Refleksi Hari Buruh di Negeri Serambi Makkah

Tuntutan lainnya dalam Hari Buruh, menolak PHK sepihak serta meminta diberlakukannya jaminan sosial, bukan asuransi sosial. Selain tuntutan tersebut, terdapat pula tuntutan bersifat lokalitas.

oleh Rino Abonita diperbarui 01 Mei 2019, 18:01 WIB
Aksi Hari Buruh di Aceh. (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh Barat - Tanggal 1 Mei menjadi hari bersejarah menandai perlawanan buruh dalam menuntut hak. Hari yang dikenal dengan sebutan May Day juga diperingati di Aceh, seperti kota-kota lainnya di Indonesia, bahkan dunia.

Peringatan Hari Buruh salah satunya digelar di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Sejumlah organisasi intra dan ekstra kampus berkumpul menggelar unjuk rasa dan teaterikal bertajuk 'buruh menggugat'.

Mereka menuntut beberapa hal di antaranya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan segera dihapus.

Beleid yang diundangkan Menkum HAM Yasonna H Laoly pada 23 Oktober 2015 itu dinilai memiskinkan buruh serta mengancam kebebasan berserikat. Selain itu, aturan tersebut dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih dulu ada.

PP tersebut dinilai bertolak dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, serta Konvensi Nomor 87 (K87) tentang Kebebasan Berserikat.

Selanjutnya, outsourcing ditiadakan. Praktik alih daya ini dinilai sebagai pengisapan karena pengusaha mengambil untung dengan mempekerjakan tenaga kerja kontrak tanpa jaminan.

Pekerja outsourcing direkrut dari perusahaan pengerah tenaga kerja. Pekerja mendapat upah minim tanpa diberi tunjangan lain karena tidak menangani pekerjaan inti bisnis.

Sebaliknya, pengusaha mendapat untung dari memotong pendapatan pekerja outsourcing, yang notabene bekerja persis buruh tetap. Selain itu, segi keselamatan pekerja outsourcing kurang diperhatikan.

Tuntutan lainnya menolak PHK sepihak serta meminta diberlakukannya jaminan sosial, bukan asuransi sosial. Selain tuntutan tersebut, terdapat pula tuntutan bersifat lokalitas.

"Kami mendesak Dinas Tenaga Aceh Barat menyediakan mediator dalam jangka waktu 30 hari kerja, terhitung sejak 2 Mei. Selain itu, mengawasi seluruh perusahaan yang ada di Aceh Barat," ujar Koordinator Aksi, Ida Zulbaidah, di Bundaran Pelor Meulaboh, seperti terpantau Liputan6.com, Rabu (1/5/2019).

Keberadaan mediator dinilai penting mengingat perselisihan hubungan industrial di kabupaten itu kian mengeskalasi belakangan ini. Selama ini, mediasi masih ditengahi mediator dari provinsi.

"Banyak sekali pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Disnaker Aceh Barat harus membentuk mediator. Agar setiap pelanggaran dapat diawasi pemerintah. Keringat kita mahasiswa hari ini tidak berarti dibanding keringat buruh yang tumpah. Hidup buruh," pekik seorang orator bernama Deni Setiawan.

 


Upah Setara Peluh

Aksi Hari Buruh di Aceh. (Liputan6.com/Rino Abonita)

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul Putra Mutia, secara terpisah mengakui bahwa hak dan jaminan kesejahteraan buruh masih terabaikan saat ini. Kondisi ini menurutnya berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa Indonesia sudah lama merdeka.

Usia kemerdekaan Indonesia yang memasuki 74 tahun harusnya padan dengan langkah pemerintah dalam memenuhi hak dasar warga negara termasuk hak dan jaminan kesejahteraan buruh. Ia menilai negara telah abai.

Pengawasan negara terhadap perusahaan menurutnya sangat kurang. Padahal, banyak perusahaan melakukan pelanggaran, seperti, tidak memenuhi jaminan pekerja, memberi upah di bawah ketetapan, serta melakukan PHK sepihak tanpa pesangon.

Setidaknya, ada 300 kasus ketenagakerjaan tengah ditangani LBH Banda Aceh saat ini. PHK sepihak tanpa pesangon oleh salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Tamiang salah satu contohnya.

"Hari Buruh hanya menjadi wacana libur nasional semata. Semestinya, Hari Buruh yang telah diakui secara nasional ini menjadi simbol rujukan pemerintah dalam memenuhi hak buruh," dia menegaskan.

Refleksi May Day

Seperti kata Syahrul, 1 Mei menjadi hari libur nasional di Indonesia sejak ditetapkan pada masa pemerintahan SBY tahun 2014 lalu. Serentetan sejarah terjadi sehingga May Day menjadi hari libur seperti saat ini.

Asal-usul May Day berasal dari penanggalan kuno Inggris Saxon menurut sejumlah sumber. Hari yang menjadi ajang penyampaian aspirasi bagi kelompok buruh dan kelompok protes lainnya ini lahir dengan memakan tumbal.

Pada akhir abad ke-19, May Day menjadi hari yang dikaitkan dengan perjuangan hak pekerja. Pada 1886, empat orang ditembak mati oleh polisi Chicago saat melakukan protes menuntut pemberlakuan 8 jam kerja.

Pada 1889, sebuah kelompok di Paris memutuskan May Day menjadi hari spesial untuk mengenang empat orang tersebut. Hingga hari ini, 1 Mei masih diisi dengan tuntutan yang sama: upah setara peluh.

"Patut kita catat, 1 Mei bukan lebaran buruh. Tapi, hari berkabung. Sejak didengungkan pertama kali sampai sekarang, May Day masih berkutat di isu yang sama. Selama hubungan antara pemilik modal dan pekerja diwarnai relasi yang tak simetris, mengisap," kata Riyan (29), seorang pemuda yang bekerja di sebuah perusahaan ekstraktif.

 

Simak video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya