Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, gerakan people power yang hanya menyampaikan aspirasi bukan merupakan makar.
Menurut dia, undang-undang menjamin hak bagi masyarakat yang melakukan unjuk rasa. Mereka tetap diperbolehkan menyatakan aspirasinya di depan publik asal tidak melanggar hukum.
Advertisement
"Makar itu kan menggulingkan pemerintahan, menyampaikan aspirasi bukan makar. Kalau people power menggulingkan pemerintahan tentu itu makar, tapi kalau people power hanya menyampaikan pendapat tidak masalah," kata Refly kepada wartawan di Jakarta, Selasa (7/5/2019).
Refly tak mempermasalahkan, apabila masyarakat menyambangi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menyampaikan aspirasi. Menurut Refly, yang dilarang itu ketika kelompok masyarakat melanggar hukum dalam menyampaikan aspirasinya.
"Demo boleh, tapi tidak boleh bakar ban. Karena itu sudah mengganggu ketertiban umum dan mengganggu hak orang lain," ucap Refly.
Oleh sebab itu Refly mengingatkan, semua pihak bahwa demokrasi diatur oleh konstitusi tapi demokrasi yang tidak mengganggu orang lain yang menjalankan kewajibanya.
"Kalau menyampaikan aspirasi Bawaslu dan KPU lebih memperhatikan kecurangan menurut saya tidak ada masalah, tidak ada (aturan yang dilanggar). Saya tidak menanggapi people power, yang saya tanggapi kebebasan demontrasi," terang dia.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Ada Mekanisme
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengingatkan bahwa people power atau unjuk rasa dalam skala besar ada mekanismenya. Jika ajakan people power tak sesuai dengan mekanisme yang berlaku, maka dapat dianggap makar.
Tito menjelaskan, jika ada klaim kecurangan dalam Pemilu 2019 dan disikapi dengan sejumlah aksi, aksi tersebut diperbolehkan sepanjang sesuai dengan UU tahun 1998 yang mengatur kebebasan berekspresi.
UU ini juga mengadopsi ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dimana diatur ada empat pembatasan yaitu tidak mengganggu ketertiban publik, tidak mengganggu hak asasi, etika dan tidak boleh mengancam keamanan nasional.
Dalam UU, pembatasan ini diterjemahkan dalam Pasal 6 dimana setiap aksi tidak boleh mengganggu HAM, mengganggu publik, mengindahkan etika moral, persatuan dan kesatuan bangsa.
"Kalau melanggar poin Pasal 6 maka itu akan dapat dibubarkan. Itu diatur dalam Pasal 15. Pelanggaran dalam Pasal 6, pelanggar hukum dapat dibubarkan," jelas Tito Karnavian saat rapat dengan Komite I DPD RI, di Gedung Nusantara V, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (7/5/2019).
Jika dalam proses pembubaran, pelaku aksi melakukan perlawanan terhadap petugas yang sah, cara penanganan telah diatur dalam KUHP dimana bisa dikenakan pidana. Mekanisme unjuk rasa juga diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 7 tahun 2012.
"Ada batasan-batasan yang tidak diperbolehkan, mengganggu ketenangan umum, mengganggu pemerintah. Secara rigid harus dikoordinasi jam berapa sampai jam berapa. Ini harus melalui koordinasi, enggak bisa disebar lewat WA disebar kumpul di tempat ini. Unjuk rasa harus diberi tahu dulu. Harus ada surat, nanti Polri lakukan tanda terima. Kalau itu tidak diindahkan, kita lakukan SOP mulai dari yang soft sampai hard. Sesuai keperluannya," jelas Kapolri.
Advertisement