Liputan6.com, Tripoli - Setidaknya hampir 400 orang tewas dan 1.936 lainnya terluka sejak pasukan pemberontak pimpinan Jenderal Khalifa Haftar melancarkan serangan untuk merebut ibu kota Libya, Tripoli bulan lalu, Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) melaporkan pada Jumat 3 Mei 2019.
Sementara itu lebih dari 50.000 telah mengungsi sebagai akibat langsung "dari konflik bersenjata yang semakin meningkat di Tripoli", menurut badan PBB lainnya, Organisasi untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UNOCHA).
"Kami prihatin dengan angka perpindahan yang mengkhawatirkan," kata OCHA pada hari Jumat di Twitter, seperti dikutip Manila Bulletin, Minggu (5/5/2019).
Baca Juga
Advertisement
Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Haftar memulai kampanye militer terhadap Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang berbasis di Tripoli pada 4 April 2019.
Pasukan loyalis GNA yang diakui secara internasional sejak itu telah meluncurkan serangan balasan, yang mengarah ke kebuntuan di wilayah pinggiran selatan ibukota.
Othman Abdel Jalil, menteri pendidikan GNA dan kepala komite krisis pemerintah, pada hari Kamis 2 Mei mengatakan 55.000 orang telah mengungsi.
Jalil mengatakan bahwa 40 pusat penampungan dan 27 sekolah telah membuka pintu mereka untuk menyambut para pengungsi yang membutuhkan.
Sebagian besar warga sipil Libya yang melarikan diri dari pertempuran telah menemukan perlindungan dengan kerabat atau teman, tanpa mendaftar kepada pihak berwenang, menurut lembaga kemanusiaan --mengindikasikan bahwa jumlah pengungsi bisa lebih tinggi dari yang diperkirakan.
Jalil juga mengatakan bahwa pihak berwenang telah "menempatkan cadangan strategis komoditas yang bisa bertahan selama beberapa bulan."
Sekilas Konflik Terbaru di Libya
Libya telah dilanda kerusuhan sejak penggulingan Kolonel Gaddafi. Lusinan milisi beroperasi di negara ini.
Baru-baru ini mereka telah bersekutu dengan GNA yang didukung PBB, yang berbasis di Tripoli, atau LNA pimpinan Jenderal Haftar, seorang anti-Islamis yang memiliki dukungan dari Mesir dan Uni Emirat Arab, serta kuat di Libya timur.
Jenderal Haftar membantu Kolonel Gaddafi merebut kekuasaan pada tahun 1969 sebelum jatuh bersamanya dan pergi ke pengasingan di Amerika Serikat. Dia kembali pada tahun 2011 setelah pemberontakan melawan Gaddafi dimulai dan menjadi komandan pemberontak.
Pemerintah persatuan dibentuk pada perundingan pada tahun 2015, tetapi Jenderal Haftar telah berjuang untuk menegaskan kontrol nasional.
Di sisi lain, Perdana Menteri Fayez al-Serraj menyampaikan pidato pada April lalu, mengatakan bahwa ia akan mempertahankan ibukota.
Serraj mengatakan dia telah menawarkan konsesi kepada Jenderal Haftar untuk menghindari pertumpahan darah, namun kemudian "ditusuk dari belakang".
Advertisement
Komunitas Internasional Berpaling?
Komando Afrika AS, yang bertanggung jawab atas operasi militer AS di Afrika, mengatakan bahwa karena "meningkatnya ketidakstabilan" mereka telah memindahkan kontingen pasukan AS sementara, tetapi tidak memberikan rincian lebih lanjut tentang jumlah yang direlokasi.
Ada laporan tentang kapal amfibi cepat yang digunakan dalam operasi relokasi tersebut.
Menteri Luar Negeri India Sushma Swaraj mengatakan, kontingen dari "15 Central Reserve Police Force peacekeepers" telah dievakuasi dari Tripoli karena "situasi di Libya tiba-tiba memburuk".
Perusahaan minyak dan gas multinasional Italia, Eni, memutuskan untuk mengevakuasi semua personel Italia dari negara itu.
PBB juga menarik stafnya.
Warga Tripoli dilaporkan mulai menimbun makanan dan bahan bakar. Tetapi BBC Arab mengatakan, banyak dari mereka yang berada di dekat pertempuran masih tinggal di rumah mereka, karena takut akan penjarahan jika mereka pergi.
Beberapa takut operasi yang panjang, seperti yang dilakukan Jenderal Haftar untuk merebut kota timur Benghazi dari para militan Islam.