Penangkapan Novel Baswedan dan Perintah Bebas dari Jokowi 4 Tahun Lalu

Pada kesempatan itu Jokowi memerintahkan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti untuk segera melepaskan Novel.

oleh Rinaldo diperbarui 02 Mei 2019, 07:33 WIB
Penyidik KPK, Novel Baswedan memberikan sejumlah keterangan pers di gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Sabtu (2/5/2015). Penahanan Novel ditangguhkan setelah ada kesepakatan antara Plt Pimpinan KPK dengan Kapolri. (Liputan6.com/Helm Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Pro dan kontra itu terjadi hanya dua hari, namun sempat membuat perhatian publik teralihkan. Peristiwa itu pun berakhir dengan ditangguhkannya penahanan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan oleh Kapolri setelah mendapat perintah dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Dalam catatan Sejarah Hari Ini (Sahrini) Liputan6.com, sebelum penangguhan itu, Presiden Jokowi angkat bicara terkait penangkapan Novel Baswedan seusai menunaikan salat Jumat di masjid di Kotabarat, Solo, Jawa Tengah, Jumat (1/5/2015). Pada kesempatan itu Jokowi memerintahkan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti untuk segera melepaskan Novel.

"Terkait Novel, sudah saya perintahkan kepada Kapolri, pertama untuk tidak ditahan, kedua proses hukum harus dilakukan secara transparan dan adil, lalu ketiga, saya perintahkan KPK dan Polri bisa selalu bersinergi," kata Jokowi.

Masalah bermula ketika Novel Baswedan ditangkap anggota Bareskrim Mabes Polri di rumahnya di Kawasan Kelapa Gading pada Jumat dini hari, 1 Mei 2015. Penangkapan itu terkait kasus penganiayaan hingga tewas terhadap tersangka pencurian burung pada tahun 2004. Saat itu Novel menjabat sebagai Kasatreskrim Polres Bengkulu.

"Sekitar pukul 00.00 WIB datang penyidik Bareskrim, didampingi ketua RT Pak Wisnu. Sebagaimana orang bertamu, pencet bel," beber Novel saat jumpa pers di KPK usai penangguhan penahanannya, Sabtu 2 Mei 2015.

Saat itu, Novel yang sedang istirahat pun terbangun. Sejurus kemudian, dia menyilakan tamunya untuk duduk dan membicarakan maksud kedatangannya. Tim penyidik Bareskrim Polri pun menjelaskan perihal penangkapan Novel.

"Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri melakukan penangkapan dan sebagai penyidik KPK saya memahami proses itu," ujar Novel.

Selanjutnya, Novel dibawa ke Bareskrim dan menjalani pemeriksaan pada pagi buta. "Saya sempat diperiksa di Bareskrim tapi tidak ada kuasa hukum. Saya menolak karena tidak didampingi kuasa hukum," katanya.

Selang beberapa jam, Novel diboyong ke Markas Komando Brimob Kelapa Dua untuk melanjutkan pemeriksaan. Namun, dirinya tak melihat adanya urgensi pemindahan. "Penyidik menahan, saya menolak," ujarnya.

Lalu, sore harinya, Novel bercerita tiba-tiba penyidik Polri membawa dirinya ke Bengkulu untuk menjalani rekonstruksi. Namun, saat itu tak ada seorang pun kuasa hukum yang mendampinginya.

"Saya memahami tapi saya minta agar ada penasihat hukum yang dihubungi. Rekonstruksi seharusnya didampingi penasihat hukum supaya lebih tepat tapi permintaan tidak dipenuhi. Baru besoknya penasihat hukum datang," jelas Novel.

Novel kemudian diterbangkan ke Bengkulu sekitar pukul 16.00 WIB untuk dilakukan rekonstruksi dan baru kembali ke Jakarta pada Sabtu keesokan harinya sekitar pukul 16.00 WIB.

Sementara itu, saat Novel sedang berada di Bengkulu, di Jakarta sejumlah pimpinan KPK merespons negatif langkah Polri. Bahkan, dua pimpinan KPK menegaskan bakal mengundurkan diri jika polisi tetap menahan Novel Baswedan. Hal itu dikemukakan Plt pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji dan Johan Budi, dalam jumpa pers di Gedung KPK.

"Kami akan menempuh berbagai prosedur agar Novel Baswedan dibebaskan dan tidak ditahan. Namun jika semua langkah itu tidak berhasil, dan Novel Baswedan tetap ditahan, saya akan mengundurkan diri, menyerahkan kembali mandat negara yang diberikan saya melalui Keputusan Presiden," tegas Indriyanto, Sabtu 2 Mei 2015.

Indriyanto menegaskan, ia cemas bahwa dampak penahanan ini akan merembet pada kasus-kasus yang ditangani KPK dan mengganggu lembaga itu dalam menjalankan tugasnya memberantas korupsi.

Desakan pimpinan KPK serta perintah Presiden membuat Kapolri tak bisa melanjutkan penahanan Novel. Dalam pertemuan Kapolri dengan pimpinan KPK pada hari itu akhirnya dicapai kesepakatan.

"Kami sepakati untuk (Novel) diserahkan ke pimpinan KPK. Sudah ada jaminan dari para pimpinan KPK karenanya (penahanan) ditangguhkan," kata Kapolri Jenderal Badrodin di Mabes Polri, Jakarta, Sabtu.

Terkait penangkapan Novel di rumahnya, Badrodin mengatakan bahwa kasus Novel harus segera diselesaikan mengingat pada 2016, kasus tersebut masuk masa kedaluarsa. Menurutnya, dalam kasusnya, Novel sudah ditangani. Namun, Novel hanya dikenai sanksi disiplin, bukan sanksi pidana.

"Belakangan pelapornya komplain dan minta laporan kasus agar diselesaikan. Tadi kami sepakati akan diproses sampai pengadilan. Silakan pengadilan yang putuskan bersalah atau tidak. Kelengkapan berkas akan kami koordinasikan dengan pimpinan KPK," kata Badrodin.


Setelah 12 Tahun

Kapolri Jenderal Badrodin Haiti (kedua kanan) bersama Plt pimpinan KPK Taufiequrachman Ruki dan Johan Budi memberikan sejumlah keterangan usai melakukan pertemuan di gedung Bareskrim Mabes Polri Jakarta, Sabtu (2/5/2015). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Jalan panjang kasus ini berawal ketika Novel Baswedan dijadikan tersangka pada 1 Oktober 2012 oleh Polres Bengkulu pasca ia memimpin penggeledahan Gedung Korps Lalu Lintas Polri yang diikuti penerbitan surat panggilan terhadap terdakwa pencucian uang sekaligus korupsi simulator SIM, Irjen Djoko Susilo. Saat itu Djoko menjabat sebagai Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri.

Polres Bengkulu menduga Novel telah menganiaya seorang pencuri sarang burung walet hingga tewas pada 2004, saat ia menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu. Namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian memerintahkan Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk menghentikan kasus tersebut demi meredakan ketegangan antara Polri dan KPK. Meski begitu, kasus Novel tak pernah benar-benar ditutup Polri.

Buktinya, Novel digelandang penyidik Bareskrim Polri pada Jumat 1 Mei 2015 dini hari dari kediamannya. Novel sejak tahun 1999 hingga 2005 memang berdinas di Polresta Bengkulu. Pada 2004 dia didapuk menjadi Kasat Reskrim Polresta Bengkulu.

Saat itulah Novel dituding melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat seorang pelaku pencurian sarang burung walet di Pantai Panjang Ujung, Kota Bengkulu, 18 Februari 2004. Pelapornya ialah Yogi Hariyanto.

Namun, soal laporan terhadap Novel, Ombudsman RI mengeluarkan pernyataan bahwa; pertama Pelapor tidak memenuhi kualifikasi. Kedua, adanya penundaan penanganan yang berlarut. Ketiga, rekayasa dan manipulasi Surat Keputusan Penghukuman Disiplin. Keempat, rekayasa dan manipulasi Berita Acara proyektil/Anak Peluru.

Kelima, rekayasa dan manipulasi Berita Acara Laboratoris Kriminalistik tentang uji balistik terhadap senjata api. Enam, penggeledahan rumah, penggeledahan badan dan penyitaan yang tidak sesuai prosedur. Tujuh, ketidaksesuaian urutan tanggal dalam administrasi penyidikan. Delapan, penggunaan alat bukti yang tidak relevan.

Namun, kejanggalan yang dipaparkan Ombudsman itu tak menghentikan proses hukum. Kasus Novel terus berjalan.

Melalui pengacaranya, Novel juga sempat mengajukan praperadilan terkait tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan penyidik Bareskrim Polri. Akan tetapi hakim tunggal Zuhairi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa 9 Juni 2015 menolak seluruh gugatan tersebut.

Novel Baswedan akhirnya bernapas lega setelah Kejaksaan Agung pada 22 Februari 2016 memutuskan menghentikan penuntutan kasus dugaan penganiayaan yang menjerat dirinya. Kepala Kejaksaan Negeri Bengkulu meneken surat keterangan penghentian penuntutan (SKP2) Nomor B-03/N.7.10/EP.1/02/2016.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya