Liputan6.com, Jakarta - Demi pemerataan ekonomi dan penyelesaian masalah di berbagai aspek, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetujui keputusan untuk ibu kota pindah ke luar pulau Jawa.
Menteri PPN/Bappenas, Bambang Brodjonegoro menyatakan, pemindahan ibu kota dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek, mulai dari kepadatan penduduk hingga lingkungan.
Jika nanti terealisasi, pemindahan ibu kota bisa diselesaikan dalam dua target waktu, yaitu 5 atau 10 tahun.
"Perbedaannya, kalau 5 tahun ingin selesai tentu aktivitas dan pekerjaan akan lebih besar, begitu pula biayanya," ungkap Bambang di Gedung Bappenas, Selasa (30/4/2019).
Baca Juga
Advertisement
Dengan kata lain, pemindahan ibu kota akan lebih lama (10 tahun) jika aktivitas, pekerjaan dan biaya yang dikeluarkan lebih sedikit.
Sementara, pembiayaan pemindahan ibu kota negara didasarkan pada skema pemindahan yang akan digunakan. Ada 2 skema yang diusulkan Bappenas, yaitu rightsizing ASN dan non-rightsizing.
Rightsizing adalah upaya pemangkasan staf disortir dari kepentingan jabatannya. Jika tidak dibutuhkan, jabatan bisa dihilangkan. Bila skema ini diterapkan, diperkirakan butuh biaya Rp 323 triliun untuk seluruh proses pemindahan.
Sedangkan jika tidak diterapkan, biayanya akan jauh lebih besar, yaitu Rp 466 triliun. Sumber dana rencananya diambil dari APBN, penugasan BUMN, perusahaan swasta dan skema KPBU.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Direncanakan Sejak Tahun Lalu
Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono mengatakan, rencana pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta telah diinisiasi pemerintah sejak satu tahun lalu.
"Jadi ini bukan ujug-ujug. ini direncanakan setahun yang lalu. Cuma kita silent saja untuk persiapan-persiapan," ujar Basuki di Hotel Mulia, Jakarta, Selasa, 30 April 2019.
Dalam hal ini, ia menyampaikan, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro ditugaskan sebagai pihak pengkaji, sementara Menteri PUPR diberi wewenangan selaku perancang desain.
Adapun wacana pemindahan ibu kota ini pertama kali disuarakan pada saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden pada Senin kemarin. Berdasarkan hasil kajian Bappenas, ada tiga opsi penentuan lokasi ibu kota baru.
"Pertama, tetap berada di Jakarta. Misalnya di kawasan Monas yang harus dijadikan government area. Kedua, di sekitar Jakarta dengan jarak 60 km. Ketiga di luar Jawa. Kemarin pada saat ratas pak Presiden (Jokowi) memutuskan di luar Jawa," terangnya.
"Ini akan dikaji terus untuk nanti dibahas pada ratas-ratas selanjutnya untuk lalu difinalkan," dia menambahkan.
Dia pun menyatakan, pemerintah masih belum menentukan titik pasti di mana lokasi ibu kota baru tersebut. "Nah, itu yang belum ada," pungkas Basuki.
Advertisement
Bentuk Badan Otoritas Baru
Sebelumnya, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengusulkan pendirian badan otoritas yang bertanggung jawab mengelola pembangunan dan pemindahan ibu kota Indonesia.
"Bertanggung jawab langsung kepada Bapak Presiden di mana nanti badan ini mengelola dana investasi pembangunan ibu kota baru, serta melakukan kerja sama baik dengan BUMN maupun swasta, dan mengelola aset investasi dan menyewakan aset tersebut kepada instansi pemerintah atau pihak ketiga," kata Bambang dikutip dari Antara, Senin, 29 April 2019.
Menurut Bambang, institusi tersebut nantinya juga mempersiapkan dan membangun infrastruktur, pola tata ruang, serta fasilitas di wilayah tersebut. Tugas lainnya yakni badan otoritas akan mengelola dan memelihara gedung dan fasilitas publiknya.
Badan tersebut diperlukan dalam proses pembangunan ibu kota baru karena proyek tersebut berukuran besar dan bersifat multi-tahun.
"Sehingga usulan kami memang semacam badan otorita. Tapi bentuk akhirnya apa, itu terserah kepada keputusan politiknya juga, keputusan terbaik dari sisi administrasi. Tapi, memang diperlukan suatu unit yang full time, permanen dan solid," jelas Kepala Bappenas saat jumpa pers.
Dalam rapat terbatas, Bambang menjelaskan sejumlah kriteria wilayah yang dapat menjadi ibu kota baru seperti ketersediaan sumber daya air, minim resiko bencana seperti gempa bumi, tsunami, banjir, kebakaran hutan dan lahan serta gunung berapi.
Selain itu, wilayah itu juga telah memiliki infrastruktur awal kota kelas menengah seperti bandara, jaringan komunikasi, akses jalan, jaringan listrik dan berlokasi tidak jauh dari pantai.
Dalam hal aspek sosial, kriteria masyarakat setempat juga harus terbuka kepada pendatang untuk meminimalisasi konflik sosial.