Liputan6.com, Washington DC - Ketegangan antara Amerika Serikat dan Rusia meningkat dalam beberapa hari ini, berkaitan dengan situasi Venezuela yang semakin tidak stabil. Sebelumnya, pemerintahan Trump menuduh Rusia menghambat Presiden Venezuela Nicolas Maduro menyerahkan kekuasaan.
Namun baru-baru ini Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberikan klaim yang kontras. Presiden nyentrik itu mengatakan, ia telah melakukan percakapan melalui telepon dengan Presiden Rusia Vladimir Putin membahas kasus tersebut dan beberapa isu lain. Hubungan telepon itu berlangsung lebih dari satu jam.
Baca Juga
Advertisement
Hasil dari percakapan telepon tersebut menurut Trump "sangat positif" melansir VOA Indonesia, Sabtu (4/5/2019).
Hal itu disampaikan Trump kepada Perdana Menteri Republik Slovakia Peter Pellegrini. Tidak diketahui secara detil perkembangan positif yang dimaksud. Meski demikian, VOA Indonesia menggambarkannya sebagai Putin yang "tak ingin terlibat di Venezuela".
Hingga saat ini masih belum terdapat tanggapan pihak Rusia terhadap klaim Donald Trump tersebut.
Untuk diketahui, pada Jumat 3 Mei 2019 berlangsung diskusi tingkat tinggi mengenai isu-isu sensitif dan operasi militer. Rapat tersebut diikuti oleh tim keamanan nasional presiden, termasuk Penasihat Keamanan Nasional John Bolton, penjabat Menteri Pertahanan Patrick Shanahan, Wakil Menteri Pertahanan untuk Kebijakan John Rood dan komandan Komando Selatan Amerika, Laksamana Craig Faller.
Pejabat-pejabat pertahanan mengatakan mereka membahas opsi-opsi terhadap Venezuela.
Saat ini, Amerika Serikat memang sudah tidak mengakui Maduro sebagai pemimpin sah Venezuela. Negeri Paman Sam itu memberikan dukungan kepada Juan Guaido, ketua majelis nasional Venezuela, sebagai presiden interim.
AS Siap Kirim Militer ke Venezuela
Menlu AS Mike Pompeo mengatakan pada Rabu 1 Mei 2019, negaranya siap campur tangan secara militer untuk membendung kerusuhan yang sedang berlangsung di Venezuela.
"Tindakan militer itu mungkin," kata diplomat tinggi AS itu kepada Fox Business Network. "Jika itu yang diperlukan, itulah yang akan dilakukan Amerika Serikat," tandas Pompeo.
Meski demikian, ia juga menegaskan bahwa AS akan lebih memilih transisi kekuasaan secara damai di Venezuela dari Presiden sosialis Nicolas Maduro ke presiden sementara yang mendeklarasikan diri, Juan Guaido. Ketua Majelis Nasional yang diakui oleh Amerika Serikat dan sekitar 50 negara lainnya sebagai pemimpin sah negara itu.
Penasehat keamanan nasional AS, John Bolton mengatakan kepada CNN dan Fox News bahwa Pompeo akan berbicara hari Rabu dengan Menteri LN Rusia, Sergei Lavrov mengenai kelanjutan dukungan Moskow kepada Maduro.
Ketika diwawancarai. Pompeo mengatakan bahwa dalam menghadapi protes jalanan terhadap rezimnya, Maduro siap meninggalkan Venezuela menuju Kuba hari Selasa, tetapi Rusia meyakinkannya untuk tetap berperang melawan seruan Guaido agar militer Venezuela bergabung dengannya dalam upaya menggulingkan Maduro.
Maduro dan Kementerian Luar Negeri Rusia membantah tuduhan keberangkatan Maduro, dan Rusia mengatakan klaim AS adalah bagian dari "perang informasi" yang dirancang untuk menurunkan moral tentara Venezuela dan membangkitkan kudeta.
Advertisement
Rusia Siap Memediasi Konflik
Sementara itu, pada April lalu Rusia mengatakan mendukung upaya penyelesaian konflik dengan damai.
"Rusia siap bergabung dengan segala upaya mediasi berdasarkan pendekatan yang konstruktif," kata Ludmila Vorobieva, Duta Besar Rusia untuk Indonesia dalam acara press briefing pada Rabu, 10 April 2019.
Ia menambahkan, mediasi yang dimaksud akan mempertimbangkan kepentingan dan posisi para pihak yang berkonflik.
"Kami, sekali lagi, menyeru kepada semua pihak yang bertanggung jawab, yang berkuasa, dan yang memiliki kekuatan politik di Venezuela, untuk duduk di meja negosiasi demi masa depan negara itu yang damai," lanjutnya.
Dalam kesempatan yang sama Verobieva menegaskan, Maduro juga memiliki niatan yang sama untuk bernegosiasi dengan "sungguh-sungguh".
Mediasi Harus Tanpa Syarat
Tapi, meski mendukung adanya mediasi, Rusia melihat persyaratan yang biasa diberikan oleh oposisi memberatkan.
Verobieva mencontohkan, Grup Kontak Internasional tentang Venezuela (ICG) yang bertemu pada 28 Maret lalu di Quito, Ekuador.
Menurutnya, mereka memang menentang penggunaan militer dan kekerasan dalam penyelesaian konflik; namun menginginkan pemilihan presiden ulang yang bebas dan transparan.
Menurut Rusia, persyaratan semacam itu - yang hanya diinginkan oleh satu pihak, akan mempersulit pencapaian damai.
"Kami percaya hanya dialog yang inklusif dan tanpa syarat yang akan menjadi instrumen pencapaian solusi untuk krisis saat ini," lanjut sang dubes.