Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyatakan ibu kota negara yang baru hanya akan menjadi pusat pemerintahan.
Sementara, pusat bisnis tetaplah berada di Jakarta. Termasuk lembaga keuangan negara seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Hanya pemerintahannya saja (yang dipindah), sementara lembaga keuangan seperti BI, OJK, BKPM nanti tetap di Jakarta," ujarnya di Gedung Bappenas, Selasa (30/4/2019).
Baca Juga
Advertisement
Sementara, Bambang menambahkan, pemindahan ibu kota baru tidak bertujuan membuat "Jakarta" yang baru. Ibu kota negara nantinya akan didesain hanya untuk ekosistem pemerintahan saja.
Dirinya kemudian mencontohkan Washington DC yang menjadi ibu kota Amerika Serikat. Washington, D.C. didesain untuk memusatkan segala aktivitas pemerintahan.
"Bukan berarti DC ibu kota Amerika, maka DC harus yang paling ramai. (Washington D.C.) Memang tidak didesain untuk menyaingi New York sebagai pusat bisnis," tambahnya.
Bappenas telah mengusulkan dua skema pemindahan ASN/PNS ke ibu kota negara baru. Pertama, skema rightsizing atau pemangkasan jabatan yang ditaksir memerlukan biaya Rp 323 trilun dan skema pemindahan seluruh PNS pusat, termasuk TNI dan Polri dengan perkiraan biaya Rp 466 triliun.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Pemindahan Ibu Kota Seharusnya Dilakukan Sejak Dulu
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyetujui rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke luar Pulau Jawa. Persetujuan tersebut diberikan dalam rapat terbatas dengan para menteri di Istana Kepresidenan Senin kemarin.
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pemindahan ibu kota negara memang sudah semestinya dilakukan. Alasannya, Jakarta yang saat ini menjadi pusat pemerintahan dan pusat bisnis sudah menanggung beban yang berat. Jakarta merupakan kota yang multifungsi.
"Pemindahan ibu kota semestinya sudah lama dilakukan. Karena tak kunjung dilakukan akhirnya berdampak buruk pada daya dukung lingkungan dan daya saing ekonomi. Ada banjir, ada macet dan lainnya," kata Faisal, di Jakarta, Selasa (30/4/2019).
Pemerintah dinilainya terlambat untuk memindahkan ibu Kota negara ke luar Pulau Jawa.
Faisal melanjutkan, jika memang pemerintah benar-benar ingin memindahkan ibu kota maka perlu digodok lebih matang agar tidak hanya menjadi rencana basi lagi. Dibutuhkan keseriusan dan kekuatan politik untuk merealisasikannya.
"Tapi kalau ditunda lagi akan semakin terlambat," tuturnya.
Hal yang perlu diperhitungkan dengan matang dalam pemindahan ibu kota dari Jawa ke luar Jawa adalah proses dan tahapan pemindahan, begitu juga lokasi calon ibu kota baru. "Begitu juga dengan rencana pembiayaannya," tambahnya.
Menurut Faisal, dengan perencanaan yang matang termasuk proses pentahapannya, akan menekan belanja semaksimal mungkin. Jika terealisasi, rencana ini akan membuat investasi berdatangan di ibu kota baru.
"Sangat potensial mendorong investasi di ibu kota baru," tandasnya.
Advertisement
Ibu Kota Dipindahkan ke Luar Pulau Jawa
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyetujui rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke luar Pulau Jawa. Ini disampaikan Jokowi saat menanggapi laporan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengenai tiga lokasi alternatif ibu kota baru Indonesia.
Bambang dalam laporannya menyebut tiga lokasi alternatif tersebut yakni pertama tetap di Jakarta, kedua di sekitar Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Ketiga di luar Pulau Jawa.
"Kalau saya sih alternatif satu dan dua sudah tidak," ucap Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4/2019).
Jokowi memiliki pertimbangan tersendiri sehingga menolak ibu kota tetap di Jakarta atau dipindahkan di sekitar Pulau Jawa. Jakarta atau Pulau Jawa disebut sebagai kawasan rawan macet dan banjir.
"Ada pencemaran yang berat juga. Ini di Pulau Jawa, sungai-sungai di Pulau Jawa merupakan 10 sungai yang paling tercemar di dunia," ujarnya.
Selain itu, degradasi sosial di Jakarta atau Pulau Jawa semakin tajam. Sementara lahan di Pulau Jawa semakin sempit akibat peralihan fungsi.
"Dan informasi yang saya terima, sebanyak 40 ribu hektare lahan yang sangat produktif beralih fungsi di Jawa, setiap tahunnya. Dari sawah ke properti," kata mantan Gubernur DKI Jakarta ini.