Bagaimana Pakistan Ingin Mengakhiri Polemik Hilal

Pakistan ingin menyudahi kisruh hilal dengan menetapkan penggunaan metode hisab sebagai acuan untuk menentukan awal bulan Ramadan.

Oleh DW.com diperbarui 08 Mei 2019, 10:02 WIB
Tim gabungan Rukyah dan Hilal Semarang melihat bulan di Menara  AL- Husna,  Komplek MAJT Semarang, Minggu (5/5/2019). Pemantauan hilal dilakukan di 102 titik Rukyatul Hilal dari 34 provinsi di Indonesia, dan metode yang digunakan pemerintah ialah rukyat. (Liputan6.com/Gholib)

Liputan6.com, Islamabad - Pakistan ingin menyudahi kisruh hilal dengan menetapkan penggunaan metode hisab alias penghitungan matematis sebagai acuan untuk menentukan awal bulan Ramadan. Terobosan itu memicu kontroversi.

Sejak bertahun menjelang bulan Ramadan, umat Islam terbelah dalam dua ideologi. Sebagian merujuk pada kaum tradisionalis yang menggunakan metode Rukyat alias pengamatan mata. Sementara yang lain lebih meyakini metode kaum modernis yang mengandalkan penghitungan matematis pergerakan bulan alias hisab. 

Adalah Menteri Sains dan Teknologi Pakistan, Fawad Chaudry, yang ingin mengakhiri kontroversi hilal dengan memerintahkan penggunaan metode hisab mulai tahun 2020. Gagasannya itu terancam gagal disahkan, namun Chaudry enggan mengendurkan langkah.

Seperti diberitakan DW Indonesia, Rabu (8/5/2019), dia beralasan pemerintah setiap tahun menghabiskan dana hingga hampir Rp 1 miliar untuk membiayai pengamatan hilal. "Di mana kebijaksanaannya dalam pemborosan itu?", tanyanya seperti dilansir dari Samaa.

Kini Chaudry membentuk komite yang terdiri atas astronom, pakar cuaca dan teknologi. Tugas mereka adalah menentukan kalendar lima tahun untuk Pakistan dengan tanggal pasti untuk Ramadan, Idul Fitri, Idul Adha dan Muharram.

Tidak mengejutkan jika terobosan Chaudry memicu kontroversi di kalangan kaum muslim Pakistan. Tidak sedikit Ulama yang menolak gagasan tersebut, meski banyak kaum muda muslim yang mempertanyakan metode rukyat. "Jika kita menentukan waktu salat sesuai penghitungan ilmiah, kenapa kita tidak menentukan Hilal dengan cara yang sama," tulis seorang pemuda muslim di sebuah kanal media sosial.

2 dari 2 halaman

Lembaga Hilal

Tim gabungan Rukyah dan Hilal Semarang melihat bulan di Menara  Al- Husna,  Komplek MAJT Semarang, Minggu (5/5/2019). Sejumlah ahli falak hadir untuk menentukan satu ramadan yang kemudian dilaporkan ke Kementerian Agama. (Liputan6.com/Gholib)

Negara-negara bermayoritaskan muslim menentukan hari raya berdasarkan penanggalan bulan. Artinya setiap penanggalan berawal ketika Bumi dan Bulan berada di posisi bujur langit yang sama alias konjungsi. Biasanya bulan sinodik berlangsung selama 29,53 hari.

Hampir semua negara Islam memiliki lembaga hilal yang menentukan awal bulan Ramadan. Sejumlah negara seperti Afghanistan merujuk pada lembaga hilal di Arab Saudi. Namun hal serupa tidak berlaku buat negara-negara lain lantaran letak geografis dan perbedaan waktu. 

Masalah berawal ketika bulan sabit pertama yang menandakan awal bulan sinodik tidak terlihat pada saat yang sama. Kondisi cuaca misalnya bisa mengacaukan penghitungan hilal.

Di Indonesia, Nahdlatul Ulama biasanya menentukan Hilal berdasarkan rukyat, sementara Muhammadiyah menggunakan hisab. Kedua organisasi diundang untuk mengajukan hasil pengamatan atau penghitungan pada Sidang Isbat yang digelar pemerintah menjelang bulan Ramadan. Namun sejak 2012 Muhammadiyah menolak ikut serta pada sidang tersebut.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya