Liputan6.com, Virginia - Muslim di seluruh dunia sedang melaksanakan puasa guna menyambut bulan suci Ramadan, termasuk di Amerika Serikat (AS), yang mana hari pertama puasa jatuh pada Minggu malam, 5 Mei 2019 waktu AS.
Selama Ramadan, beberapa masjid di sana memperketat keamanan guna mengantisipasi gangguan ketertiban umum atau bahkan potensi terorisme, demikian seperti dilansir Washington Post, Senin (6/5/2019).
Serangkaian serangan baru-baru ini melanda rumah-rumah ibadah, termasuk tragedi yang terjadi pada Maret kemarin di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru. Saat itu, 51 jemaah Muslim yang tengah menjalankan salat Jumat tewas.
Insiden inilah yang yang mendasari banyak masjid di AS, pada tahun ini, mengangkat topik soal keamanan. Upaya yang dilakukan antara lain melakukan latihan persiapan, mempekerjakan petugas keamanan bersenjata yang berseragam atau berpakaian sipil, menyediakan relawan pelatihan, memasang kamera pengawas dan menambahkan kunci.
Baca Juga
Advertisement
Di Masjid Dar Al-Hijrah, sebuah masjid besar di Virginia Utara, tempat 1.000 orang berdoa setiap hari selama Bulan Suci, para pemuka agama Islam telah lama mengadakan pertemuan tahunan pra-Ramadhan untuk membahas keamanan sebelum waktu tersibuk mereka. Tahun ini, kata Saif Rahman yang merupakan seorang staf, "pertemuan itu sedikit dibayangi oleh rasa cemas."
Setelah insiden penembakan sinagog di Pittsburgh pada Oktober 2018, masjid mulai menawarkan sesi pelatihan bagi para anggotanya untuk mempertahankan diri dari ancaman pelaku potensial yang hendak melakukan penembakan (active-shooter response training).
Usai penembakan masjid di Christchurch, Dar Al-Hijrah menjadi lokasi pertemuan staf dari masjid-masjid di seluruh wilayah, di mana Rahman akan mengajarkan para pemimpin masjid lainnya tentang dana publik yang bisa mereka ajukan jika mereka ingin menyewa penjaga keamanan.
Baru-baru ini, Dar Al-Hijrah meningkatkan kehadiran keamanannya tidak hanya pada waktu sholat yang sibuk, tetapi juga pada setiap waktu salat - lima kali sehari.
Ramadan ini, para penjaga juga menyarankan praktik pencegahan baru: menggeledah tas pengunjung ketika mereka masuk masjid.
Masjid Jadi Seperti Barak Militer
Namun, langkah-langkah itu bukan sesuatu yang diingikan Rahman dan beberapa pengurus masjid lainnya di AS.
"Masjid seharusnya tidak terasa seperti barak militer," kata Rahman kepada the Washington Post.
"Namun saya hanya bisa berharap bahwa ketimbang kita melakukan mekanisme itu, lebih baik kita memikirkan cara untuk mengobati dan melawan intoleransi bersama-sama," jelasnya.
"Semua mekanisme pencegahan (fisik) itu tidak akan berguna jika kita tidak memecahkan akar permasalahannya, yakni ketidakpeduliaan. Ketidakpedulian membiakkan kebencian," tambah Rahman.
Setahun yang lalu, lanjut Rahman, ada perlawanan terhadap inisiatifnya untuk meningkatkan keamanan, terutama dari para muslim yang lebih tua.
Namun sekarang tidak lagi.
"Setelah kami melihat Christchurch dan mereka menyadari betapa parahnya keadaan, sekarang saya mendapatkan banyak dukungan," katanya.
"Orang-orang telah membuka mata mereka. Sekarang ketika mereka tidak melihat petugas keamanan dan melihat seseorang bersenjata, mereka suka, 'Oke, apa yang terjadi?' Ini benar-benar berubah."
Menurut data statistik kejahatan berbasis kebencian yang dihimpun Biro Penyelidik Federal AS (FBI), jumlah total insiden berbasis agama di Amerika Serikat telah meningkat selama bertahun-tahun, dengan target paling umum adalah Yahudi dan Muslim.
Pada 2017, tahun terakhir di mana data FBI tersedia, ada 938 insiden anti-yahudi dan 273 insiden anti-muslim. Kedua kategori itu telah meningkat jumlahnya dalam beberapa tahun terakhir.
Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), sebuah kelompok nasional yang memantau hak-hak sipil Muslim, menulis kepada Komite Kehakiman DPR AS bulan lalu, mengutip serangan yang dilakukan terhadap muslim AS dan yang telah digagalkan.
"CAIR mendesak Komite Kehakiman DPR dan semua pemerintah AS untuk menghadapi dan mengakui kenyataan bahwa kita sebagai bangsa berada di tengah epidemi serangan supremasis kulit putih dan Islamofobia yang menargetkan komunitas agama minoritas," ujar CAIR dalam pernyataannya.
Advertisement
Tindakan Pemerintah AS
Pemerintah AS telah meningkatkan program pendanaannya untuk mengamankan organisasi nirlaba yang dipandang berisiko tinggi terhadap serangan teroris.
Program itu, yang dijalankan oleh Badan Manajemen Darurat Federal (FEMA) dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri (DHS), melakukan penjangkauan khusus kepada kelompok-kelompok berbasis agama.
Dimulai pada pertengahan 2000-an, program hibah telah berubah dari memberikan US$ 13 juta setiap tahun pada tahun 2014 menjadi US$ 60 juta setiap tahun di bawah administrasi Trump dan sekarang ditawarkan kepada organisasi nirlaba di luar daerah perkotaan.
Sebuah RUU yang tertunda di DPR AS akan meningkatkan dana menjadi US$ 75 juta, kata Michael Masters, kepala eksekutif Secure Community Network, sebuah organisasi nirlaba yang dibuat oleh organisasi-organisasi Yahudi nasional untuk membantu lembaga-lembaga Yahudi menangani masalah keamanan.
Masters mengatakan, komunitas Yahudi pada awalnya mengadvokasi pembentukan dana tersebut. Secara anekdot, katanya, ada peningkatan minat dan kesadaran --dan permintaan bimbingan-- dari kelompok-kelompok Muslim AS tentang keamanan.
"Ancaman yang kita (Yahudi) hadapi. . . supremasi kulit putih. Muslim, dalam banyak hal, menghadapi ancaman yang sama," katanya kepada the Washington Post.
Muslim Advocates, sebuah organisasi hak-hak sipil nasional yang mengadvokasi umat Islam di AS, merasakan perubahan menuju keterbukaan yang lebih dan minat pada keamanan.
Madihha Ahussain, penasihat khusus kelompok itu untuk kefanatikan anti-muslim, mengatakan perubahan itu bisa terkait dengan kesediaan baru untuk menerima bahwa tempat ibadah dapat menjadi target, serta pematangan lembaga yang sekarang memiliki uang dan organisasi untuk menciptakan rencana keamanan.