Liputan6.com, St Pierre - Pada pergantian Abad ke-20, kota St. Pierre dikenal sebagai 'Paris of the Caribbean'. Letaknya di pesisir barat laut Pulau Martinique, punya pelabuhan yang ramai di mana kapal-kapal datang untuk mengangkut gula dan rum yang bernilai tinggi.
Kehidupan St Pierre yang semarak dan glamor menjadikannya pusat budaya koloni Prancis di pesisir Samudra Hindia, mengalahkan ibu kota resmi Martinique, Fort-de-France.
Advertisement
Namun, St Pierre punya masalah: ia terletak di bawah bayang-bayang Gunung Pelee yang sedang bergolak. Jarak gunung itu dari pusat kota hanya sekitar 7 kilometer jauhnya.
Sejak awal akhir April 1902, Gunung Pelee menunjukkan gelagat aneh. Erupsi kecil terjadi. Tanah di bawah St Pierre bergetar, intensitasnya kian kuat. Kota itu dihujani abu, dan kemudian selubung kabut gas belerang menggelayut.
Pertanda lainnya, kabel telegraf bawah laut yang menghubungkan Martinique ke Dominika putus tiba-tiba. Sebuah danau kaldera mendadak muncul. Pijar dan kilat di puncak gunung terpantau menerangi gelapnya malam.
Vulkanologi atau studi tentang gunung berapi belum berkembang kala itu. Ketika manusia tak bisa menebak apa yang terjadi, hewan-hewan liar merasakan pertanda buruk.
Yang pertama eksodus adalah koloni semut kuning dan lipan hitam besar, yang bergegas menuruni lereng Gunung Pelee yang tertutup semak belukar. Mereka berkeliaran di atas jalan, rel, menggigit para pekerja di ladang tebu terdekat, hingga menginvasi rumah-rumah.
Kemudian, giliran koloni ular menyerbu. Ratusan hingga ribuan hewan melata Serpentes tersebut, termasuk ular berbisa, menuruni lereng gunung menuju wilayah pedesaan. Binatang-binatang mematikan itu menyerang manusia juga hewan ternak juga peliharaan yang ditemuinya.
Diperkirakan, ada 50 manusia dan 200 hewan yang kehilangan nyawa akibat gigitan ular berbisa. Korban jiwa telah jatuh bahkan sebelum Gunung Pelee meletus.
Sementara itu, kondisi di puncak Gunung Pelee kian memburuk. Suhu air di danau kawah nyaris menyentuh titik didih, demikian seperti dikutip dari www.todayifoundout.com, Selasa 7 Mei 2019.
Pada tanggal 5 Mei 1902, tepian kawah ambrol, aliran air panas mengalir deras, bak banjir bandang yang menerjang penyulingan rum di utara St Pierre. Sebanyak 23 orang tewas karenanya.
Aliran lahar menuju ke laut, memicu tsunami setinggi tiga meter yang membanjiri area dataran rendah St Pierre. Orang-orang mulai mengepak tas mereka. Siap mengungsi.
Namun, mereka tak dibolehkan pergi. Alasannya sungguh tak masuk akal.
30.000 Nyawa Jadi Tumbal Kekuasaan?
Suasana di kaki Gunung Pelee mencekam. "Pagi ini, seluruh penduduk kota dalam kondisi siaga. Semua mata memandang ke arah Gunung Pelee, gunung berapi yang diyakini telah lama tidur," tulis Clara Prentiss, istri konsul Amerika Serikat di St Pierre dalam sebuah surat untuk adik perempuannya, seperti dikutip dari situs earthmagazine.org.
"Semua orang takut, gunung berapi itu siap meledak dan menghancurkan seluruh pulau.
Selama beberapa hari kemudian, pemerintah setempat berupaya meyakinkan warga yang panik untuk tetap tinggal.
"Tak ada aktivitas Gunung Pelee yang menjadi alasan eksodus dari kota St. Pierre," demikian pengumuman yang dikeluarkan kantor gubernur. Pemerintah bahkan mengklaim, keamanan St. Pierre sepenuhnya terjamin.
Kesimpulan itu diambil oleh komisi yang terdiri atas para ahli yang dibentuk sang gubernur. Di mana ketuanya konon adalah guru mata pelajaran sains SMA, bukan ilmuwan.
Konon, pemilu jadi alasannya. Pihak partai berkuasa ingin melanggengkan kekuasaannya, apapun yang terjadi.
Tentara bahkan dikerahkan, untuk mengadang siapapun yang berniat pergi. Belakangan, keputusan itu terbukti salah. Dan, ribuan nyawa jadi tumbalnya.
Di sisi lain, seperti dikutip dari situs History, ada keyakinan keliru dari penduduk St Pierre. Mereka percaya, satu-satunya bahaya dari gunung berapi adalah aliran lava. Kalaupun itu terjadi, mereka masih punya banyak waktu untuk melarikan diri ke tempat yang aman.
Bahkan, beberapa orang datang dari luar kota untuk melihat aktivitas gunung berapi itu. Padahal, abu Gunung Pelee sudah menumpuk di jalanan.
