Ahli dari Ratna Sarumpaet: Ketika Sudah Minta Maaf dan Tak Onar, Tidak Perlu Disidang

Ahli pidana Mudzakir didatangkan di sidang penyebaran berita bohong atau hoaks dengan terdakwa Ratna Sarumpaet.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 09 Mei 2019, 14:43 WIB
Terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks Ratna Sarumpaet mendengarkan kesaksian saat sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan, Selasa (9/4). Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan empat orang saksi, salah satunya yaitu Presiden KSPI, Said Iqbal. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Ahli pidana Mudzakir didatangkan di sidang penyebaran berita bohong atau hoaks dengan terdakwa Ratna Sarumpaet. Dia dihadirkan oleh pengacara terdakwa sebagai saksi meringankan.

Dalam kesaksiannya, Mudzakir menilai jaksa kurang tepat mendakwa Ratna Sarumpaet dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam pasal tersebut, Mudzakir mengutip bunyi Pasal 14. Mudzakir mengarisbawahi pada kata keonaran.

"Ini keonaran tidak terjadi dan tidak menimbulkan keonaran," ujar dia di persidangan Ratna Sarumpaet, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (9/5/2019).

Menurut dia, ketika seseorang menyampaikan informasi salah ke hadapan publik, tapi yang bersangkutan telah mengklarifikasi omongannya, maka kasus kebohongan ini dinyatakan selesai.

"Kan sudah minta maaf, sebagai bangsa Indonesia yang berperikemanusiaan adil dan beradab. Adab manusia kalau sudah salah minta maaf tidak menimbulkan kerugian yang lain kalau begini ya clear," ujar dia.

Ia pun menilai, kasus Ratna Sarumpaet tidak perlu lagi dibawa ke meja hijau.

"Tidak ada lagi masuk ke hukum pidana karena tidak ada hubungannya dengan tujuannya untuk menimbulkan keonaran. Menurut ahli demikian sehingga unsur dengan sengaja menimbulkan keonaran pada masyarakat tidak terpenuhi dalam konteks ini," kata Mudzakir.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Dakwaan

Terdakwa kasus penyebaran berita bohong atau hoaks Ratna Sarumpaet mendengarkan kesaksian Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dalam saat di PN Jakarta Selatan, Selasa (7/5/2019). Ratna menjadi terdakwa kasus penyebaran hoaks penganiayaan palsu yang disebarkan dirinya sendiri. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Jaksa mendakwa Ratna Sarumpaet telah menyebarkan berita bohong kepada banyak orang yang dapat menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.

Ia dikenakan dakwaan alternatif, yakni Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Perbuatan penyebaran berita bohong itu diduga dilakukan dalam kurun waktu Senin 24 September 2018 sampai Rabu 3 Oktober 2018 atau pada waktu lain setidak-tidaknya dalam September hingga Oktober 2018, bertempat di rumah terdakwa di Kampung Melayu Kecil V Nomor 24 Rt 04 RW 09, Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.

Perbuatan Ratna ini mendapat reaksi dari masyarakat dan sejumlah tokoh politik. Setelah melalui perdebatan panjang di sosial media dan media massa, pada 3 Oktober 2018, Ratna Sarumpaet menyatakan telah berbohong tentang penganiayaannya. Dia pun meminta maaf.

Sementara pada dakwaan kedua, jaksa menduga Ratna Sarumpaet, "Dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, ras atau antar golongan (SARA)."

Sebagian masyarakat Kota Bandung bereaksi dengan menuntut terdakwa meminta maaf kepada masyarakat Bandung. Mereka tersinggung karena menyebut-nyebut nama kota mereka sebagai lokasi kejadian.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya