Liputan6.com, Yogyakarta - Bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM merilis sejumlah temuan hasil penelitian seputar pendidikan tinggi di Indonesia pada era Revolusi Industri 4.0. Setidaknya ada tiga fakta besar terkait pendidikan tinggi di Indonesia yang berusaha menyelaraskan keberadaannya dengan Revolusi Industri 4.0.
Fakta pertama, perguruan tinggi di Indonesia menghadapi tantangan yang tidak mudah di era serba digital ini.
Advertisement
"Salah satunya adalah rendahnya persentase masyarakat yang melanjutkan studi hingga jenjang perguruan tinggi yang berkorelasi pada kualitas sumber daya manusia masyarakat," ujar Treviliana Eka Putri, Manager Digital Intelligence Lab CfDS, di Fisipol UGM, Kamis (2/5/2019).
Berdasarkan data dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), saat ini sudah terdapat sekitar 4.500 perguruan tinggi di Indonesia. Namun, pada 2018 hanya terdapat 7,5 juta mahasiswa yang terdaftar di dalamnya. Hal ini membuat angka partisipasi kasar perguruan tinggi di Indonesia menjadi salah satu yang cukup rendah di kawasan ASEAN, yakni sekitar 34 persen.
Menurut Trevi, rendahnya angka partisipasi kasar perguruan tinggi di Indonesia, bisa disebabkan beberapa hal, seperti persebaran kualitas pendidikan yang tidak merata serta persoalan biaya. Salah satu buktinya, minat mahasiswa di Indonesia kebanyakan terpusat di perguruan tinggi yang ada di Jawa.
Penelitian ini memaparkan tiga besar universitas yang diminati oleh mahasiswa dari seluruh pulau di Indonesia. Hasilnya, universitas negeri yang ada di Jawa selalu menempati tiga besar. Sayangnya, belum ada penelitian lebih lanjut tentang fenomena ini.
Fakta kedua, tren peminatan program studi lewat Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, 2016 sampai 2018 belum berubah. Empar besar program studi dengan permintaan tertinggi di Indonesia masih didominasi Pendidikan Kedokteran, Ilmu Hukum, Manajemen, dan Ilmu Komunikasi.
"Hal ini menunjukkan fenomena transformasi digital yang terjadi beberapa tahun terakhir tidak lantas menjadikan program studi dengan isu digital dan teknologi menjadi favorit para calon mahasiswa baru," tutur Iradat Wirid, peneliti CfDS UGM.
Program Studi Baru
Fakta ketiga, bermunculan sejumlah program studi baru sebagai bentuk pendidikan tinggi merespons tantangan di era Revolusi Industri 4.0.
Ilmu Aktuaria, misalnya, ilmu mengenai pengelolaan risiko keuangan yang mengkombinasikan ilmu matematika, statistika, dan komputer, saat ini telah dibuka di sekitar lima perguruan tinggi nasional ternama, yakni Institut Pertanian Bogor, Universitas Padjajaran, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dan Universitas Gadjah Mada.
"Tren peminatan pada program-program studi ini, dapat dilihat, meskipun belum setinggi prodi-prodi tradisional, namun memiliki prospek peningkatan pada tahun-tahun ke depan," ucap Iradat.
Selain itu, program Bisnis Digital di Universitas Padjajaran yang dibuka pada 2018 telah menempati peringkat tertinggi sebagai program studi terbaru yang memiliki jumlah peminat tertinggi pada tahun tersebut.
Lewat penelitian yang dilakukan ia menemukan pola baru dalam belajar di kalangan generasi Z, yakni memanfaatkan online course sebagai media belajar. Bermunculan bimbingan belajar digital dinilai mampu menjawab tantangan zaman.
Untuk meningkatkan aksesibilitas pendidikan di perguruan tinggi, ia juga merekomendasikan sistem pendidikan jarak jauh semakin masif diterapkan. Jadi, tidak ada lagi kesulitan bagi orang mengakses pendidikan tinggi karena terhalang jarak atau biaya operasional yang besar.
"Beberapa perguruan tinggi sudah memiliki platform untuk pendidikan jarak jauh, termasuk UGM," tuturnya.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Advertisement