Malapetaka akhirnya tiba pada hari itu, 8 Mei 1902. Tatkala penduduk menuju gereja untuk merayakan Kenaikan Isa Almasih, awan panas, batu berpijar, dan abu yang membara, dalam jumlah besar, menuruni lereng Gunung Pelee dengan kecepatan mencapai 100 mil per jam.
Hanya butuh waktu kurang dari semenit bagi aliran priroklastik itu untuk mencapai kota St. Pierre, menghancurkan apapun yang dilewatinya, bangunan juga manusia-manusia di dalamnya.
Pada pukul 08.02, material gunung berapi itu menerjang kota. 'Paris of the Caribbean' rata dengan tanah. Bangunan-bangunan megah tinggal puing-puing gosong. Sebanyak 30.000 penduduknya mati lemas atau tewas karena luka bakar. Gubernur dan keluarganya masuk dalam daftar korban jiwa.
Selama beberapa hari pasca-erupsi Gunung Pelee, kota St. Pierre terbakar hebat.
Victor Albert, yang menyaksikan letusan hebat Gunung Pelee dari ladang miliknya, mengisahkan apa yang ia saksikan pada hari itu pada koran La Croix.
"Kilatan cahaya lebih menyilaukan dari kilat biasa...Pada saat bersamaan, awan yang terbentuk di puncak Montagne Pelee jatuh ke St Pierre dengan sangat cepat, mustahil bagi siapapun bisa kabur."
Advertisement
Hanya 3 Orang yang Selamat
Pasca-erupsi Gunung Pelee, St Pierre bak kota mati. Semua hancur, nyaris tak ada manusia yang tinggal.
Dari semua orang yang ada di sana, hanya tiga orang yang selamat. Pertama, adalah pembuat sepatu bernama Leon Compere-Leandre. Ia berhasil melarikan diri ke desa Fonds-Saint-Denis.
Penyintas kedua adalah Havivra Da Ifrile. Gadis itu bersembunyi di dalam gua untuk menghindari dampak erupsi. Ia sempat tersapu gelombang tsunami, namun ajaibnya, ia berhasil diselamatkan beberapa hari kemudian.
Penyintas yang paling terkenal adalah Louis-Auguste Cyparis. Pria 25 tahun itu selamat dari malapetaka saat berada di penjara.
Sel isolasi di penjara tempatnya ditahan, sebagian berada di bawah tanah. Dindingnya yang tebal bahkan dirancang kuat menahan dampak ledakan bom (bomb-proof).
Ruang tahanan itu juga tak punya jendela. Satu-satunya ventilasi adalah lubang kecil di pintu.
Cyparis menderita luka bakar di sekujur tubuhnya. Suhu di luar bangunan tempatnya ditahan diperkirakan mencapai 2.000 derajat Fahrenheit.
Selnya menawarkan isolasi yang cukup untuk membuat nyawanya tetap menyatu dengan raga.
Dia buang air kecil ke kemejanya dan memasukkannya kain basah itu ke dalam lubang ventilasi untuk mencegah panas dan gas menyeruak masuk. Cyparis akhirnya diselamatkan dari selnya empat hari setelah erupsi.
Kisahnya selamat dari letusan Gunung Pelee memesona publik Amerika Serikat saat Louis-Auguste Cyparis dipamerkan dalam pertunjukan yang dikelola P.T. Barnum.
Kejadian Bersejarah Lain
Tak hanya letusan dahsyat Gunung Pele yang jadi peristiwa bersejarah pada tanggal 8 Mei.
Pada 8 Mei 1967, Muhammad Ali menjadi topik berita. Kala itu, juri federal mendakwanya di pengadilan. Gara-gara menolak program wajib militer pemerintah Amerika Serikat dalam Perang Vietnam.
"Aku tak punya masalah dengan orang-orang Vietkong. Dan tak ada satupun orang Vietkong yang memanggilku dengan sebutan 'Nigger'!," kata dia lantang menolak wajib militer, seperti dikutip dari situs People's World.
Kalimat pertamanya, yang dalam Bahasa Inggris, 'I ain't got no quarrel with them Viet Cong', dipakai para generasi muda AS kala itu, sebagai simbol penolakan terhadap perang.
Gara-gara sikapnya itu, Ali diskors oleh Komisi Tinju. Gelar tinju kelas berat miliknya dibatalkan.
Pada sidang 20 Juni 1967, setelah juri berunding setelah 21 menit, Ali dinyatakan bersalah. Ia divonis 5 tahun bui dan denda US$ 10.000, serta dikenakan larangan bertinju selama 3 tahun.
Sementara, pada 8 Mei 1885, aksi bunuh diri gadis 22 tahun, Sarah Ann Henley digagalkan oleh rok yang ia pakai.
Kebetulan, saat berupaya bunuh diri, Sarah sedang mengenakan crinoline, dalaman berangka yang membuat roknya terlihat megar.
Crinoline sedang tren kala itu. Dalaman mirip kurungan ayam itu punya reputasi mengerikan sebagai 'pembunuh' 3.000 wanita. Tak disangka, crinoline justru menyelamatkan nyawanya.
Advertisement