Liputan6.com, New York - Aksi jual tajam akan mulai terjadi pada awal pekan ini di wall street. Hal itu seiring Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan menaikkan tarif pada barang-barang yang diimpor dari China.
Sentimen tersebut menimbulkan keraguan pada optimisme baru-baru ini kalau dua negara ekonomi terbesar dunia itu dekat dengan resolusi untuk negosiasi perdagangan.
Pada Minggu malam waktu setempat, bursa saham AS dengan indeks saham Dow Jones berjangka merosot lebih dari 400 poin.
Indeks saham berjangka S&P 500 dan Nasdaq juga tergelincir. Mengutip laman CNN Money, Senin (6/5/2019), indeks saham S&P 500 susut 1,4 persen dan indeks saham Nasdaq terperosok 1,5 persen.
Baca Juga
Advertisement
Indeks saham Nasdaq terdiri dari sejumlah saham teknologi akan terpukul seiring tingginya tarif terhadap produk China.
Harga minyak juga turun tajam pada Senin pagi di perdagangan Asia. Harga minyak mentah AS turun 2,83 persen menjadi USD 60,19 per barel. Sementara itu, harga minyak Brent berjangka susut 2,48 persen menjadi USD 69,09 per barel.
Lewat akun media sosial Twitter, Donald Trump menulis status kalau selama 10 bulan, China telah membayar tarif sebesar 25 persen senilai USD 50 miliar untuk teknologi dan 10 persen pada barang lainnya senilai USD 200 miliar.
Pembayaran ini sebagian tanggung jawab atas hasil ekonomi kami yang luar biasa. 10 persen akan naik hingga 25 persen pada Jumat. USD 325 miliar barang tambahan yang dikirim kepada kami oleh China tetap tidak dibayar, tetapi akan segera dengan tingkat 25 persen.
Tarif yang dibayarkan ke AS berdampak kecil pada biaya produk, sebagian besar ditanggung oleh China. Kesepakatan perdagangan dengan China berlanjut, tetapi terlalu lambat. Karena mereka berusaha untuk menegosiasikan kembali. Tidak!.
Sentimen perang dagang tersebut menjadi kekhawatiran terhadap wall street. Apalagi indeks saham acuan di wall street sentuh rekor tertinggi.
"Pergantian sentimen lebih ketat seiring pembicaraan perdagangan China-AS dan Presiden menerapkan taktik keras, seperti dapat membuat koreksi pasar saham menjadi tajam," ujar Ekonom MUFG Union Bank, Chris Rupkey, seperti dikutip dari laman CNBC, Senin pekan ini.
Ia menambahkan, selama berminggu-minggu pasar telah terbuai dengan sentimen perang dagang AS-China yang mereda dan berpikir perjanjian sudah dekat. Akan tetapi, hal itu tidak lagi.
"Ini dapat menyebabkan pasar saham melemah dan mengirim risiko eksternal ke prospek ekonomi AS yang melonjak," kata dia.
Adapun saham-saham perusahaan AS dengan penjualan besar di China dapat alami kerugian pada Senin waktu setempat termasuk Apple. Selain itu juga Caterpillar dan Boeing juga bisa mendapatkan tekanan. Ditambah produsen chip dan Wynn Resorts juga akan terkena dampaknya.
Trump Ancam Naikkan Tarif Impor Barang China
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan, tarif impor barang China senilai USD 200 miliar akan meningkat menjadi 25 persen pada Jumat.
Hal ini terjadi di tengah klaim pemerintah kalau pembicaraan perdagangan dengan China berjalan baik dalam beberapa minggu terakhir.
Awalnya tarif impor China diterapkan 10 persen. Selain itu, Trump juga mengancam akan menaikkan tarif pada awal tahun tetapi menunda keputusan itu setelah China dan AS sepakat untuk duduk dalam negosiasi perdagangan.
Trump pun mengancam akan mengenakan tarif 25 persen terhadap impor barang China senilai USD 325 miliar.
Trump mengatakan, pembicaraan perdagangan dengan China terus berlanjut tetapi bergerak terlalu lambat ketika Beijing mencoba kembali bernegosiasi.
Lewat akun media sosial Twitter, Donald Trump menulis status kalau selama 10 bulan, China telah membayar tarif sebesar 25 persen senilai USD 50 miliar untuk teknologi dan 10 persen pada barang lainnya senilai USD 200 miliar.
Pembayaran ini sebagian tanggung jawab atas hasil ekonomi kami yang luar biasa. 10 persen akan naik hingga 25 persen pada Jumat. USD 325 miliar barang tambahan yang dikirim kepada kami oleh China tetap tidak dibayar, tetapi akan segera dengan tingkat 25 persen.
