Liputan6.com, Magelang - Dalam budaya Jawa, dikenal tradisi nyadran. Ini adalah tradisi pembersihan makam leluhur sebelum bulan Ramadan tiba.
Ada banyak kisah dan versi terkait tradisi ini, salah satunya adalah kajian filologi yang menyebut bahwa nyadran berasal dari bahasa Sansekerta, yakni "Sradha". Istilah yang digunakan warga Hindu untuk upacara pemuliaan roh leluhur.
Diawali di masa pemerintahan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, ia menyelenggarakan upacara Sradha untuk memuliakan arwah sang ibunda, Tribhuwana Tunggadewi. Masuknya Islam membuat ritual Sradha menjadi tradisi nyadran yang rutin diselenggarakan pada bulan ruwah.
Lalu, ada pula yang menyebut bahwa kosakata ruwah merujuk pada kata arwah, di mana bulan Syakban dianjurkan untuk memuliakan orangtua, termasuk yang sudah meninggal.
Baca Juga
Advertisement
Pelaku dan peneliti budaya Jawa dari Yayasan Cahaya Nusantara (YANTRA) Yogyakarta, Hangno Hartono menyebutkan bahwa tradisi ini tak hanya berlaku di sebuah daerah, tapi nyaris menyebar.
"Biasanya sebuah dusun terbentuk oleh seorang cikal bakal. Dari cikal bakal inilah, lahir dan berkembanglah anak, cucu, cicit dan seterusnya. Ketika anak keturunan itu tinggal di luar dusun awal, nyadran menjadi momentum reuni keluarga besar satu nenek moyang," kata Hangno, Selasa (30/4/2019).
Tradisi itu kemudian meluas. Akhirnya semua lapisan masyarakat juga menyelenggarakan tradisi ini, meski asal-usul sebuah dusun sudah kabur. Warga yang masih menginginkan kisah para leluhur kemudian berpijak pada beberapa dongeng.
Akurasi asal-usul sejarah dusun menjadi tak penting dan tak perlu pula dianggap hoax. Nyatanya tradisi nyadran mampu menjadi pemersatu. Tak hanya umat muslim yang menyambut Ramadan, taPI juga penganut agama lain. semua diikat sebuah talian internal bernama tradisi.
"Karena nyadran ditujukan untuk bersama-sama mendoakan arwah leluhur. Doa memang mayoritas dengan cara muslim, tapi hadirnya umat lain yang terlibat menunjukkan bahwa budaya Jawa kental dengan harmoni, sinkretik, menempatkan keselarasan sebagai hal utama," kata Hangno.
Bukti Sinkretisme Jawa
Biasanya penyelenggaraan nyadran diawali dengan membersihkan makam secara gotong royong. Bukan hanya makam yang didatangi keluarganya, tapi seluruh makam.
"Karena ada juga yang ahli warisnya berada di luar kota dan tak bisa hadir. Tapi mereka tak peduli, semua dibersihkan. Tak ada sekat Islam, Katholik, Kristen, Kejawen," kata Hangno.
Sementara itu, Fahrudin menuturkan bahwa tradisi di dusunnya, Semaken Kelurahan Pucungrejo, Muntilan, Kabupaten Magelang, semua yang hadir akan membawa nasi khas yang disebut berkat. Nasi itu dikumpulkan kepada panitia.
"Ada juga yang membawa snack, atau bahkan nuk (nasi berbungkus daun pisang berukuran kecil). Nanti selesai berdoa nasi berkat, tumpeng, snack, nuk itu kemudian dibagikan," kata Fahrudin.
Tradisi nyadran terus berlangsung, dengan adaptasi di banyak hal. Menurut Hangno, ini menunjukkan bahwa budaya Jawa sangat sinkretik, mulur mungkret. Memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap zaman.
"Dulu nasi berkat itu ada aturannya. Di kawasan Muntilan dan sekitarnya, harus ada peyek kedelai hitam, thontho (lauk berbahan tepung beras dicampur parutan kelapa dengan bumbu dominan ketumbar berbentuk bulat bola), rempah (mirip thonto namun bentuknya segitiga dan lebih empuk), hingga tumis buncis. Sekarang bisa saja beli nasi ayam goreng tepung," katanya.
Simak video pilihan berikut:
Advertisement
Semua Agama Merayakan
Pelaksanaan nyadran biasanya dilakukan pada pekan terakhir bulan Syakban. Hebatnya, pada hari pelaksanaan nyadran, masyarakat bangun lebih awal untuk mempersiapkan suguhan.
Begitu matahari muncul, warga langsung ke tempat sadranan diselenggarakan dengan membawa urunan sajian sadranan-nya masing-masing. Selain berkat, mereka juga membawa "uang wajib" sebagai dana infak yang dikumpulkan untuk keperluan pemeliharaan areal makam.
"Waktu saya kecil, biasanya anak-anak juga diberi uang saku yang diambilkan dari 'uang wajib' itu. Saat saya kecil uang sakunya Rp 25. Ada juga yang Rp 50. Itu setara dengan Rp 5.000-Rp 10.000 kalau saat ini," kata Tri Susana, warga desa Canggalan Kecamatan Ngluwar.
Tri Susana adalah warga nonmuslim, tapi tak menganggap bahwa nyadran adalah tradisi muslim. Sejak Selasa (30/4/2019) pagi ia sudah bangun dan sibuk. Bukan hanya di kampungnya saja, namun ia juga sering menerima undangan Nyadran dari kampung lain.
"Namanya kan ruwah. Ngaruhke arwah, menyapa arwah," kata Tri Susana.
Kalau dulu keranjang atau besekan ini sering jadi rebutan bagi para bocah. Secara khusus, panitia menyediakan semacam lingkaran atau kerumunan khusus. Semua pasti kebagian, bahkan bisa kebagian lebih dari satu paket.
Pastur Juga Nyadran
Romo Widyo Lestari MSC, seorang pastur dari Paroki Santo Yohanes Rasul Kutoarjo, mengaku bahwa saat kecil ia selalu ikut nyadran. Ia mengaku bangga jika mampu membawa paketan lebih dari satu.
"Karena mayoritas umat adalah muslim, ya doa yang digunakan disepakati menggunakan doa umat muslim. Tapi secara teologi Katolik, sesungguhnya juga ada tradisi mendoakan arwah," katanya.
Doa untuk arwah itu selain sebagai pengingat akan kematian, tradisi nyadran adalah momentum untuk saling bertegur sapa antar umat. Tak ada batasan dinding bernama agama.
"Sudah dicontohkan oleh si mati bahwa cinta itu abadi. Kematian tidak memisahkan cinta antara yang mati dan yang hidup. Ini adalah momentum umat saling menunjukkan cinta dengan saling menghormati," kata Romo Widyo Lestari MSC.
Ramadhan memang berkahnya luar biasa. Bukan hanya bagi umat muslim saja, namun dengan keluwesan tradisi Jawa, ternyata Ramadhan juga mampu menyatukan umat, tak peduli agama, suku, golongan, maupun status sosial. Semua tergantung pemaknaan.
Advertisement