Liputan6.com, Dubai - Uni Emirat Arab (UAE) dan China baru saja meneken perjanjian kerja sama sebesar USD 3,4 miliar atau setara Rp 48,2 triliun (USD 1 = Rp 14.197). Perjanjian ini adalah bagian dari Belt and Road Initiative atau Jalur Sutra.
Dilaporkan CNBC, kerja sama itu terbagi dalam dua paket. Pertama, pembangunan Traders Market seluas 60 juta meter persegi di Dubai.
Baca Juga
Advertisement
"Mitra China kita akan berinvestasi USD 2,4 miliar untuk menggunakan stasiun itu sebagai tempat penyimpanan dan pengiriman produk-produk China dari Jebel Ali ke dunia," ujar penguasa Dubai Sheikh Mohammed dalam akun Twitternya.
We also launched a $1 billion 'Vegetable Basket' project in Dubai, supported by the China-Arab Investment Fund, to import, process, pack and export agricultural, marine and animal products to the world through the new Silk Road. UAE will be a vital station along the new Silk Road pic.twitter.com/hITPDq3VRp
— HH Sheikh Mohammed (@HHShkMohd) April 26, 2019
Selanjutnya, China dan UEA juga meluncurkan proyek "Vegetable Basket" demi mendukung impor, pemrosesan, pengepakan, dan ekspor untuk produk agrikultur, maritim, dan hewani. Penguasa Dubai pun bersemangat melihat potensi Jalur Sutra bagi negaranya.
"UEA akan menjadi stasiun vital dalam Jalur Sutra baru," ujar Sheikh Mohammed.
Presiden World Economic Forum (WEF) Børge Brende mengaku tak terkejut melihat kerja sama ini. Ia menilai kekuatan ekonomi China menjadi daya tarik global.
"China sekarang adalah ekonomi terbesar kedua terbesar di dunia dan Asia sekarang merupakan 50 persen GDP dunia. Banyak negara seperti UEA melihat peluang pasar yang besar di China," ucapnya.
Proyek Jalur Sutra adalah inisiatif China untuk menyambung China dengan pasar di Asia dan Eropa melalui jalur lautan dan darat. Proyek ini memicu kontroversi karena dianggap sebagai upaya China melebarkan pengaruh ekonomi dan geopolitik mereka. Namun, China selalu membantah anggapan itu.
Daftar Dampak Buruk Proyek Jalur Sutra China bagi Indonesia
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai proyek Belt and Road Initiative (BRI) atau jalur sutra akan memberatkan rakyat Indonesia. Saat ini ada 28 proyek besar senilai USD 91,1 miliar atau setara Rp 1.295,8 triliun yang ditawarkan pemerintah kepada China.
Ke-28 proyek tersebut ditawarkan saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) kedua The Belt and Road Initiative atau Jalur Sutra pada April 25-28 April di Beijing, China.
Manager Kampanye Walhi, Yuyun Harmono menyebutkan, Belt and Road Initiative berpotensi menjebak negara mitra dalam jerat utang. "Masih banyak sekali muncul beberapa kritik yang ada, menjebak negara-negara mitra dalam jebakan utang," kata dia di kantor Walhi, Jakarta, Senin (29/4/2019).
Selain itu, dia mengungkapkan proyek jalur sutra tidak peka dengan isu lingkungan global yang tengah gencar dilakukan oleh negara-negara lain, terutama sejak adanya kesepakatan Paris mengenai komitmen pengurangan emisi di masing-masing negara yang bergabung dimana setiap negara berkomitmen untuk selalu memperhatikan perubahan iklim dan lingkungan hidup.
Selanjutnya adalah proyek-proyek tersebut juga berpotensi bahkan kerap menjadi ladang korupsi bagi oknum yang tidak bertanggung jawab. Salah satu contoh adalah proyek PLTU 1 di Riau dimana banyak pejabat yang terlibat yang kini telah berstatus tersangka.
"Soal praktek dari korporasi-korporasi yang terlibat justru yang mereka lakukan terjebak praktek korupsi dan lain-lain. Saya kira ini adalah kritik yang mendasar," ujarnya.
Terkait jebakan utang, dia mencontohkan kasus yang sudah terjadi di Sri Lanka. Dimana mereka tidak mampu memenuhi kewajban pembayaran utang dalam proyek pembanguna pelabuhan sehingga pada akhirnya pelabuhan tersebut jatuh ke tangan China sebagai jaminan.
Dia melanjutkan, pemerintah memang memberikan syarat bagi masuknya investasi asing dari China antara lain, pertama, investor China harus menggunakan tenaga kerja asal Indonesia. Kedua, perusahaan yang berinvestasi harus memproduksi barang yang bernilai tambah (added value).
Ketiga, perusahaan asal China wajib melakukan transfer teknologi kepada para pekerja lokal. Keempat, Pemerintah Indonesia memprioritaskan konsep investasi melalui business-to-business(B to B) bukan government-to-government (G to G). Kelima, jenis usaha yang dibangun harus ramah lingkungan.
"Kelima syarat tersebut tentu saja terlihat baik, namun perlu juga dilihat apakah selama ini proyek yang dibiayai oleh Cina melaksanakan ketentuan tersebut," ujarnya.
Advertisement
Masih Didominasi Proyek Pembangkit Batu Bara
Dalam laporan perkembangan pemerintah China tentang pelaksanaan Belt and Road Intitative yang dirilis sebelum pelaksanaan pertemuan kedua, menegaskan untuk melaksanakan Kesepakatan Paris. Namun, Proyek-proyek pembangkit listrik batu bara masih mendominasi pinjaman sektor listrik di Belt and Road Initiative dan menyumbang porsi terbesar (42 persen) dari pembiayaan sektor energi oleh bank-bank China pada tahun 2018.
"Hal ini tentu bertentangan dengan upaya global untuk menurunkan emisi terutama dari sektor energi. Negara-negara lain sudah mulai meningggalkan energi kotor batubara, namun pemerintah Cina melalui pembiayaan bank-bank Cina justru melanggengkan ketergantungan terhadap energi fosil," ujarnya.
"Baik G to G ataupun B to B, kami menganggap bukan disitu persoalannya, dan kami tidak mau terjebak pada perdebatan itu. Karena pada dasarnya, Indonesia sudah mengelola utang dari Pemerintah China," dia menambahkan.
Data terakhir yang dirilis Bank Indonesia melalui Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) April 2019, menunjukkan status terakhir posisi utang luar negeri pada Februari 2019 dari Pemerintah China sebesar USD 17,7 Miliar atau setara dengan 248,4 Triliun dengan kurs 14.000. Lebih spesifik di kelola Pemerintah sebesar 22,8 Triliun dan Swasta sebesar 225,6 Triliun, sebagai catatan bahwa untuk BUMN itu masuk kategori swasta dalam catatan utang Indonesia.
"Jadi baik itu G to G atau B to B yang didominasi BUMN, tetap akan menjadi tanggungjawab Negara dan pasti menjadi Beban Rakyat Indonesia," tutupnya.
Kata Menko Maritim
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, 28 proyek tersebut dapat terealisasi jika kedua belah pihak setuju dengan syarat-syarat yang diajukan.
"Mana-mana (proyek) yang kami sepakat akan kami sign (tanda tangan). Kalau kamu (China) tidak sepakat dengan maunya kami, ya tidak kami sign," kata Luhut di Hotel Shangri-La, Jakarta, pada bulan lalu.
Dia mengungkapkan, ada 3 proyek yang dinilai paling prospektif dan menjanjikan untuk masuk dalam program The Belt and Road Initiative atau jalur sutra. Namun dia enggan mengungkapkan proyek yang dimaksud. Adapun skema yang ditawarkan adalah B2B atau bussiness to bussiness.
Sementara itu, saat ini pemerintah juga tengah melakukan studi kelayakan proyek atau feasibility study (fs) dengan investor China pada tujuh proyek senilai USD 8,7 juta. Dari tujuh proyek tersebut beberapa di antaranya merupakan proyek yang akan ditawarkan dalam The Belt Road and Initiative.
Dalam kesempatan serupa, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengatakan ada empat wilayah strategis yang akan diprioritaskan dalam program The Belt and Road Initiative berdasarkan pertimbangan geografis.
Keempat wilayah tersebut adalah Kalimantan Utara, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Bali yang dinilai memiliki keunggulan dan keunikan masing-masing yang diyakini dapat menjadi daya tarik para investor China.
"Dalam diskusi saya dengan perusahaan penerbangan Korea Selatan, Jin Air mereka tengah berencana untuk meluncurkan penerbangan langsung dari Seoul ke Manado. Sehingga Manado berpotensi untuk menjadi hub penerbangan Low Cost Carrier (LCC)," ujarnya.
Kota Manado di Sulawesi Utara merupakan kota dengan daya tarik wisata yang mampu menyedot kunjungan turis internasional tiap tahunnya. Sementara itu, Kalimantan Utara memiliki banyak potensi pembangkit listrik tenaga air (hydroelectric power plant).
"Ini membuka peluang untuk sumber tenaga untuk operasional smelter alumunium."
Sedangkan Sumatera Utara merupakan pintu masuk ke Selat Malaka dan merupakan salah satu pusat industri kelapa sawit Indonesia. "Pemilihan kota ini sejalan dengan ideologi Presiden Joko Widodo yaitu bangun dari pinggiran," tutupnya
Advertisement