Penjelasan Walhi soal Dampak PLTU Batu Bara terhadap Lingkungan

Walhi menilai beberapa proyek yang ditawarkan pemerintah kepada China atau program jalur sutra tidak ramah lingkungan.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Mei 2019, 14:44 WIB
Pekerja Batu Bara (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai beberapa proyek yang ditawarkan pemerintah kepada China dalam Belt and Road Initiative (BRI) atau Program Jalur Sutra tidak ramah lingkungan terutama PLTU batu bara.

Namun, pemerintah menyebutkan semua proyek yang ditawarkan ramah lingkungan dengan menggunakan Teknologi USC (Ultra-Super Critical) PLTU yang tidak menghilangkan emisi karbon dan emisi lain.

Manager Kampanye Walhi, Yuyun Harmono menyebutkan dalam hal ini, emisi karbon yang telah menjadi perhatian para ilmuan dan publik tetap besar dan hanya akan berkontribusi lebih pada perubahan iklim.

"Hasil laporan Intergovernmental Panel on Climate Change 1.5 (IPCC) menyatakan dunia harus mengurangi penggunaan batu bara hingga 3 persen jika tidak ingin terjadi bencana perubahan iklim. Saat ini emisi karbon sudah sangat tinggi, dengan teknologi USC atau apapun, yang ada emisi karbon batubara tidak akan berkurang, pilihannya hanya menghentikan pembangunan PLTU batu bara dan melakukan penutupan secara bertahap pembangkit listrik tenaga batu bara yang sudah terlanjur beroperasi. Teknologi USC tidak ramah lingkungan, teknologi tersebut hanya untuk menghemat penggunaan batubara tidak untuk mengurangi emisi karbon," kata dia, di Jakarta, Kamis (9/5/2019).

Dia melanjutkan, Kementerian Koordinator Kemaritiman tidak memikirkan dampak jangka panjang pembangunan PLTU batu bara terhadap perubahan iklim yang sudah terlihat nyata gejalanya.

Dalam beberapa dokumen resmi negara, seperti yang tertuang pada UU Nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2016-2020 (RPJMN), Indonesia telah mengakui bahwa ancaman perubahan iklim itu nyata dan berkomitmen untuk mengurangi emisi gas. 

"Emisi lain dari pembangunan tenaga listrik tenaga uap yaitu emisi NOx, SOx, pm2.5 dan merkuri. Emisi-emisi tersebut juga tidak akan hilang meskipun menggunakan teknologi USC. Emisi pm2.5 dan merkuri yang berpotensi menyebabkan kematian dini dan penyakit minamata masih tetap ada," ujar dia.

Proyek yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia untuk didanai dalam kerangka Belt and Road Inititive yang merupakan proyek listrik energi kotor batu bara antara lain: PLTU batu bara berkapasitas 1.000 Mw Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI), Tanah Kuning, Mangkupadi di Kalimantan Utara.

PLTU batubara berkapasitas 2x350 Mw di Celukan Bawang, Bali. PLTU Mulut Tambang Kalselteng 3 berkapasitas 2x100 Mw dan Kalselteng 4 berkapasitas 2x100 Mw, Kalimantan Tengah.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Menko Luhut Sebut Tak Rusak Lingkungan

Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan memberi paparan terntang kendaraan listrik nasional di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (29/11). Pemanfaatan listrik diharapkan bisa digunakan untuk moda transportasi kendaraan. (Liputan6.com/JohanTallo)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan proyek tersebut tidak akan merusak lingkungan.

Dia menyebutkan, salah satu dari lima syarat yang diajukan adalah proyek harus ramah lingkungan dan hal tersebut bahkan diikuti oleh negara lain yang tergabung dalam One Belt One Road (OBOR).

"Berkali-kali saya sampaikan 5 kriteria yang saya sampaikan menjadi pegangan, malah diikuti oleh negara-negara OBOR," kata dia di kantornya, Selasa, 8 Mei 2019. 

Dia menjelaskan, pihaknya terbuka pada kritik, namun diharapkan kritik tersebut harus dibicarakan terlebih dahulu.

"Tadi harus ramah ligkungan teknologinya, ada Walhi katanya kita tidak memperhatikan (linkgungan), sama sekali tidak betul. Jadi kalau mau kritik tanya dulu lah, kita juga gak tertutup sama kritikan," ujarnya.

Selain itu, dia juga menegaskan proyek tersebut tidak akan merugikan Indonesia dengan jerat utang sebab model bisnis yang terapkan adalah Business to Business (B to B) bukan Governance to Governance (G to G).

"Kita sampai hari ini tidak ada melakukan G to G, saya tahu karena saya ketuanya menyangkut imvestasi dari Tiongkok. Jadi kalau ada ketakutan isu menjual segala macam, itu tidak terjadi," ujarnya.

Dia mengatakan, setiap proyek juga dikaji terlebih dahulu oleh banyak pihak terkait termasuk Bappenas dan beberapa konsultan asing,

"Sehingga bagus supaya jangan sampai terjadi ada hal-hal yang tidak diinginkan," ujarnya.

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya