Pesan Habib Luthfi bin Yahya untuk Penganut Islam Aboge Purbalingga

Maksudi adalah jebolan beberapa pondok pesantren, termasuk pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Salah satu yang dianggapnya guru adalah Habih Luthfi bin Yahya, Pekalongan.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 09 Mei 2019, 10:01 WIB
Ilustrasi – Penganut Islam Aboge di Desa Kracak Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah menggelar Salat Ied dan perayaan Idul Fitri 1439 Hijriyah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Purbalingga - Ratusan penganut Islam Aboge alias Alif Rebo Wage di Desa Onje Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah baru menunaikan puasa pada Selasa, 7 Mei 2019, atau selang sehari dari keputusan pemerintah.

Pemimpin Jemaah Islam Aboge yang juga sesepuh Desa Onje, Kiai Sudi Maksudi mengatakan, penentuan Ramadan didasarkan atas perhitungan yang dia dan komunitasnya yakini secara turun temurun.

Dalam perhitungannya, puasa Ramadan tahun ini jatuh pada hari Selasa Pahing. Namun, ia berharap agar perbedaan awal Ramadan itu itu tak membuat kelompoknya dianggap sebagai kelompok menyimpang.

Sebab, ibadah kelompok Islam Aboge tetap dalam tuntunan Al Quran, sama dengan umat muslim pada umumnya. Dalam fiqih disebutkan, ada empat cara untuk menentukan awal Ramadan.

Salah satunya adalah metode hisab. Dan sesepuh Islam Aboge telah menggunakan metode hisab ini semenjak ratusan tahun lalu.

"Ramadan kali ini jatuh pada Selasa Pahing atau hari ini. Perhitungannya rumit tapi kami anggap ini sebagai perhitungan pasti," ujarnya.

Maksudi adalah jebolan beberapa pondok pesantren, termasuk pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Salah satu yang dianggapnya guru adalah Habih Luthfi bin Yahya, Pekalongan.

Dia pun mengakui, Habib Luthfi pernah berpesan agar ia dan kelompoknya meninggalkan sejumlah ajaran Islam Aboge. Dan ia mengaku menuruti sejumlah pesan itu.


Metode Hisab Islam Aboge

Kiai Sudi Maksudi, pimpinan Jemaah Islam Aboge Desa Onje Kecamatan Mrebet, Purbalingga. (Foto: Liputan6.com/Dinkominfo PBG/Muhamad Ridlo)

Tapi khusus untuk hisab, Maksudi dan jemaah Islam Aboge menolak karena pertimbangan tradisi turun menurun. Alasan lainnya, ia bukan berkiblat kepada ayahnya, seorang tokoh Aboge, Surya Munadi (alm), melainkan kepada ilmu hisabnya.

"Habib Luthfi, guru saya itu sudah mrintah saya untuk ninggalin ini. Tapi saya bilang ke Habib Luthfi kalau saya tidak berkiblat sama ayah saya. Kalau saya berkiblat sama ayah saya berarti saya syirik," ucapnya.

"Saya hanya menjalankan ilmu hisab beliau. Secara amalan kami masih tahlilan, istighozah dan lain sebagainya. Jadi tidak berbeda amalan kami," katanya, dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com dari Dinkominfo Purbalingga.

Kepala Desa Onje, Mugi Ari Purwono menerangkan, warga di luar kelompok Islam Aboge tidak terganggu dengan apa yang diamalkan Aboge. Dia justru gembira dengan adanya keberagaman di Onje.

Menurut dia, Jemaah Aboge dan masyarakat pada umumnya tidak pernah mempermasalahkan tentang perbedaan waktu awal Ramadan dan Idul Fitri. Penganut ajaran Aboge diketahui paling banyak di Dusun Bak, Desa Onje.

"Kami tidak pernah mempermasalahkan perbedaan ini. Justru kami anggap sebagai sebuah keunikan," kata Mugi.

Sama seperti di Desa Onje, Purbalingga, penganut Islam Kejawen yang menggunakan kalender Aboge di Banyumas dan Cilacap pun memulai puasa Ramadan pada Selasa pahing.

Juru Bicara Komunitas Adat Banokeling Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Sumitro mengatakan tahun ini adalah tahun Be. Pada tahun Be, awal tahun atau 1 Sura jatuh pada Kamis pasaran Manis.

Dengan rumus Nemro maka bulan puasa atau Ramadan akan tiba pada Selasa pahing. Itu dihitung dari hari keenam setelah Kamis manis, sebagai awal hari di tahun Be ini.

"Sanemro, Selasa Pahing, itu mulai puasa. Puasa itu kan termasuk perhitungannya dengan rumus Nemro. Nemro-nya itu ambil dari 1 bulan Suro, Kamis, Jumat, Sabtu, Ahad, Senin, Selasa itu kan enam," kata Sumitro, Jumat 3 Mei 2019.

Sumitro menerangkan, tiap tahun perhitungan awal puasa selalu berubah tergantung tahunnya. Penetapan waktu tersebut dihitung berdasarkan almanak (penanggalan) Jawa sesuai kalender Alif Rebo Wage (Aboge).


Kalender Aboge

Penganut Islam Kejawen dan penghayat kepercayaan di Desa Kalikudi menggelar ritual Sadran menjelang Ramadan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Almanak Aboge mendasarkan perhitungan hitungan tahun yang jumlahnya hanya satu windu atau delapan tahunan. Tiap tahun memiliki nama, yakni Alif, He, Jim, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jim Akhir.

Kata dia, rumus perhitungan yang mendasarkan pada jatuhnya 1 Suro juga bisa diterapkan dalam penghitungan lebaran Idul Fitri. Rumusnya adalah Waljiro. Pada tahun Be ini, lebaran akan tiba pada Kamis pahing, atau diperkirakan tiba sehari setelah Idul Fitri ketetapan pemerintah.

"Tahun ini 1 Suronya kan Kamis Manis. Berarti nemronya itu, Selasa pahing. Tahun ini Be Misgi. Puasanya rumusnya Nemro. Lha nanti, lebarannya dengan rumus Waljiro," dia menerangkan.

Nun di selatan Panembahan Banokeling, penganut Islam Kejawen di Desa Kalikudi Kecamatan Adipala, Cilacap pun sejak jauh hari telah menetapkan awal puasa di hari yang saya, Selasa Pahing. Anak putu Kalikudi memiliki garis keturunan Ditakerta yang juga melestarikan adat tradisi lama.

Tetua Paguyuban Resik Kubur Rasa Sejati (PRKRS) Kalikudi, Kunthang Sunardi mengatakan dengan kelander Aboge, puasa dan lebaran sudah bisa ditentukan sejak jauh-jauh hari.

Di satu waktu, puasa atau lebaran kalender Aboge berbeda dengan pemerintah. Namun, terkadang awal puasa dan lebaran Kejawen tiba bersamaan dengan ketetapan pemerintah.

"Bisa bareng bisa beda hari. Tiap delapan tahun sekali akan terulang," ucap Kuntang, beberapa waktu lalu.

Penghitungan penentu waktu jatuhnya 1 Puasa atau Ramadan merupakan penghitungan dalam satu windu dengan jumlah hari dan jumlah pasaran Jawa yakni Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing.

Tujuh hari dalam sepekan penanggalan Aboge sama dengan kalender-kalender lain, Masehi maupun Hijriyah. Jumlah bulannya pun sama, 12 bulan. Jumlah hari dalam kalender Aboge adalah 29 dan 30 hari dalam sebulan.

Kunthang berpendapat, perbedaan tibanya puasa dan lebaran itu merupakan kekayaan ilmu pengetahuan Indonesia. Karenanya ia berharap agar perbedaan ini disikapi dengan arif dan bijaksana.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya