Cerita Lelaki yang Memutuskan Hidup Tanpa Listrik

Tanpa listrik dan teknologi secara keseluruhan, lelaki ini ceritakan pengalaman hidupnya,

oleh Asnida Riani diperbarui 06 Mei 2019, 15:05 WIB
Ilustrasi hidup tanpa listrik. (dok. unsplash.com/hossamgaucho)

Liputan6.com, Jakarta - Mark Boyle tak pernah menikmati aliran listrik dengan menyalakan lampu selama hampir tiga tahun, mendengarkan radio, menyaksikan tim sepak bola favoritnya berlaga di televisi, menelepon,mengirim email, atau update status di media sosial.

Bukan karena malas, dilensir dari Daily Mail, Senin (6/5/2019), sejak Desember 2016, Mark bertekad menjalani hidup tanpa listrik dan teknologi secara keseluruhan. Jadi, ia menjual komputer, menutup semua akun media sosial, dan tak lagi memiliki barang elektronik.

Sekarang, Mark menanam dan menangkap untuk makan. Sangat serius dengan komitmennya, ia bahkan membuat pasta gigi dari bahan alami yang ditanam sendiri, termasuk sabun yang dipakai untuk mencuci pakaian.

Tempat tinggalnya berupa rumah kayu yang dibangun sendiri. Lelaki 38 tahun yang masih memperbolehkan dirinya memakai kertas dan pulpen ini sekarang tengah menulis buku tentang pengalaman hidup tanpa listrik dan teknologi berjudul The Way Home: Tales from A Life Without Technology.

Sebelumnya, lelaki yang tak lagi memiliki jam dan mengatur waktu istirahat berdasarkan cahaya alami ini telah menyabet gelar sarjana di jurusan Marketing dan bekerja sebagai manager perusahaan produksi makanan organik di Bristol.

Hingga, dampak dari 'hidup normal' dengan listik dan teknologi terasa menyesakkan bagi Mark. "Lihat saja bagaimana pabrik merusak bumi, laut penuh dengan plastik, dan luas hutan terus berkurang. Saya sesederhana hanya ingin kembali ke kehidupan sebagai mestinya," kata lelaki asal Irlandia ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Memulai Hidup Tanpa Listrik dan Teknologi

Ilustrasi hidup tanpa listrik. (dok. unsplash.com/alexkall)

Awalnya, Mark hanya tidak lagi menghabiskan waktu di kafe dan berhenti menonton laga Manchester United. Lalu, merelakan kekasihnya yang menganggap ide perubahan gaya hidup Mark tak cocok baginya. 

Lambat laun, kebiasaan ini meluas. Mark mulai menjauhi berita, radio, dan televisi. "Hidup saya sekarang bukan tentang menyerahkan semua hal. Tapi, meningkatkan ketenangan dan lebih hadir di momen sekarang," jelasnya.

Cara hidup yang dijalani Mark sekarang, diakuinya, membuat lebih kenal diri sendiri dan punya koneksi sesungguhnya dengan alam, serta orang di sekitar.

Kebiasaan sehari-hari Mark mencakup tiga poin penting, yakni menemukan makanan, di mana ia sudah menanam pohon kacang-kacangan dan buah, kebun sayur, juga beternak ayam, serta lebah, kehangatan, dan tempat berlindung. 

Cahaya pengusir gelap datang dari lilin dan lampu semacam petromaks, sementara guna menjaga suhu tetap hangat Mark memanfaatkan perapian yang kayunya ia cari dan potong sendiri.

Semuanya, memasak, mencuci pakaian, bahkan mendapatkan makanan, memang membutuhkan waktu lebih lama. Tapi, Mark fokus dan tidak mendapat ditraksi yang biasanya dihadirkan teknologi.


Tak Selalu Menyenangkan

Ilustrasi hidup tanpa listrik. (dok. unsplash.com/jjbart7)

Menjalani hidup dengan cara berbeda dari kebanyakan orang, Mark mengaku tak merasa kesepian. Ia tetap hidup di tengah perumahan warga, di mana semuanya berjalan secara normal dengan listrik dan teknologi.

Ia menyempatkan berjalan selama kurang lebih sejam untuk datang ke pub melihat pertunjukan musik tradisional setiap minggu atau hang out bersama teman. Warga sekitar rumahnya pun sering berkunjung untuk ngobrol.

Juga, terdapat pengunjung dalam waktu cukup konstan di rumahnya. Pasal, Mark membangun sebuah hostel berlistrik di tanah rumahnya yang bisa digunakan secara gratis. "Jika Anda menemukannya, Anda boleh tinggal," katanya.

Waktu-waktu sulit juga sempat melanda Mark. Di awal menjalani gaya hidup ini, ia cukup sering kelaparan, kedinginan, dan, tentu, meresa tidak nyaman. "Saya coba terima hidup ada adanya. Memang tak harus merasa nyaman sepanjang waktu," ujarnya. 

"Saya hanya ingin benar-benar hidup dan mengalami hidup dengan semua keajaibannya. Karena hidup itu sangat berharga dan kita sudah terlalu sibuk untuk menghargainya secara utuh," tutup Mark.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya