Liputan6.com, Jakarta - Pemilu Serentak yang pertama kali digelar pada 2019 diwarnai sejumlah insiden. Satu di antaranya banyaknya petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang meninggal dunia.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menuturkan rasa bersalahnya atas banyaknya petugas KPPS yang gugur selama Pemilu 2019.
Advertisement
Sebab, MK punya andil besar dalam memutus pelaksanaan pemilu secara serentak berdasarkan permohonan dari Koalisi Masyarakat Sipil.
"Sebagai Ketua MK, saya juga ikut merasa berdosa," kata Anwar, seperti dikutip Liputan6.com pada halaman resmi MK, Rabu (8/5/2019).
Anwar menyebut, seorang hakim ketika menjatuhkan sebuah putusan jika putusannya benar, maka ia akan mendapatkan dua pahala. Lantas, jika putusannya salah, hakim tersebut hanya akan mendapat satu pahala.
"Dua pahala itu adalah pahala ijtihad dan pahala kebenaran. Sementara jika hakim tersebut memutus salah, maka hanya akan terhitung satu pahala, yakni pahala ijtihad," urainya.
Hingga 4 Mei 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu mencatat, jumlah petugas KPPS yang meninggal sebanyak 440 orang.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Korban Jiwa Terbanyak
Sebelummnya, Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyebut terjadi peningkatan korban jiwa pada Pemilu Serentak 2019.
Korban jiwa yang dimaksud Titi adalah para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
"Jadi memang tahun ini, kalau saya bandingkan dengan 2004, 2009, dan 2014, 2019 adalah peristiwa di mana korban jiwa itu paling banyak," ungkap Titi di kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Minggu, 21 April 2019.
Titi meminta pemerintah segera mengevaluasi Pemilu 2019. Menurut dia, kasus meninggalnya petugas KPPS karena kelelahan saat proses penghitungan suara tidak boleh kembali terulang.
Titi pun menyayangkan tidak adanya asuransi yang diberikan untuk para petugas KPPS. Sebab, ia menganggap, beban kerja petugas KPPS pada Pemilu Serentak 2019 lebih banyak.
"Menurut saya kepada para petugas yang mengalami, menjadi korban jiwa dan yang sakit atau pun luka karena kecelakaan kerja, harusnya negara memberi kompensasi yang sepadan. Saat ini mereka tidak mendapatkan asuransi kesehatan, kematian, atau pun ketenagakerjaan," tukas Titi. (Dewi Larasati)
Advertisement