Tarif yang dibayarkan ke AS berdampak kecil pada biaya produk, sebagian besar ditanggung oleh China. Kesepakatan perdagangan dengan China berlanjut, tetapi terlalu lambat. Karena mereka berusaha untuk menegosiasikan kembali. Tidak!.
Berdasarkan data AS impor barang dari China sebesar USD 539,5 miliar dan defisit perdagangan mencapai USD 419,2 miliar pada 2018. Jika Trump menindaklanjuti ancamannya, hampir semua barang yang diimpor dari China ke AS akan hadapi tarif.
Pada Jumat pekan lalu, Wakil Presiden AS Mike Pence menuturkan, Trump tetap berharap dia bisa mencapai kesepakatan dengan China.
Gedung Putih menyatakan, perundingan terbaru telah membuat Beijing dan Washington semakin dekat untuk satu kesepakatan.
"Diskusi tetap fokus untuk membuat ke arah kemajuan besar pada masalah struktural penting dan menyeimbangkan kembali hubungan perdagangan AS-China," tutur Press Secretary Sarah Sanders, seperti dikutip dari laman CNBC, Senin (6/5/2019).
Adapun poin penting antara AS dan China adalah pencurian kekayaan intelektual dan transfer teknologi paksa.
Ada juga ketidaksepakatan tentang apakah tarif harus dihapus atau tetap sebagai mekanisme penegakan.
Advertisement
Bertemu Lagi, AS-China Akan Berdamai?
Sebelumnya, perseteruan AS dan China nampaknya akan mencapai puncak kesepakatan. Pasalnya baru-baru ini, AS dan China telah melanjutkan pembicaraan dalam upaya untuk mengakhiri perang dagang yang membuat perekonomian global melemah.
Dilansir dari laman CNN, pembicaraan perdagangan tingkat tinggi ini akan dilanjutkan oleh kedua belah negara pada minggu depan. Terlihat adanya sikap optimistis untuk dapat dengan cepat menyelesaikan masalah ini.
Hal ini diungkapkan oleh perwakilan dagang Gedung Putih, Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin pada Selasa saat perjalanan menuju Beijing untuk melanjutkan pembicaraan selanjutnya yang akan dimulai sejak 30 April 2019.
Setelah pertemuan pada 30 April di Beijing, rencananya Liu He penasihat ekonomi utama Presiden China Xi Jinping akan memimpin delegasi ke Washington untuk pembicaraan lebih lanjut pada 8 Mei 2019.
Perwakilan AS mengatakan, pembicaraan pada 30 April akan membahas seputar masalah perdangan termasuk kekayaan intelektual, transfer teknologi paksa, hambatan non-tarif, pertanian, layanan, pembelian serta penegakan hukum.
Namun sayangnya, pihak China belum mengkonfirmasi akan membahas apa pada pertemuan minggu depan.
AS dan China diyakini akan segera mengakhiri perang dagang yang telah berlangsung selama lebih dari setahun dan membuat dampak cukup besar bagi ekonomi global.
Donald Trump mengatakan, setiap kesepakatan perdagangan yang ada sejak awal bulan ini akan menjadi sesuatu yang sangat monumental bagi generasi mendatang.
China juga Optimistis
Bukan hanya AS saja yang begitu optimistis jika mereka akan segera mencapai kesepakatan bersama, China pun juga merasakan hal yang sama.
Sebelumnya pada April, kantor berita pemerintah China Xinhua menyampaikan jika negosiator AS dan China telah mencapai konsensus baru tentang isu-isu kesepakatan perdagangan.
Namun, yang menjadi masalah bagi kedua belah pihak yaitu apakah baik AS maupun China dapat mencapai kesepakatan untuk mengangkat miliaran dolar dari tarif untuk barang-barang China sebagai imbalan bagi AS yang telah mengambil tindakan sepihak untuk menghukum Beijing, dan jika gagal mereka akan tetap berpegang teguh pada kesepakatan tersebut.
Sebelumnya, Trump dan pejabat tinggi pemerintah AS lainnya telah mengirim sinyal suat bahwa mereka akan mempertahankan tarif pada USD 250 miliar barang China untuk periode waktu yang ditentukan.
"Kami harus memastikan China akan tetap teguh pada kesepakatan tersebut," ujar Trump.
Meskipun akan berdamai, namun nampaknya kedua negara ini tidak akan berdamai seutuhnya pada bidang politik dan ekonomi utama tertentu, tidak terkecuali teknologi.
Selama 12 bulan terakhir, Trump telah memberikan tekanan pada negara-negara di seluruh dunia untuk tidak menggunakan produk Huawei demi membangun jaringan 5G. Karena baginya menggunakan produk China akan sangat beresiko dalam segi kemanan.
Menanggapi hal ini, Huawei tentunya sangat keberatan hingga akhirnya mengajukan gugatan pada Maret atas tindakan pemerintah AS yang terkesan menuduh bahkan mendiskriminasi inkonsitusional.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement