Belajar Toleransi dari Blangkon dan Peci Anak Putu Kalikudi

Adat dan budaya Desa Kalikudi juga sangat menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama. Kalikudi layaknya miniatur Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 04 Mei 2019, 03:00 WIB
Anak putu kalikudi menggelar ritual Sadran, saling berkunjung untuk mendoakan menjelang Ramadan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Bicara toleransi antar umat beragama, rasa-rasanya Kalikudi tak boleh dilupakan. Desa ini secara administratif masuk di Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Sejarah desa ini bisa dilacak hingga abad 17 lalu, ketika Kiai Ditakerta, leluhur anak putu Kalikudi mulai membuka alas untuk membuka sebuah padepokan. Padepokan itu lantas berkembang menjadi sebuah kampung dan tak lama kemudian bermetamorfosa menjadi sebuah desa.

Boleh dibilang, Kalikudi adalah desa tua. Peradabannya tinggi, terbukti dengan artefak-artefak kuno dari peninggalan berabad lalu.

Adat dan budayanya juga sangat menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama. Sejak ratusan tahun lalu, Kalikudi layaknya miniatur Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.

Seperti yang berlangsung Jumat, 3 Mei 2019 ini. Pemandangan pemandangan unik nampak di Desa Kalikudi ketika sejumlah pria berkeliling dari rumah ke rumah.

Bukan jalan-jalan kelilingnya yang unik, tetapi buasana para pria itu. Sebagian memakai penutup kepala khas Islam, kupluk atau peci. Lainnya mengenakan blangkon lengkap dengan kain jarit dan baju batiknya.

Ini bukan pameran busana. Baju yang dikenakan oleh para pria itu adalah cerminan kepercayaan warga, antara Kejawen dan Islam. Meski berbeda, mereka nampak rukun dan sarat semangat toleransi antar umat beragama.

 


Bersih Diri Jelang Ramadan

Anak putu Kalikudi menggelar Sadran Sasi Pisan di Pasemuan Kidul, Kalikudi, Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Tetua Paguyuban Resik Kubur Rasa Sejati, Kunthang Sunardi mengatakan pada Jumat terakhir sasi Ruwah atau bulan Sya’ban ini, warga Kalikudi menggelar Sadran. Tak hanya penganut kejawen, umat muslim pada umumnya pun menggelar hajat serupa.

“Anak putu saling berkunjung, berkeliling dari rumah ke rumah. Untuk saling mendoakan,” dia menerangkan.

Warga tak mempedulikan agama atau kepercayaan penggelar hajat Sadran. Bahkan, doa pun dipanjatkan dengan dua macam bahasa.

Bahasa pertama adalah Jawa, yang menunjukkan keterikatan warga dengan adat Kejawen. Selanjutnya, doa diucapkan dalam bahasa Arab, yang menunjukkan sisi Islami mereka.

Sebelum Nyadran di masing-masing rumah anak putu, pada Jumat siang, anak putu telah menggelar sadran di Pasemuan atau rumah ibadah. Ini adalah ritual selamatan dan pengiriman doa kepada leluhur menjelang Ramadan.

“Kemudian anak putu akan saling berkunjung ke rumah masing-masing warga lainnya sehingga dalam sehari itu, seorang penganut bisa berkeliling hingga 40-an rumah,” Kunthang mengungkapkan.

Kunthang mengemukakan, ritual ini sudah dilakukan selama ratusan tahun dan dipertahankan hingga saat ini. Sadran sasi pisan membawa pesan agar manusia untuk selalu ingat kematian, mendoakan yang sudah meninggal, dan menjalin silaturahmi dengan sesamanya.

“Itu dilakukan untuk upaya membersihkan diri menjelang bulan puasa,” ucapnya.

 


Mengingat Kematian

Ritual Bekten anak putu Kalikudi di Panembahan Adiraja, Adipala, Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Rangkaian Sadran itu adalah penutup dari rangkaian ritual menjelang Ramadan pekan sebelumnya. Kamis, 25 April lalu, anak putu Kalikudi melakukan perjalanan Punggahan ke Panembahan Banokeling. Ritual digelar selama tiga hari dan selesai pada Sabtu.

Kemudian, Kamis sepekan setelahnya, 2 Mei 2019, anak putu Kalikudi menggelar ritual bekten di Panembahan Adiraja. Panembahan Adiraja adalah kompleks pemakaman cikal bakal atau nenek moyang para penganut kejawen Kalikudi dan warga kalikudi pada umumnya.

Dalam kesempatan terpisah, tetua Anak Putu Kalikudi, Hadi Rismanto mengatakan bekten ini disebut sebagai bekten sasi ruwah atau bekten sadran. Yakni, ritual membersihkan kompleks pemakaman leluhur secara adat. Ritual ini dipimpin oleh Kyai Kunci Pesemuan Lor.

Dalam ritual bekten ini, beberapa prosesi yang dilakukan antara lain resik makam, bekten dan nyekar. Resik makam adalah prosesi pembersihan komplek pemakaman dari rumput liar dan sampah.

Kemudian, bekten merupakan doa yang dipimpin oleh Kyai Kunci. Bekten dilakukan secara berurutan, dari leluhur tertua, yakni Kiai Ditakerta. Selanjutnya, anak putu mendoakan satu persatu cikal bakal yang ada di kompleks pemakaman itu.

“Nyekarnya di Panembahan Adiraja. Kemudian dilanjutkan ke makam (orang tua) masing-masing di Karangsunthi atau tempat lainnya,” Hadi menerangkan.

Setelah itu, anak putu Kalikudi akan berkeliling dari satu makam-ke makam lain untuk melakukan bekten dan nyekar.

Ritual ini, akan dilanjutkan pada malam harinya dengan ritual Muji Dzikir. Mudji Dzikir ini adalah ritual mendoakan leluhur dan doa keselamatan yang dilakukan, baik di Pasemuan Lor Mapun Pasemuan Kidul.

“Ya istilahnya slametan nyadran itu bulannya bulan Ruwah. Hubungannya dengan hari itu, kemungkinan hari (Jumat) terakhir menjelang masuk Bulan Ramadan,” Hadi menjelaskan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya