Menyingkap Isi Rumah Peranakan Tionghoa yang Jarang Diketahui

Sebanyak 21 karya foto yang dipamerkannya di Galeri RJ Katamsi, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 07 Mei 2019, 00:00 WIB
Fotografer Anton Gautama mencoba menyibak detail interior dan isi rumah peranakan Tionghoa di Indonesia yang selama ini terkesan tertutup dari dunia luar. (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Fotografer Anton Gautama mencoba menyibak detail interior dan isi rumah peranakan Tionghoa di Indonesia yang selama ini terkesan tertutup dari dunia luar. Sebanyak 21 karya foto dipamerkannya di Galeri RJ Katamsi, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Pameran foto yang digelar mulai 30 April sampai 10 Mei 2019 ini mengambil tema Home Sweet Home. Lewat foto-foto yang dibuat secara straight shot, tegak lurus, dan paralel dengan long exposure, Anton ingin menunjukkan sisi lain rumah peranakan Tionghoa yang bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga tempat untuk setiap hati pulang dan berbagi kebersamaan serta kerinduan.

Foto-foto ini sebenarnya sudah dikemas dalam bentuk buku yang diluncurkan di Frankfurt Jerman pada Oktober 2017. Total ada 63 foto di dalam buku itu.

Pameran foto pernah dilakukan di Surabaya pada tahun lalu. Foto-foto rumah peranakan ini diambil di dua kota, Surabaya dan Makassar, yang memakan waktu satu tahun.

Anton lahir sebagai generasi ketiga Tionghoa-Indonesia di Makassar dan dibesarkan di bawah pengaruh budaya Tionghoa yang dibawa kakek dan neneknya. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Surabaya.

Setidaknya, ada tiga tujuan yang ingin dicapainya lewat pameran ini. Pertama, masuk ke rumah-rumah peranakan Tionghoa memacu minatnya untuk menemukan lebih banyak akar warisan budayanya dan menyelam kehidupan orang-orang Tionghoa-Indonesia.

Kedua, bagi masyarakat Tionghoa-Indonesia, pameran foto ini bisa menjadi media nostalgia untuk mengenang peristiwa-peristiwa pada masa lampau bersama keluarga.

"Tujuan saya juga untuk membuka mata masyarakat di Indonesia tentang hal-hal yang selama ini dianggap eksklusif dari Tionghoa, salah satunya rumah yang terkesan tertutup dan tidak banyak orang awam paham keberadaan di dalamnya," ucapnya.

 


Karakter Spesifik Rumah Peranakan Tionghoa

Fotografer Anton Gautama mencoba menyibak detail interior dan isi rumah peranakan Tionghoa di Indonesia yang selama ini terkesan tertutup dari dunia luar. (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Anton memotret ruangan-ruangan dari 24 rumah yang disambanginya. Nyaris seluruh rumah yang didatanginya memiliki benang merah dan menjadi karakter spesifik rumah peranakan Tionghoa.

Kebiasaan menyimpan barang bekas, misalnya, membuat sudut rumah selalu dipenuhi dengan barang bekas. Barang-barang yang tidak terpakai diwariskan dari generasi ke generasi.

"Biasanya nanti generasi sekian mulai bingung, mau diapakan barang-barang yang tidak terpakai itu," kata Anton.

Ia juga mengungkapkan sirkulasi udara di rumah peranakan Tionghoa biasanya bagus. Tidak ada bau lembab di dalam rumah karena mereka percaya dengan fengsui dan hal itu memengaruhi tata letak interior dan bangunan rumah.

Masyarakat Tionghoa-Indonesia juga memiliki kebiasaan meletakkan tempat sembahyang di sebelah kamar utama. Bagi rumah tingkat, tempat sembahyang kebanyakan berada di lantai dua.

 


Tidak Mengenal Tuan Rumah

Fotografer Anton Gautama mencoba menyibak detail interior dan isi rumah peranakan Tionghoa di Indonesia yang selama ini terkesan tertutup dari dunia luar. (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Ketika mengerjakan proyek fotonya, Anton ternyata tidak pernah kenal dengan pemilik rumah sebelumnya. Tantangan dimulai dari sana, ketika ia berusaha mendapatkan izin pemilik untuk mengabadikan rumah mereka, yang kemudian menjadi awal persahabatan baru.

Ia menargetkan diri sendiri untuk mengambil foto tidak lebih dari 30 menit. Pertimbangannya, sebagian ruangan yang diabadikan lewat jepretan adalah ruangan pribadi, seperti kamar tidur.

Anton teringat peristiwa di Makassar. Ia tidak pernah memotret sendirian dalam mengerjakan proyeknya ini. Ia selalu mengajak seorang teman yang bertujuan untuk menemani tuan rumah mengobrol ketika ia mengambil gambar.

"Waktu di Makassar, saya berusaha cari cara agar tuan rumah mengizinkan, akhirnya saya mengajak tante dari teman yang menemani saya," tutur Anton.

Caranya itu tidak sia-sia. Si pemilik rumah terbuka dengan tante dari teman Anton. Ia pun bisa memotret dan tante itu menemani tuan rumah mengobrol.

Menurut Anton, hubungan di Makassar erat sehingga ketika mengajak orang yang tinggal di Makassar akan lebih mudah diterima.

Namun, pernah juga Anton ditolak ketika di Surabaya. Ia melihat sebuah rumah yang dipandangnya menarik. Kebetulan, si tuan rumah berada di teras. Dari jalan, ia berbicara dengan tuan rumah. Ia mengapresiasi keberadaan rumah unik itu.

"Saya bilang juga waktu itu, boleh masuk tidak, dan langsung ditolak oleh tuan rumah," kenang Anton. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya