah Mata itu, Mukhtar tengah duduk termangu berkalang kepal tinju di sudut meja kasir. Alunan selawat yang disetel dengan volume yang cukup besar memenuhi seisi ruangan.
Toko itu penuh tumpukan CD/VCD/DVD yang ditaruh di rak kayu yang ditata secara berbilik-bilik. Sekilas, koleksi seri animasi anak Adit & Sopo Jarwo tahun terbit 2014 dan 2015 yang pernah menampang di stasiun tv nasional Indosiar berjejer di atas barisan album sejumlah band Indonesia, seperti Kotak, Slank, hingga Ridho Rhoma dan Sonet 2.
Tidak hanya film dan lagu-lagu saja, di rak paling kiri toko terlihat tumpukan DVD Play Station 2 yang warna sampulnya mulai pudar dimakan usia. Selain itu, juga terlihat konsol PS2 di kiri atas meja kasir.
"Itu bang, baru masuk. Album terbarunya," Mukhtar menunjuk deretan VCD lagu-lagu Aceh.
Salah satu sampul album tersebut menampilkan wajah penyanyi lokal kenamaan. Kumpulan VCD yang menurutnya orisinal itu, dihargai Rp15 ribu hingga Rp20 ribu per keping.
Beberapa tahun yang lalu, ketika telepon pintar belum menjadi gawai wajib dan digunakan hampir seluruh lapisan dan usia, VCD lagu-lagu Aceh seperti itu masih laris manis.
Toko 'Aneka Disc' saat itu tak pernah sepi pembeli. Bahkan, album pertama penyanyi yang sama yang ditunjuk oleh Mukhtar tadi pernah dibabat habis oleh pembeli hingga ratusan keping dalam sehari.
"Karena ini grosir. Jadi diambil sama penjual lain juga. Sehari, ketika itu pernah habis terjual sangat banyak. 2016, dapat Rp30 juta kita," dahi Mukhtar mengernyit mencoba meyakinkan.
VCD album lagu-lagu Aceh tersebut dibeli dari pemasok di Banda Aceh seharga Rp7 ribu per keping lantas dijual dengan harga dua kali lipat. Ini untuk mengakali untung rugi.
"Kalau tidak kita jual begitu, rugi. Karena banyak kaset sisa nanti yang tidak terjual. Kita sekali ambil 5 ribu keping, sekali masuk barang. Kalikan saja satu kaset kita beli Rp7 ribu. Itu kalau laku semua, pas tidak laku, kan rugi? Makanya harga selalu dua kali lipat," urai Mukhtar.
Untuk CD/VCD/DVD lainnya, dijual dengan harga yang bervariasi, mulai dari Rp7 ribu, Rp10 ribu, Rp15, hingga di bawah Rp50 ribu. Cakram-cakram ini katanya dipasok dari Jakarta dengan harga dasar rata-rata sedikit lebih murah dari harga VCD lagu-lagu Aceh.
Menurutnya, selama ini tidak pernah ada razia kendati CD/VCD/DVD tersebut rata-rata adalah CD bajakan. Kondisi ini berlaku bagi pelaku usaha yang sama, hampir di seluruh Aceh.
"Selama ini di Aceh di daerah kita, setahu saya tidak pernah. Kalau pun ditutup, istilahnya, (razia), sekarang sih tidak masalah pun, kan sudah mau tutup juga," Mukhtar agak tersenyum tawar saat mengatakan ini.
Senja Kala
Usaha tempat Mukhtar bekerja kiranya sudah di ujung senja, kendati nasibnya sedikit lebih beruntung dari beberapa toko lain yang bergerak di usaha yang sama. Setidaknya, terdapat 3 toko grosir CD/VCD/DVD telah gulung tikar di Meulaboh.
Angka ini belum termasuk toko nongrosir. Sepengetahuan Mukhtar, di kawasan itu saja, sudah 2 toko yang tutup, beberapa lainnya mencoba bertahan, walaupun terseok-seok.
"Ini kata toke saya, 3 bulan lagi tutup juga. Ini kita habiskan barang yang ada saja dulu. Habis ini, tutup. Padahal, jual CD/VCD/DVD seperti ini, sudah sejak sebelum gempa dan tsunami. Saya belum tahu lagi mau kerja apa setelah ini," kata Mukhtar.
Menurutnya, alasan kenapa CD, VCD, dan DVD bajakan kurang peminat saat ini karena terpaan arus teknologi daring. Seseorang saat ini tinggal mengunduh atau menonton secara streaming jika ingin mendengarkan lagu atau menonton film.
"Ada Youtube, tinggal koneksi Wifi, atau ada paket. Cari saja suka hati. Download. Semua ada di tangan. Yang kasian, yang rekam kaset. Tidak laku lagi, kan kasihan. Itu sih menurut aku," Mukhtar menutup bincang-bincangnya karena seorang pembeli tiba-tiba saja datang.
Adek (30), satu-satunya pembeli malam itu, yang datang ketika toko hampir tutup kiranya punya pendapat berbeda. Lagu-lagu dalam bentuk CD/VCD/DVD lebih ia sukai dibanding hasil unduhan.
Adek mengaku masih sering memutar CD/VCD/DVD di rumahnya. Selain memakai diska lepas (flashdisk), dia juga masih menggunakan cakram saat memutar musik di mobilnya.
"Entah, tapi, saya suka saja beli yang beginian. Ya, walaupun bajakan. Saya juga buka Youtube, sih. Tadi, saya sempat lihat lagunya lebih dulu di Youtube. Nah, ini saya mau beli kasetnya," kata Adek, sembari terus mengecek VCD di jejeran album lagu lawas, namun, tak menemukan album Deddy Dores yang tengah diincarnya.
Advertisement
Pedang Bermata Dua
Terlepas dari fenomena di atas, menjual CD/VCD/DVD bajakan tidak dibenarkan. Itu melanggar Pasal 72 Ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan pelakunya terancam penjara 5 tahun atau denda Rp500 juta.
Namun demikian, bahwa perwajahan zaman berhiaskan teknologi daring yang menawarkan segala sesuatu cepat saji di era digital ini memang sedikit banyak telah menggoyang tahta industri permusikan dan perfilman di Indonesia.
Tak termungkiri, internet dan teknologi digital telah menggeser paradigma musik secara global. Ring back tone (RBT) atau nada pesan lagu sebagai alternatif distribusi musik awal 2000-an menjadi penanda pergeseran tersebut.
Cara masyarakat menikmati musik pun telah berubah total. Situs-situs yang menawarkan pemutaran musik baik audio dan video kian menyemak saat ini.
Orang-orang mulai beralih, meninggalkan CD/VCD/DVD, dan sejenisnya. Pun demikian dengan toko-toko musik fisik yang menjualnya: tutup.
Namun, kondisi ini tidak selamanya menjadi mimpi buruk. Zaman selalu berbanding lurus dengan para pelakunya: manusia.
Banyak musisi memanfaatkan teknologi daring, misal, menjadikan media sosial sebagai wadah promosi. Namun, keadaan ini telah membuka pintu bagi siapa saja menjadi musisi instan, tanpa perlu bersusah payah seperti yang dilakukan musisi di era sebelumnya.
Pun begitu nasib dunia perfilman. Situs-situs penyedia layanan streaming menjadi pilihan terbaik bagi orang-orang yang hendak menonton film kekinian tanpa susah-susah harus ke bioskop.
"Dulu, mesti beli orisinal. Lalu ada bajakan, lalu internet. Era baru, era serba comot sana sini. Lebih parah dari masa kaset bajakan membludak. Tapi juga kian degradatif. Instan, dan serba lemah. Artis dumay menjamur. Gak seasyik dulu, ketika karya dan pelakunya itu masih sangat-sangat bernilai dan mengabadi," kata penikmat lagu-lagu Nike Ardilla asal Meulaboh, Er Ara, kepada Liputan6.com, Sabtu pagi (27/4/2019).
Simak juga video pilihan berikut ini: