Kisah Pilu Muslimah Rohingya, Diselundupkan ke Malaysia untuk Kawin Paksa

Senwara Begum (23) adalah salah satu dari sekian perempuan Rohingya yang harus mengalami kawin paksa. Ia tidak memiliki pilihan lain.

oleh Siti Khotimah diperbarui 09 Mei 2019, 11:44 WIB
Etnis Muslim Rohingya, yang baru saja melintas perbatasan Myanmar menuju Bangladesh, sedang menunggu giliran menerima bantuan makanan dekat kamp pengungsi Balukhali (AP)

Liputan6.com, Kuala Lumpur - Senwara Begum (23) adalah salah satu dari sekian perempuan Rohingya yang menjalani pengalaman luar biasa. Gadis itu menempuh perjalanan dua minggu menuju Malaysia. Ia menumpang mobil dan perahu kayu, melewati sungai serta pegunungan untuk menemui seseorang. Ia hendak dikawinkan dengan laki-laki yang belum pernah ia temui sama sekali.

Perjalanan terasa panjang dan menyedihkan. Sejauh mata memandang ia hanya melihat panorama asing, hamparan tanah bagian perbatasan. Ia tak sendiri. Sang penyelundup menemaninya, sukses membuat jantung Begum naik turun. Ia takut dilecehkan, dengan oknum yang terkenal dengan kasus perkosaan itu.

 

"Kami bepergian melalui jalur darat, kadang-kadang berganti mobil. Kami mulai di kamp dan pergi ke perbatasan India, lalu menuju ke Malaysia. Kami bertiga; aku, seorang wanita dan seorang pria - oknum perdagangan manusia," kata Begum sebagaimana dikutip dari laman Al Jazeera pada Kamis (9/5/2019).

"Beberapa gadis Rohingya yang diperistri adalah kawan saya, dan saya telah berbicara dengan mereka yang berada dalam kondisi seperti perbudakan. Seorang gadis Rohingya mengatakan dia tidak ingin menikah muda, tapi tak memiliki pilihan lain," kata John Quinly, seorang peneliti dari Fortify Rights.

Bagi Begum, perjalanan itu ibarat menyeberang di antara dua karang terjal. Meninggalkan pemukimannya yang penuh sesak di Kutupalong, Cox's Bazar; menuju suatu tempat untuk diperistri seorang laki-laki asing.

Begum tahu, setidaknya pria itu adalah bagian dari kaumnya, sama-sama Rohingya. Dari informasi yang didapat, ia bagian dari pengungsi yang telah diselundupkan lebih dulu ke Malaysia. Karena tak bisa mempersunting perempuan lokal, banyak dari laki-laki Rohingya yang meminta tolong dicarikan pasangan. Lamaran disampaikan melalui teman, minta dipilihkan perempuan terbaik yang bisa diajak membangun bahtera rumah tangga.


Cara Penyelundup Beroperasi

Muslim Rohingya saat melakukan pelayaran maut untuk mengungsi dari Rakhine. (AFP)

Banyak dari para perempuan korban penyelundupan adalah mereka yang masih berada di Myanmar dan ingin memasuki Bangladesh. Memanfaatkan kondisi itu, oknum penyelundup beroperasi. Mereka memasuki Myanmar melalui titik tertentu yang tidak begitu dijaga ketat personel militer.

Beberapa dari korban penyelundupan adalah anak-anak. Fortify Rights baru-baru ini mendesak Malaysia untuk menangani kasus pernikahan usia dini. Lembaga itu memiliki bukti wawancara dengan 11 pengantin anak atau kerabat mereka di Bangladesh dan Malaysia.

"Satu rute baru-baru ini yang didokumentasikan oleh Fortify Rights adalah rute darat yang rumit dari Myanmar ke Bangladesh, India, dan kemudian ke Negara Bagian Chin di Myanmar dan melalui kota-kota Mandalay dan Yangon, akhirnya melintasi perbatasan Myanmar-Thailand dan kemudian ke Malaysia," tutur Quinley.

Quinley melanjutkan, pengungsi Rohingya di Cox's Bazar memang menghadapi keadaan khusus. Mereka tidak memiliki akses terhadap pendidikan formal dan secara terus menerus mendapat tekanan dari lingkungan Bangladesh. Namun apapun yang terjadi, mereka takut jika dipulangkan ke Myanmar.

Semua faktor pendorong itu mengarah kepada berkembangnya perkawinan anak Rohingya. Mereka yang menerima lamaran kemudian dibawa ke Malaysia.


Uang Tebusan

Ilustrasi uang tebusan (iStock)

Jaringan penyelundup manusia mengangkut muslim Rohingya dari Bangladesh atau Myanmar ke hutan-hutan di bagian Thailand Selatan. Mereka kemudian ditahan di tempat itu, menunggu mendapatkan uang tebusan.

Tak lama setelah uang diterima, oknum-oknum keji itu melanjutkan misi untuk mengantar para korban ke Malaysia. Dari pihak korban sendiri, sebagian besar percaya bahwa mereka akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan kebebasan di Negeri Jiran daripada dua tempat sebelumnya.

Kabar baiknya, operasi yang tidak berperikemanusiaan tersebut berhenti pada 2015. Jaringan luas itu telah mati sejak Thailand menemukan 139 kuburan massal di beberapa kamp perdagangan manusia di sepanjang perbatasan dengan Malaysia.

Sejak 2017, upaya penyelundup manusia dengan perahu juga telah dihentikan oleh penjaga pantai Bangladesh. Namun, dalam setahun terakhir, telah terjadi peningkatan pergerakan Rohingya, sebagian besar melalui rute darat yang panjang dari Bangladesh.

Seorang aktivis Rohingya di Thailand, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa tidak mungkin untuk mengetahui dengan pasti berapa banyak Rohingya yang memasuki Malaysia. Namun ia menggarisbawahi, sekarang terdapat aliran penyelundupan yang konstan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya