ITB Targetkan Pabrik Katalis Merah Putih Beroperasi di 2020

Pabrik ini akan memenuhi kebutuhan katalis untuk industri minyak, kimia dan petrokimia serta industri oleokimia

oleh Ayu Lestari Wahyu Puranidhi diperbarui 30 Apr 2019, 20:15 WIB
Karyawan wanita saat bekerja di sebuah pabrik baterai di Huaibei di provinsi Anhui timur China (6/3). Huaibei adalah rumah bagi banyak perusahaan kimia, konstruksi, mesin, tekstil, listrik, elektronik, dan perusahaan industri mineral. (AFP Photo/STR)

Liputan6.com, Jakarta - Institut Teknologi Bandung (ITB) menargetkan pembangunan pabrik Katalis Merah Putih selesai pada awal 2020. Katalis Merah Putih merupakan bahan yang dapat mempercepat dan mengarahkan reaksi kimia.

Ahli Teknologi Reaksi Kimia dan Katalis, Prof. Dr. Subagjo mengatakan, setelah menemukan inovasi teknologi terbarunya dalam pengolahan industri minyak dari minyak sawit, ITB khususnya Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalis Institut Teknologi Bandung (TRKK-ITB) mendapatkan bantuan dana dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Bantuan ini ditujukan untuk memperkuat inovasinya untuk memuat materi industri produk katalis sebagai pengajaran.

Tidak hanya mendapatkan bantuan dari Kemenrisetdikti, ITB juga telah berhasil mendapatkan mitra dari pihak swasta yaitu PT Pupuk Kujang untuk pembangunan pabrik katalis merah putih pertama di Indonesia.

 

"Sekarang akan mulai direalisasikan, kita bekerjasama dengan Kujang serta lokasinya akan di sekitar pabrik Kujang di daerah Cikampek," ujar dia di Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Selasa (30/4/2019).

Pabrik ini nantinya diharapkan akan dapat memenuhi sebagian kebutuhan katalis untuk industri minyak, kimia dan petrokimia serta industri oleokimia. Rencana groundbreaking pun akan dilakukan pada 17 Agustus 2019 mendatang.

"Kami berharap mungkin awal tahun depan sudah beroperasi. Bangunannya sudah ada, harus secepat mungkin dengan bangunan yang ada dan dari peralatan pabrik katalis mini yang kita punya bisa diterapkan," jelasnya.

Subagjo menambahkan pembangunan pabrik ini adalah strategi yang terbaik. Pasalnya, saat ini sudah sekitar 60 persen katalis sudah tidak diperjualkan secara bebas. Namun 40 persen masih diperjual belikan secara bebas.

Sehingga pabrik katalis yang dikembangkan melakui kerjasama ini akan sangat membantu dan lebih lagi pabrik ini juga akan 100 persen menjadi milik negeri sendiri, serta melalui pabrik ini juga sebagai cara untuk membuat Indonesia mandiri dalam teknologi proses serta ketahanan energi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Pembangunan Pabrik Petrokimia Dorong Efisiensi Industri Makanan dan Minuman

Makanan Kaleng. (History.com)

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), mendukung upaya pemerintah untuk menekan impor produk industri petrokimia seperti plastik. Salah satu langkah pemerintah yakni dengan mendorong investasi pabrik petrokimia.

Ketua Umum Gapmmi, Adhi S Lukman, mengatakan sejauh ini, 60 persen kebutuhan plastik industri mamin diperoleh lewat impor.

"Kalau Menperin mendorong industri hulu langkah tepat, industri hulu ini agak lambat, hilir cepat. Hilir butuh modal lebih sedikit. Hulu ini mahal investasi mahal, biaya bunga mahal, return investasinya lebih lama," kata dia, di acara acara Indonesia Industrial Summit 2019 di ICE BSD, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/4/2019).

"Dan ini harus didorong dengan berbagai insentif mulai dari perpajakan, tax holiday dan segalanya supaya kita mengurangi ketergantungan impor," lanjut dia.

Dia mengatakan industri makanan dan minuman merupakan pengguna plastik terbesar dengan porsi hingga 60 persen dari total konsumsi plastik di Indonesia. Karena itu, jika industri petrokimia sebagai penyuplai dapat ditingkatkan kinerjanya, maka efisiensi di industri hilir khususnya di industri mamin akan terjadi.

"Akan sangat besar sekali (efisiensi). Kita sekarang packaging. Dan packaging plastik ini pemakai terbesar itu industri mamin sekitar 60 persen," jelas Adhi.

"Mamin itu pengguna. Jadi ada yang membeli biji plastik terus dijadikan botol, cup. Kita belinya biji plastik. Yang produksi kan Industri hulu," imbuhnya.


Jurus Menperin Tekan Impor Produk Petrokimia

Menperin Airlangga Hartarto (Foto:Merdeka.com/Dwi Aditya Putra)

Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto menegaskan pemerintah terus berupaya untuk menekan impor produk petrokimia, seperti plastik. Salah satunya lewat upaya mendorong investasi pada sektor tersebut.

Meskipun demikian, dia mengatakan jika implementasi rencana investasi sektor Petrokimia membutuhkan jangka waktu yang jauh lebih panjang dibandingkan industri lain.

"Tentu kita harapkan realisasi investasi petrokimia bisa dimulai. Tapi kalau ditanya berapa lama, membangun industri petrokimia, ya 3 sampai 4 tahun, tahun 2022 baru jadi. Kalau kita bicara industri yang lain juga minimal 1,5 sampai 2 tahun," kata dia di Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/4/2019).

"Kalau mempercepat Petrokimia itu kan nggak kayak bikin pabrik tahu. Jadi itu butuh waktu 4 tahun," tegas dia.

Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan, sambil menunggu realisasi investasi petrokimia, Kementerian Perindustrian mendorong tumbuhnya industri recycle plastik.

"Nah, salah satu yang mempercepat itu adalah mendorong sirkulasi ekonomi yaitu recycle plastik. Karena kebutuhan kita terhadap industri petrokimia kan 5 juta ton plastik produk karena plastik itu digunakan untuk konstruksi, otomotif, untuk banyak barang," ujar dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya