Suasana Ramadan di Gaza Dihantui Ancaman Serangan Lanjutan Israel

Warga Palestina di Jalur Gaza memulai Ramadan mereka pada Senin 6 Mei 2019 dalam salah satu situasi keamanan dan ekonomi terburuk yang mereka pernah alami.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 08 Mei 2019, 13:10 WIB
Roket Israel menghantam Gaza City, Jalur Gaza (AFP PHOTO)

Liputan6.com, Gaza - Warga Palestina di Jalur Gaza memulai Ramadan mereka pada Senin 6 Mei 2019 dalam salah satu situasi keamanan dan ekonomi terburuk yang mereka pernah alami.

Serangan udara Israel yang menghantam Jalur Gaza selama akhir pekan lalu, meninggalkan nuansa tak mengenakkan bagi warga sipil yang melaksanakan Ramadan.

Gencatan senjata sementara dilaporkan telah disepakati pada Senin 6 Mei 2019, tetapi ancaman saling serang lebih lanjut dari kedua belah pihak, telah menimbulkan kekhawatiran perang baru selama bulan suci, demikian seperti dikutip dari Asia Times, Selasa (7/5/2019).

Israel memang belum berkomentar soal kabar gencatan senjata itu, namun pada Minggu kemarin, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa Israeli Defence Forces (IDF) bergerak maju ke perbatasan kedua wilayah demi mengantisipasi serangan lanjutan.

Di sisi lain, kelompok gerilyawan di Gaza menyatakan siap melakukan aksi balasan jika tentara Israel membuka serangan lebih dulu.

Eskalasi Kekerasan Terbaru

Eskalasi kekerasan akhir pekan lalu bermula akibat sebuah bentrokan di perbatasan Gaza - Israel dalam sebuah demonstrasi rutin setiap hari Jumat, yang kala itu jatuh pada tanggal 3 Mei 2019.

Militer Israel menuduh bahwa penembak jitu Palestina telah melukai dua anggota IDF dalam demonstrasi rutin. Merespons, mereka menembak dan membunuh dua orang Palestina dalam kerumunan demonstran.

Membalas langkah Israel, Gaza menembakkan sekitar 600 roket ke Israel pada Sabtu 4 Mei malam hingga setidaknya Minggu 5 Mei, menurut pernyataan militer Israel (IDF). Namun, sebagian besar roket dicegat dengan sistem pertahanan udara Iron Dome.

Akibatnya, lebih dari empat orang Israel tewas akibat serangan itu.

Sebagai balasan, Israel melancarkan serangan udara terhadap setidaknya 300 target di Gaza hingga Senin 6 Mei pagi, dan menyebut sasaran itu sebagai kantung gerilyawan atau intelijen Hamas serta para pendukungnya.

Akan tetapi, otoritas di Gaza dan lembaga hak asasi menyebut bahwa sebagian besar bangunan yang rusak adalah rumah warga.

Akibatnya, hampir 30 orang Palestina --termasuk tiga perempuan, dua di antaranya hamil, dua bayi dan seorang anak-- terbunuh oleh serangan Israel ke Jalur Gaza dari Jumat hingga Senin 6 Mei pagi, kata juru bicara Kementerian Kesehatan Palestina Ashraf al-Qudra kepada Asia Times. Dia menambahkan bahwa lebih dari 300 lainnya terluka, beberapa di antaranya kritis.

Direktur Kementerian Tenaga Kerja di Gaza, Naji Sarhan, mengatakan pada Senin pagi bahwa 130 rumah hancur total di Gaza dan 700 lainnya rusak sebagian.

Kini, pemerintahan Hamas Palestina di Gaza dan kelompok-kelompok kemanusiaan diwajibkan untuk menemukan solusi bagi mereka.


Blokade Israel Atas Gaza Masih Berlangsung

Sebuah roket Israel jatuh di atas sebuah bangunan perumahan di Kota Gaza, Palestina, Minggu (5/5/2019). Kabar gencatan senjata antara Palestina dengan Israel datang setelah komunitas internsional, termasuk PBB menyerukan agar kedua belah pihak menahan diri. (AP Photo/Khalil Hamra)

Sementara itu, kondisi semakin diperparah dengan blokade Israel terhadap Gaza yang masih berlangsung.

Sejak awal bentrokan antara Gaza - Israel, pihak berwenang Tel Aviv memblokade akses jalan dan laut ke wilayah enklave Palestina itu --menyebabkan komoditas terhambat masuk dan mengakibatkan sejumlah warga yang bermata pencaharian utama sebaai nelayan kehilangan pekerjaan.

Gaza hanya selebar 6 kilometer di titik tersempit dan 11 km di titik terluas. Di sebelah barat adalah Laut Mediterania, di sebelah timur adalah perbatasan 50 km dengan Israel. Tetangga satu-satunya, Mesir, memiliki perjanjian damai dengan Israel dan sangat membatasi pergerakan orang dan barang melalui penyeberangan Rafah selatan.

Blokade hampir total menghambat bahkan perbaikan infrastruktur paling dasar, yang berarti sistem pembuangan limbah, air dan listrik berkisar dari tak layak hingga tidak berfungsi. Sehingga, 1,8 juta penduduk Gaza telah tinggal di penjara terbuka sejak Hamas mengambil alih jalur itu dari Palestinian Authority (PA) yang dipimpin Fatah pada 2007 setelah memenangkan pemilihan legislatif setahun sebelumnya.

Warga Gaza juga memulai Ramadan mereka pada Senin 6 Mei 2019 di salah satu situasi ekonomi terburuk hingga saat ini, dengan pengangguran lebih dari 50 persen dan mayoritas penduduk bergantung pada bantuan kemanusiaan dari Badan PBB urusan Pengungsi Palestina (UNRWA).

"Seiring dengan mencari perumahan alternatif, ada keluarga yang membutuhkan bantuan pasokan dasar dan kemanusiaan yang mendesak," tambah Sarhan.


Berharap yang Terbaik Selama Ramadan, tapi...

Sisa-sisa bangunan usai dihantam serangan udara Israel di Kota Gaza, Palestina, Minggu (5/5/2019). Israel belum memberi komentar soal kabar gencatan senjata dengan militan Palestina. (Photo by MAHMUD HAMS/AFP)

Awal Ramadan dimulai pada Senin 6 Mei 2019 di seluruh Jalur Gaza, dan masjid-masjid dipenuhi dengan umat pada hari Minggu malam, melaksanakan tarawih.

Persiapan Ramadan sendiri telah dimulai sejak pekan lalu di pusat-pusat kota di Jalur Gaza, dengan pusat-pusat komersial menyalakan lampu khusus yang melambangkan bulan.

Terlepas dari situasi ekonomi yang keras di Gaza, sebelum serangan akhir pekan lalu, ada harapan baik di antara orang-orang Palestina di sana bahwa atmosfer akan tetap bahagia terlepas dari segalanya.

"Kala itu adalah akhir pekan dan akhir bulan, ada orang-orang yang baru menerima gaji mereka dan jadi kami berharap sesuatu akan berubah. Pemilik toko dan pasar dipenuhi dengan harapan bahwa akan ada pembeli sebelum awal bulan," kata Moneira, seorang aktivis sosial yang tinggal di lingkungan Ramal di Gaza.

Ketika serangan dimulai pada Jumat 3 Mei 2019 malam, sukacita itu lenyap, kata Moneira.

"Sepertinya seseorang ingin menjaga kita dari kegembiraan ini, dan sepanjang akhir pekan dan kemarin malam berubah menjadi mimpi buruk yang besar," kata Moneira.

"Saya tidak tahu apakah malam ini dan beberapa hari mendatang orang akan pulih, tetapi sayangnya itu tidak lagi tergantung pada mereka."

Deputi direktur Pusat Hak Asasi Manusia Al Mezan (The Al Mezan Center for Human Rights), Samir Zaqut mencatat bahwa situasi sulit di Gaza telah menyebabkan banyak penduduk tidak memikirkan sama sekali tentang bulan Ramadan.

"Anda melihat orang-orang hidup berkeliaran di jalan-jalan tetapi di dalam diri mereka sendiri mereka mati, kebanyakan generasi muda dan lulusan perguruan tinggi yang sedang menyelesaikan gelar mereka dan tidak ada yang bisa mereka lakukan," kata Zaqut.

"Dunia perlu sadar dan memahami bahwa Gaza berada di ambang kehancuran dalam setiap aspek. Tidak mungkin berbicara sepanjang waktu dan hanya memberikan obat penenang kepada mereka hanya demi menunggu krisis berikutnya," lanjutnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya