Liputan6.com, Jakarta - Petani Indonesia dapat dikatakan belum sejahtera. Lantaran, akses modal bagi petani untuk mengembangkan lahannya masih sulit didapat.
Guna meningkatkan produktivitas petani khususnya petani padi, Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) berencana kembangkan program pembiayaan berkelanjutan bagi para petani.
Usulan pengembangan dihimpun dalam Focus Group Discussion KEIN bertajuk Strategi Permodalan yang Berkelanjutan dalam Pengembangan Agribisnis Padi, Senin (29/4/2019).
Baca Juga
Advertisement
Ketua Pokja Pangan, Industri Pertanian dan Kehutanan KEIN, Benny Pasaribu menyatakan, Kredit Usaha Tani (KUT) masih belum menjawab keresahan petani.
"Saya kira pasca KUT, masalah permodalan petani masih belum juga selesai. Pertumbuhan produksi petani entah itu padi, jagung, semuanya meningkat, tapi apakah kesejahteraan petani ikut meningkat? Inilah yang harus kita bahas," ujar dia di Jakarta, Senin (29/4/2019).
Benny menambahkan, perbankan masih sulit menyebar kredit pada petani karena tidak adanya agunan dari petani. Padahal, Non Performing Loan (NPL) para petani cukup rendah, yaitu dibawah 3 persen, yang menandakan tanggung jawab para petani dalam membayar utang justru lebih baik.
"Oleh karenanya kita harapkan dari FGD ini menghasilkan formula yang tepat agar petani untung dan mandiri," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
KEIN Rangkul Pesantren Hadapi Revolusi Industri 4.0
Sebelumnya, Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Soetrisno Bachir merangkul dan menggandeng santri Ponpes Zainul Hasan Genggong, Probolinggo untuk mengoptimalkan peran ekonomi di dunia santri dan sekaligus juga mempersiapkan tunas muda dalam menghadapi tantangan revolusi industri 4.0.
“Bagaimana saat ini mensinergikan antara pesantren dengan pemerintah. Dampaknya akan luar biasa dan hal itu tidak dilakukan sebelumnya. Jika ini diprogramkan dengan pemerintah, akan lebih baik lagi,” tuturnya, Minggu, 28 April 2019.
Mantan politisi PAN tersebut menjelaskan, bahwa sinergi antara pesantren itu akan memiliki dampak luar biasa. Jika usaha mandiri pesantren diprogramkan bersama pemerintah. Contoh, yang semula omzetnya hanya berkisar antara Rp 10 miliar, jika diprogramkan bisa menjadi Rp 100 miliar. Hal itu tentunya bisa memberikan dampak pertumbuhan ekonomi signifikan. Bagi masyarakat, utamanya Probolinggo.
"Bila disini di Ponpes omzetnya para santri sekitar 10 miliar, maka bila sudah di Jakarta akan bisa berlipat seperti halnya menjadi 100 miliar," katanya. Lebih lanjut, Soetrisno Bachir berharap, Ponpes Zainul Hasan Genggong bisa menjadi pusat ekonomi keumatan. Hal ini akan menjadi contoh untuk pesantren lain di seluruh Indonesia.
Saat ini, pertumbuhan ekonomi nasional masih berkisar antara 5 persen. Dengan adanya penguatan ekonomi santri, diharapkan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional sampai 7 hingga 8 persen.
"Keadaan itu bisa tercapai jika seluruh pesantren yang ada di Indonesia, juga menerapkan sistem ekonomi santri. Guna menjawab tantangan revolusi industri 4.0," ucapnya.
Sedangkan Kyai Mutawakkil, pengasuh Ponpes Zainul Hasan Genggong, berharap ekonomi santri tersebut segera disampaikan pada presiden dan bisa dialokasikan, untuk membuktikan bahwa seorang santri itu bisa mengelola dan memajukan perekonomian.
"Ya semoga dengan adanya pak Bachir, usulan Ekonomi santri ini dapat tersampaikan pada pak Jokowi, santri itu tidak hanya menguasai ilmu agama, namun juga mengusai ilmu sosial seperti perekonomian," katanya.
"Di ponpes ini kami banyak mempunyai omzet seperti kita punya mangga Estate yang luasnya sekitar 60 hektar, dan santri ini banyak yang memiliki keahlian seperti membuat produk kerajianan dari produk kerajinan konsumsi sampai kerajinan tangan," ujarnya.
Advertisement
KEIN: Kurikulum Harus Bisa Menyesuaikan dengan Era Industri 4.0
Sebelumnya, kurikulum perguruan tinggi harus menyesuaikan peluang dan tantangan revolusi industri ke-4 (4.0). Penyesuaiannya ini akan membentuk lulusan yang kompeten, berpengetahuan (knowledge), berketerampilan (skill), serta bersikap (attitude).
Demikian disampaikan Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Soetrisno Bachir dihadapan mahasiswa STIKES Muhammadiyah Ciamis dan generasi milenial Muhammadiyah, Sabtu, 16 Maret 2019.
"Kita harus mendesain kembali kurikulum terutama perguruan tinggi untuk menyesuaikan era industri 4.0," kata Soetrisno.
Revolusi industri 4.0 menuntut sumberdaya manusia berpendidikan tinggi (high education). Pemahaman pendidikan tinggi di sini adalah pada kurikulum dan jenjang pendidikannya.
Dalam kurikulumnya bukan hanya membentuk SDM berketerampilan tinggi, tetapi juga kafa'ah, himmah, dan amanah. SDM yang seperti ini akan mengelola potensi alam menjadi bernilai tinggi, tetapi dengan pendekatan tanpa merusak alam.
"Belakangan ini kita mengenal ekonomi syariah, yang salah satu penekannya adalah menjaga keseimbangan alam, maka kita masukan nilai-nilai ekonomi syariah pada kurikulum," kata Soetrisno.
Ketua KEIN yang berlatar belakang pengusaha ini menjelaskan Indonesia lebih mengenal ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan maupun ekonomi syariah memiliki persamaan mendasar dalam mengelola alam, yaitu menjaga kelestarian alam sehingga menciptakan pembangunan berkelanjutan.
Dalam hal jenjang pendidikan, mayoritas pekerja masih dominan lulusan SMP ke bawah dengan porsi 60% dan sekolah menengah 27,5%. Lulusan perguruan tinggi hanya 12%.
"Kita harus melakukan percepatan akses pendidikan tinggi yang lebih luas bagi masyarakat," kata dia.
Ketua KEIN mengapresiasi gerakan Muhammadiyah yang aktif mendirikan perguruan tinggi di berbagai daerah, bahkan hingga kabupaten. Hal ini akan mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas SDM yang dibutuhkan industri.