Liputan6.com, Jakarta - Wacana pemindahan ibu kota Indonesia ke Kalimantan Tengah kembali digaungkan. Rencana ini semakin serius karena Pemprov Kalteng sudah menyiapkan lahan seluas 500 ribu hektare untuk menjadi lokasi pusat pemerintahan RI yang baru.
Jika rencana ini terlaksana, maka untuk kesekian kalinya Indonesia akan daftar baru ibu kota. Sebelumnya, buku sejarah mencatat, Yogyakarta dan Bukittinggi pernah menjadi ibu kota RI. Keduanya menjadi ibu kota saat negara dalam kondisi darurat dan di tengah ancaman kekuasaan kolonial.
Advertisement
Namun, tidak hanya dua kota itu, Kota Bireuen di Aceh dikabarkan juga pernah menjadi ibu kota RI selama sepekan. Kota ini memang tak tercatat di buku sejarah sebagai ibu kota RI, namun santer disebutkan bahwa Bireuen pernah menjadi ibu kota ketiga RI setelah Yogyakarta dan Bukittinggi.
Dalam versi yang banyak beredar dan dituliskan, ketika itu Presiden Sukarno berangkat ke Bireuen dengan menumpang pesawat Dakota. Pesawat udara khusus yang dipiloti Teuku Iskandar itu mendarat dengan mulus di lapangan terbang sipil Cot Gapu pada 16 Juni 1948.
Kedatangan rombongan disambut Gubernur Militer Aceh Tengku Daud Beureu’eh atau yang akrab disapa Abu Daud Beureueh serta alim ulama dan tokoh masyarakat.
Malam harinya di lapangan terbang Cot Gapu diselenggarakan leising (rapat umum) akbar. Presiden Sukarno berpidato berapi-api, membakar semangat juang rakyat di Keresidenan Bireuen yang datang membludak.
Selama sepekan kemudian, Presiden Sukarno menjalankan roda pemerintahan dari Bireuen. Dia menginap dan mengendalikan pemerintahan RI di kediaman Kolonel Hussein Joesoef, Panglima Divisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo, di Kantor Divisi X (Pendopo Bupati Bireuen sekarang).
Pemilihan Bireuen sebagai tempat pemerintahan sementara bukan hanya karena daerah ini termasuk paling aman, tetapi juga karena Bireuen merupakan pusat kemiliteran Aceh. Letaknya pun sangat strategis dalam mengatur strategi militer untuk memblokade serangan Belanda di Medan Area yang telah menguasai Sumatera Timur.
Namun, cerita tentang Bireuen ini masih menjadi perdebatan, apakah ketika itu Sukarno hanya sekadar mengadakan kunjungan biasa atau sedang menghindari pengejaran pasukan Belanda? Apalagi buku sejarah yang resmi beredar tak menyebutkan hal tersebut. Liputan6.com pun berusaha menelusuri bukti tertulis yang ada.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Penegasan Wapres JK
Kebenaran tentang status Kota Bireuen ini layak untuk digali dan dipastikan dalam sejarah agar tak menjadi keragu-raguan. Apalagi Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah menyampaikan kalau Bireuen memang pernah menjadi ibu kota RI.
"Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan hasil perjuangan dari seluruh bangsa Indonesia. Aceh memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan Indonesia," ujar JK saat pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa di Gedung AAC Dayan Dawood Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh, Sabtu 14 November 2015.
Menurut JK, bahkan Bireuen pernah menjadi ibu kota RI, ketika jatuhnya Yogyakarta tahun 1948. Presiden Soekarno hijrah dari ibu kota kedua RI, yakni Yogyakarta ke Bireuen pada 18 Juni 1948.
"Selama seminggu Bireuen menjadi tempat untuk mengendalikan Republik Indonesia yang saat itu dalam keadaan darurat," kata JK dalam pidatonya yang berjudul Perdamaian dan Pembangunan Nasional.
Soal kedatangan Sukarno di Bireuen pada kurun waktu tersebut tak bisa terbantahkan. Namun, soal tujuan kedatangan Sang Presiden, agaknya masih perlu diteliti. Sebab, saat kedatangan Sukarno, kondisi pemerintahan di Yogyakarta boleh dikatakan sedang tidak terancam, sehingga tak perlu dipindahkan.
Yang jelas, pada saat itu Sukarno dan rombongan memang tengah berada di Sumatera dalam rangka kunjungan kerja. Catatan tertulis dari Perpustakaan Nasional menyebutkan, Sukarno dalam kunjungan kerjanya sempat merayakan ulang tahun pada 6 Juni 1948 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Selanjutnya, Sukarno meninjau daerah sekitar Bukittinggi pada 7 Juni 1948 dan dilanjutkan meninjau daerah Pariaman pada 8 Juni 1948. Hari terakhir di Sumatera Barat dihabiskan Sukarno dan rombongan meninjau daerah Maninjau pada 10 Juni 1948.
Kunjungan kerja kemudian beralih ke Sumatera Utara dan Sukarno beserta rombongan disambut rakyat Tapanuli pada 11 Juni 1948. Berturut-turut kemudian Sukarno menuju Sibolga (13 Juni), Tarutung (14 Juni), Balige (15 Juni), dan menggelar rapat akbar di Kotanopan (16 Juni).
Barulah pada 17 Juni 1948 Sukarno memulai kunjungan kerja di wilayah Aceh, yaitu di Sigli. Dan kemungkinan besar pada 18 Juni 1948 baru berada di Bireuen.
Namun, apa pun itu, cerita ini masih layak untuk diperdebatkan, sehingga tidak menjadi sejarah yang tanpa konklusi.
Advertisement
Menumpang Kereta ke Yogyakarta
Perpindahan ibu kota Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru. Faktanya, ibu kota Indonesia sudah beberapa kali berpindah dari Jakarta. Dengan alasan keterpaksaan serta untuk mengamankan eksistensi pemerintah, Jakarta sempat tercerabut dari statusnya sebagai ibu kota RI meski hanya untuk sementara.
Pertama kali ibu kota RI pindah saat keamanan Jakarta terancam akibat ulah Belanda yang kembali datang ke Indonesia membonceng Sekutu. Pada 29 September 1945, Belanda berhasil menduduki Jakarta. Situasi ini membuat eksistensi pemerintah Indonesia di mata dunia internasional menjadi lemah.
Karena itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pakualam VIII pada 2 Januari 1946 mengirim kurir ke Jakarta dan menyarankan agar Ibu Kota pindah ke Yogyakarta. Tawaran ini diterima oleh Presiden Sukarno.
Pada 3 Januari 1946 jelang tengah malam, sebuah gerbong kereta yang ditarik dengan lokomotif uap C.2809 dan dimatikan lampunya berhenti di belakang rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (Menteng).
Pada 4 Januari dinihari, kereta api tersebut membawa Sukarno dan rombongan ke Yogyakarta di malam buta. Semua penumpang diliputi ketegangan hingga akhirnya tiba dengan selamat di Stasiun Tugu, Yogyakarta.
Pada hari kedatangan Sukarno itu, ibu kota NKRI secara resmi pindah ke Yogyakarta dan Presiden Sukarno mulai berkantor di Gedung Agung atau Istana Yogyakarta.
Namun, posisi Yogyakarta tak sepenuhnya selalu aman. Belanda tetap berupaya untuk melumpuhkan pemerintah dengan cara menangkap pemimpin republik. Karena itu, pada akhir 1948 Belanda kembali melancarkan agresi keduanya dengan menyerang Yogyakarta.
Berkantor di Bukittinggi
Dalam waktu sekejap ibu kota RI itu jatuh dan dikuasai Belanda. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang ketika itu berdomisili di Yogyakarta untuk mengendalikan pemerintahan ditangkap dan diasingkan.
Pada hari yang sama, di Bukitinggi, Sumatera Barat, Sjafruddin Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran RI mengunjungi Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatera/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk merundingkan situasi terkini. Bersama beberapa tokoh lain, mereka mendeklarasikan PDRI.
Sementara beberapa jam sebelum Sukarno-Hatta ditangkap, digelar pula sidang kabinet di Yogyakarta. Dua keputusan dihasilkan. Pertama, Sukarno dan Hatta tetap tinggal di Yogyakarta meski menghadapi risiko penangkapan.
Kedua, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi, Sumatera Barat untuk membentuk pemerintah darurat.
"Pembentukan PDRI oleh Sjafruddin didasarkan pada inisiatifnya sendiri," tulis Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik. Alasannya, hasil rapat kabinet itu tak pernah diterima Sjafruddin karena para petinggi RI dan staf keburu ditahan Belanda.
Ibu kota RI baru kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Dan pada 10 Juli 1949 Sjafruddin dan Panglima Besar Soedirman memasuki Yogyakarta. Sjafruddin bertindak sebagai inspektur upacara penyambutan para pemimpin RI yang akhirnya dibebaskan Belanda dan kembali ke Yogya.
Selanjutnya digelarlah Sidang Kabinet Sukarno-Hatta untuk yang pertama kalinya sejak Agresi II Belanda. Agenda pokok pada sidang tersebut adalah penyerahan Mandat PDRI oleh Sjafruddin kepada Sukarno-Hatta.
Sekitar setahun kemudian, atau pada 17 Agustus 1950, setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) membubarkan diri dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini sekaligus menjadikan Jakarta kembali sebagai ibu kota RI.
Sama seperti Konstitusi RIS, UUD Sementara tahun 1950 dalam pasal 46 menyebut: Pemerintah berkedudukan di Jakarta, kecuali jika dalam hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain.
Pemberlakuan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 membuat kedudukan ibu kota negara kembali kabur. Baru pada 1960-an Jakarta mendapat status Daerah Khusus Ibu Kota melalui Penetapan Presiden No 2 Tahun 1961 dan Kemudian UU No 10 Tahun 1964.
Advertisement