Perlu Perbaikan Struktural Buat Atasi Defisit Neraca Transaksi Berjalan

Tingginya impor sejalan dengan kuatnya permintaan domestik di tengah kinerja ekspor yang terbatas.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Mei 2019, 13:15 WIB
Aktivitas di Jakarta International Container Terminal, Jumat (15/3). BPS mencatat nilai ekspor pada Februari 2019 tercatat sebesar US$12,53 miliar atau turun 10,05 persen dari bulan sebelumnya, yakni US$13,93 miliar.(Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Katarina Setiawan, mengatakan saat ini ekonomi Indonesia menunjukkan stabilitas yang berkelanjutan. Hal ini tercermin dari beragam indikator makro ekonomi yang ada.

Indikator makro ekonomi yang dimaksud Katarina, yakni pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka pengangguran. "Produk Domestik Bruto Indonesia terus tumbuh ke level 5,17 persen di tahun 2018 dan angka pengangguran di tahun 2018 yang berada di level 5,34 persen merupakan level yang terendah dalam 20 tahun," kata dia, dalam acara 'Market Update Indonesia: The Next Chapter', Kamis (2/5/2019).

"lnflasi terkendali di level 2,48 persen pada Maret 2019, dan investasi tumbuh cukup solid sebesar 6,01 persen di tahun 2018," lanjut dia.

Meskipun demikian, defisit neraca berjalan melebar menjadi 2,98 persen terhadap PDB di tahun 2018, dipengaruhi oleh tingginya impor sejalan dengan kuatnya permintaan domestik ditengah kinerja ekspor yang terbatas.

Karena itu, Katarina menekankan pentingnya perbaikan struktural yang diperlukan untuk memperkecil defisit neraca berjalan. Dia menyebutkan ada tiga perbaikan struktural yang harus dilakukan.

Pertama peningkatan ekspor, sehingga Indonesia tidak hanya bergantung pada ekspor komoditas. Kedua, kebijakan untuk meningkatkan kesiapan supply chain untuk meningkatkan ekspor produk manufaktur, terutama dari pusat-pusat manufaktur yang baru.

"Kebijakan tersebut harus mencakup hal-hal seperti peningkatan akses ke sarana listrik, sumber air, dan penyediaan insentif untuk produksi bahan baku serta barang-barang setengah jadi (intermediary goods)," ujar dia.

Ketiga, peningkatan penanaman modal asing secara berkelanjutan melalui insentif pajak yang efektif dan revisi Daftar Negatif lnvestasi. "Dengan perbaikan ekonomi ke depan. pasar saham akan menikmati keuntungan dari meningkatnya laba korporasi," tandas Katarina.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Defisit Neraca Perdagangan dengan China Melebar, Pemerintah Harus Waspada

Aktivitas bongkar muat barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja ekspor dan impor Indonesia mengalami susut signifikan di Juni 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti defisit perdagangan antara Indonesia-China yang cukup besar. Defisit perdagangan dengan China itu melemahkan perekonomian dalam negeri.

Oleh karenanya, lembaga menyerukan kepada pemerintah untuk menaruh perhatian lebih demi mengurangi defisit neraca perdagangan dengan negeri China.

Ekonom senior Indef Didik J Rachbini mengungkapkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit transaksi berjalan negara sepanjang tahun lalu merupakan yang terburuk selama 20 tahun terakhir. 

"Kita baru mendengar dari BPS bahwa defisit neraca berjalan merupakan yang terbesar sepanjang sejarah 20 tahun terakhir ini. Ini apa artinya? sektor luar negeri kita lemah, kedodoran, kehilangan strategi ekonomi dan dagang," keluhnya, dikutip Jumat (22/2/2019).

Sebagai informasi, BPS pada tahun lalu mencatat, neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2018 terhitung defisit hingga USD 8,57 miliar.

Lebih lanjut, Didik mengatakan, faktor utama membengkaknya neraca perdagangan tahun lalu yakni lantaran Indonesia mengalami defisit besar dengan China. Oleh sebabnya, ia meminta agar hal ini menjadi perhatian dan strategi pemerintah ke depan.

"Jika tidak maka ekonomi Indonesia akan sangat lemah, nilai tukar rupiah akan rapuh dan kepastian bisnis tidak kuat. Ini merupakan isu penting yang terkait dengan nasib ekonomi Indonesia ke depan," imbuhnya.

"Saya melihat isu ekonomi politik Indonesia dengan China belum menjadi isu yang diangkat oleh calon presiden," dia menambahkan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya