Liputan6.com, Jakarta - Tepat hari ini, 8 Mei 1993, atau 26 tahun silam jasad Marsinah, aktivis dan buruh pabrik PT Catur Putra Surya (CPS), Porong, Sidoarjo, Jawa Timur ditemukan. Jasadnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat setelah menghilang selama 3 hari.
Catatan Sejarah Hari Ini (Sahrini) Liputan6.com, dokter otopsi Prof Dr Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr Soetomo Surabaya) dan Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) menyimpulkan Marsinah meninggal dunia akibat menganiayaan berat.
Advertisement
Hasil autopsi menyebutkan pada tubuh Marsinah terdapat luka-luka pada pipi, siku, lengan, perut, luka-luka robek di bagian perut, tulang punggung bagian depan hancur, memar pada kandung kemih, usus, dan pendarahan pada rongga perut.
Sebelum ditemukan tewas, Marsinah memimpin aksi pekerja PT Catur Putra Surya untuk mendapatkan kenaikan gaji dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari.
Hal ini sesuai dengan instruksi Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok.
Namun aksi itu membuat perusahaan panas. Gaji memang naik, namun akhirnya Marsinah dan teman temannya harus berurusan dengan aparat Kodim.
Rekan Marsinah, Uus (43), membeberkan hilangnya Marsinah hingga ditemukan tewas. Kejadiannya bermula saat Kodim memanggil 10 orang buruh PT CPS yang aktif berdemo. Marsinah yang mendengar hal itu segera menyusul teman-temannya ke Kodim.
"Saat kami datang ke kantor Kodim, ternyata ada teman kami yang disiksa," tutur Uus seperti dikutip dari merdeka.
"Kamu tidak usah demo lagi, kamu harus keluar dari pabrik tidak usah bekerja. Kamu tahu siapa yang ada di dalam itu. Dengar suaranya, dia itu sekarang disiksa. Kalau tidak mau, kalian semua nasibnya itu seperti yang ada di dalam," kata Uus menirukan salah satu aparat Kodim waktu itu.
Mendengar jeritan siksaan dari teman seperjuangan, Marsinah tidak gentar. Meski mendapatkan ancaman, akan diculik dan disiksa Marsinah terus melakukan pertemuan dan mendampingi teman-temannya.
Tapi menurut Uus sebenarnya para buruh pun sudah puas dengan keputusan perusahaan yang menaikan gaji. Bahkan Marsinah meminta teman-temannya giat bekerja karena perjuangan sudah selesai.
"Wes yo rek, perjuangane awak dewe wes mari. Upahe awak dewe wes diundakno. Saiki, aku titip. Ayo kerjo sing temen, gawe masa depane awak dewe sesuk (Sudah iya, perjuangan kita semua sudah selesai. Upah kita sudah dinaikan. Sekarang, saya titip. Ayo kerja yang benar, buat masa depan kita)," kata Uus menirukan perkataan Marsinah.
Dari pertemuan yang dilakukan di salah satu tempat kos dekat gapura Siring Kuning, Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Marsinah dan tim buruh lainnya membubarkan diri.
"Sekitar pukul 10 malam (22.00 WIB), kita selesai pertemuan. Mbak Marsinah saat itu pamit makan ke seberang Jalan Raya Porong. Sedangkan kami, kembali ke kos masing-masing di Desa Siring," ujar dia.
Dari perpisahan itu, ternyata itu pertemuan Uus dan buruh lainnya dengan Marsinah, yang terakhir. Sebab, mereka semuanya selama tiga hari mengira, kalau Marsinah pergi untuk pulang ke kampung halamannya di Nganjuk. Bahkan, buruh juga mendatangi kantor Kodim setempat, untuk mencari keberadaan Marsinah selama tiga hari.
"Setelah tiga hari kami mencari keberadaan Mbak Marsinah. Baru pagi hari (8 Mei 1993), kami mendapat kabar, Mbak Marsinah ditemukan dalam keadaan meninggal penuh luka di hutan Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk," kata Uus.
Mendengar kabar itu, Uus dan seluruh karyawan pabrik seolah tidak percaya. Mereka hanya bisa menangis dan larut dalam kesedihan.
Hingga pagi harinya (9 Mei 1993), Uus dan sejumlah rekannya memutuskan untuk melayat sekaligus memastikan kebenaran kabar tersebut ke rumah Marsinah di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
"Setelah mendapat kabar, beberapa teman kami, datang ke sana untuk melayat dan melihat apakah itu memang Mbak Marsinah teman buruh kami? Ternyata saat didatangi, memang benar," cerita Uus.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Buntut Panjang
Kematian Marsinah berbuntut panjang. Aparat membentuk Tim Terpadu kemudian menciduk 8 orang petinggi PT CPS. Penangkapan ini dinilai menyalahi prosedur hukum. Tak ada yang tahu kalau mereka dibawa ke markas TNI.
Mereka disiksa untuk mengaku telah membuat skenario membunuh Marsinah. Pemilik pabrik PT CPS Yudi Susanto ikut dicokok.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah.
Menurut penyidikan polisi, Marsinah dijemput oleh pegawai PT CPS bernama Suprapto, lalu dihabisi Suwono, Satpam PT CPS setelah disekap tiga hari.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun. Mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas.
Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak. Muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah direkayasa.
Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Advertisement
Pahlawan Kaum Buruh
Atas peristiwa ini, Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien. Kasus ini juga menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.
Nama Marsinah masih didengungkan hingga saat ini. Wanita asal Nganjuk, Jawa Timur lahir pada 10 April 1969 silam. Namanya kini dikenal sebagai pahlawan kaum buruh dan simbol keberanian melawan kesewenang-wenangan.
Hingga kini kematian Marsinah tetap menjadi misteri. Tahun 2002, Komnas HAM berupaya membuka kembali kasus Marsinah dan itu pun gagal.
Saat ini, kemungkinan kasus ini dibuka kembali tentu akan semakin sulit. Setelah 26 tahun berlalu, daya ingat pun mulai lemah.
Selain adanya kemungkinan para saksi kunci yang sudah meninggal dunia, mereka yang masih hidup besar kemungkinan sudah mulai lupa dengan detail peristiwa.
Tak hanya itu, karena pembunuhan Marsinah terjadi 26 tahun lalu, kasus ini sudah kedaluwarsa. Karena secara hukum, kasus pembunuhan menjadi kedaluwarsa setelah 20 tahun dan tak bisa lagi dilakukan penuntutan.