Perjalanan Kopi Papua sampai Tersaji di Deretan Kafe Kota Besar

Rute perjalanan kopi Papua sampai ke coffee shop di kota-kota besar diiringi konflik dan serba terbatas.

oleh Asnida Riani diperbarui 06 Mei 2019, 12:02 WIB
Acara Mengenal Kopi Papua di Kedai Kopi Alenia, Kemang, Jakarta Selatan, 3 Mei 2019. (Liputan6.com/Asnida Riani)

Liputan6.com, Jakarta - Secangkir kopi arabika Papua tersaji. Kepulan asapnya samar terlihat di tengah nyaman suasana kafe. Harum aroma dengan kecapan rasa asam dan pahit yang pas ini ternyata telah mengalami perjalanan panjang sampai tersaji di depan para penikmatnya di kota-kota besar.

Master Trainer Kopi Arabika Nasional Hanok Herison bercerita bagaimana sulitnya menghasilkan kopi Papua yang berkualitas. Pasalnya, yang harus diubah demi memenuhi kebutuhan pasar adalah kebiasaan warga dalam mengolah komoditas satu ini.

"Masyarakat Papua, termasuk di Kabupaten Paniai, Deyiai, dan Dogiyai, tidak familiar dengan bagaimana mengolah kopi. Sejak diperkenalkan Belanda di tahun 60-an, mereka hanya ambil biji kopi merah yang sudah jatuh dari pohon, dijemur, lalu dijual," katanya dalam acara Mengenal Kopi Papua di Kedai Kopi Alenia, Kemang, Jakarta Selatan, Jumat, 3 Mei 2019.

Awalnya, kata Hanok, petani kopi di tiga kabupaten tersebut menjual biji kopi pada misionaris. Tapi, karena pengusiran pada misionaris, mereka tak punya pasar. Alhasil, produksi kopi mengalami penumpukan dan akhirnya dimusnahkan.

"Waktu itu sampai ada 10-20 ton. Akhirnya (kopi) dihancurkan karena tidak laku," tuturnya. Sejak itu, produksi kopi Papua kian terseok. Kebanyakan petani mulai beralih profesi dan hanya sedikit dari mereka yang bertahan.

Mengingat topografi wilayah sekitar, bertahan jadi petani kopi saat melakukan distribusi juga tak mudah. Mereka harus berjalan berhari-hari demi mencapai pasar dan menjual kopi. "Itupun belum tentu ada yang beli," ujar Hanok.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Konflik di Tengah Produksi Kopi

Kopi arabika produksi Kabupaten Deiyai, Papua. (Liputan6.com/Asnida Riani)

Produksi kopi Papua juga mengalami kendala lain, yakni aksi pembelotan para petani. Mereka menolak jadi petani kopi dan bersikeras bekerja di kebun kelapa sawit yang notabene memberi penghasilan lebih tampak.

Padahal, ladang kelapa sawit memiliki efek samping berupa perusakan lingkungan Papua. "Sekarang tinggal lah bapa dan mama di depan sini yang terus bertahan walau penjualan kopi sempat tidak menjanjikan," tutur Hanok.

Sejak mengenal teknologi kopi yang baik sejak 2015, yayasan tempat Hanok bekerja aktif mengadakan pelatihan pada para petani kopi. Masuk-keluar kampung, pelatihan yang sekarang sudah berjalan adalah pemasangan penjemuran bagi 50 petani kopi di Kabupaten Paniai, Deyiai, dan Dogiyai.


Kendala Produksi Kopi Papua

Master Trainer Kopi Arabika Nasional Hanok Herison (kiri) dan Staff Bentara Papua Albert Yomo (kanan) di acara Mengenal Kopi Papua di Kedai Kopi Alenia, Kemang, Jakarta Selatan, 3 Mei 2019. (Liputan6.com/Asnida Riani)

Hanok bercerita, awalnya para petani kopi sempat menyuarakan protes, lantaran proses yang diajarkan dianggap rumit. Tapi, Hanok memberi penjelasan bahwa tahapan tersebut akan meningkatkan kualitas kopi dan membuat harganya otomatis lebih tinggi.

Protes serupa, dituturkan staff Bentara Papua Albert Yomo, juga sempat dilakukan para petani kopi di Manokwari. "Caranya, akhirnya kami beli dulu. Kami roasting dan segala macam, bawa balik ke sana. Warga lihat hasilnya, lalu mulai tertarik." katanya. 

Kesadaran yang berjalan begitu lamban ini kian diberatkan dengan pengadaan fasilitas. "Kami sudah ajarkan begini caranya. Balik lagi ke sana, petani ternyata masih pakai cara lama. Pas ditanya, fasilitas tak memadai jadi alasan," tutur Hanok.

Padahal, Albert menilai, kopi sangat mungkin membantu perekonomian masyarakat. "5 tahun dari sekarang bisa dapat penghasilan menjanjikan dari penjualan kopi. Kalau lihat di sana, satu rumah itu sudah punya satu atau dua pohon kopi," ujarnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya