Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) memandang tantangan pengelolaan likuiditas semakin meningkat di tahun 2019. Hal ini sejalan dengan berbagai faktor struktural yang mempengaruhi ke depannya.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI, Nanang Hendarsah menyebutkan ada tiga faktor yang sangat berpengaruh terhadap kondisi likuiditas yaitu pertama adalah kondisi global yang semakin dinamis dan mempengaruhi arus lalu lintas modal. Kemudian perubahan pola belanja penerimaan dan belanja pemenntah.
"Dan peningkatan kebutuhan uang kartal yang dipengaruhi oleh faktor musiman," kata dia dia Gedung BI, Jakarta, Senin (6/5/2019).
Baca Juga
Advertisement
Dia melanjutkan, potensi pengetatan likuidltas jangka pendek dapat terjadi mengingat struktur mikro pasar uang yang sangat segmented, dimana likuiditas tidak terdistribusi secara merata pada sistem perbankan.
Oleh karena itu, BI selaku bank sentral mulai aktif melakukan beberapa upaya guna menjaga ketersediaan likuiditas perbankan.
"Bank Indonesia mulai aktif melakukan ekspansi moneter sejak pertengahan 2018 dan mulai mengaktifkan OPT (Operasi Pasar Terbuka) ekspansi secara reguler sejak Januan 2019," ujarnya.
Penguatan strategi operasi moneter dijelaskannya dilakukan tanpa mempengaruhi atau melakukan perubahan stance kebijakan moneter.
Saksikan video terkait di bawah ini
Demi Pendalaman Pasar Keuangan
Selain untuk meningkatkan ketersediaan likuiditas, strategi ini juga mendukung pendalaman pasar keuangan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk perubahan paradigma dan paradigma lama (one way monetary operation kontraksi) menuju ke paradigma baru (two ways monetary operationkontraksi dan ekspansi).
"Implementasi penguatan strategi operasi moneter dimaksud dilakukan Bank Indonesia mulai 6 Mel 2019," ujarnya.
Adapun yang dimaksud Two Way Monetary Operation adalah me - redistribusi likuiditas, yaitu menyerap likuiditas dari bank yang memiliki ekses likuiditas (dengan instrument kontraksi) dan menginjeksi ke bank yang kekurangan likuiditas (dengan Instrumen ekspansi ).
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Pengusaha Ingin BI Turunkan Suku Bunga Acuan 50 Bps
Pengusaha berharap Bank Indonesia (BI) dapat melonggarkan penetapan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate di tahun ini. Besaran penurunan yang diharapkan adalah 50 basis point (bps).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B Sukamdani menjelaskan, penurunan suku bunga acuan tersebut dapat dilakukan secara bertahap oleh bank sentral.
"Berharap semaksimal mungkin bisa dilakukan, BI biasanya kan turunnya bertahap 25 bps lalu 50 bps gitu. Tapi kalau menurutnya saya kalau bisa sampai 50 bps lebih bagus," kata dia di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (3/5/2019).
Dia menyatakan, penurunan suku bunga juga akan membuat para pencari modal semakin gampang untuk mencari pinjaman dari perbankan. Saat ini bunga pinjaman masih terlalu tinggi yaitu berkisar di atas 10 persen.
"Perbankan masih tetap jadi pilihan utama para pengusaha kita. Yang jadi masalah adalah perbankan kita itu dengan berbagai alasan tidak pernah bisa mencapai apa yang diharapkan sektor riil, masih saja lending di double digit," ujarnya.
Sebagai informasi, saat ini (BI) 7-day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan berada pada angka 6,00 persen. Sementara suku bunga Deposit Facility pada angka 5,25 persen dan Lending Facility 6,75 persen.
Dia menilai, BI dapat menurunkan suku bunga acuan dari 6,00 persen ke level 5,5 persen. Sebab saat ini dikatakan sebagai momentum yang tepat untuk melakukan pelonggaran suku bunga acuan.
Kepercayaan investor terhadap pasar di Indonesia disebutnya sudah cukup baik terlebih dengan selesainya pemilihan presiden pada April lalu.
"Jadi turun ke 5,5 persen, momentumnya bagus, kondisi itu relatif secara fluktuasi dinamika lebih terkendali dan arahnya postifi," dia menandaskan.