FGD Kemendagri Kaji Pemindahan Ibu Kota Negara

Rencana pemindahan ibu kota harus didukung regulasi otonomi daerah.

oleh Cahyu diperbarui 09 Mei 2019, 16:40 WIB
Rencana pemindahan ibu kota harus didukung regulasi otonomi daerah. (foto: dok. Kemendagri)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melaui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Ditjen Otda) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Dukungan Regulasi Otonomi Daerah dalam Rangka Rencana Pemindahan Ibukota Negara” di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (9/5/2019). Pemerintah memang terus melakukan kajian pemindahan ibu kota.

Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah yang kini menjadi dosen di IPDN, Soni Sumarsono, mengatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri harus menjadi leading sector dalam proses pemindahan tersebut. Pasalnya, proses pemindahan ibu kota erat kaitannya dengan regulasi. 

“Kemendagri harus menjadi leading sector dalam proses ini. Harus ada master plan 2019/2020 sampai 2030. Jadi master plan-nya 10 tahun tentang apa yang dibangun, bagaimana membangunnya, dan lain-lain,” ujarnya.

Sebagai bentuk implikasi dari adanya kebutuhan pemindahan ibu kota, Kemendagri diminta mengantisipasi beberapa hal. Pertama, revisi regulasi penetapan ibu kota.

“Ada satu kebutuhan untuk merevisi penetapan DKI Jakarta menjadi sebuah ibu kota, yaitu UU Nomor 29 Tahun 2007. Intinya fungsi ibu kota tetap berjalan, hanya lokasinya saja yang berbeda. Hal ini tentu akan menempatkan peran sentral Kemendagri dalam hal koordinasi, tata kelola pemerintahan, dan regulasi,” ucap Sumarsono.

Kedua, penyiapan Draft RUU baru tentang penetapan kota X sebagai ibu kota dengan ditetapkan sebagai daerah khusus ibu kota.

“Perlu ada draft regulasi baru, revisi, atau pembatalan regulasi dengan Kementerian/Lembaga atau Pemda,” kata Sumarsono.

Ketiga, perlu adanya penyesuaian tingkat UU dan PP yang terkait, termasuk UU sektoral serta penyiapan dokumen perencanaan makro seperti tata ruang. Keempat, penyediaan satuan Tugas atau unit lintas sektoral untuk menangani proses pemindahan ibu kota negara.

“Butuh keputusan politik yang tegas. Saya merekomendasikan harus ada satgas atau unit/oritas yang menangani ibu kota lintas sektoral," ujar Sumarsono.

Kelima, diperlukan resolusi konflik sebagai formulasi khusus untuk mengantisipasi konflik sedini mungkin. Dirinya menilai pemindahan ibu kota menjadi kebutuhan dan sangat mungkin untuk dilakukan melihat kondisi Jakarta yang telah lama menjadi sebuah ibu kota negara tak lagi memenuhi syarat.

Senada dengan hal itu, Guru Besar IPDN, Djohermasyah Johan, mengatakan bahwa Jakarta sudah menjadi tak ideal lagi dijadikan ibu kota dengan berbagai kompleksitasnya.

“DKI Jakarta sudah dianggap tidak ideal lagi karena tidak memenuhi berbagai unsur filosofi sebuah ibu kota negara,” ucapnya.

Djoehermansyah pun memberikan catatan tentang lokasi pemindahan ibu kota. Pertama, lokasi yang dipilih adalah lokasi yang indah atau terindah di sebuah negara.

Kedua, aman. Tidak boleh rawan bencana, rawan kudeta atau pengambil alihan kekuasaan, serta aman dari gangguan kekacauan. Ketiga, nyaman dan memiliki konsep smart city. Keempat, tertib dan teratur, didukung transportasi memadai, pedestrian yang nyaman, serta mendukung pendidikan juga nyaman.

Sebagai informasi, pemindahan Ibu Kota DKI Jakarta ke suatu tempat di luar Pulau Jawa bukanlah gagasan baru, bahkan Presiden Pertama RI Soekarno sebelumnya sudah mengantisipasi pemindahan ibu kota ke Kalimantan. Namun, rencana tersebut tidak berhasil dilaksanakan karena transportasi dan infrastruktur belum mendukung. Selain itu, Soekarno ketika itu fokus pada penyiapan penyelenggaraan Asian Games di Jakarta sehingga ide tersebut terhenti. Kemudian, pada 17 April 2017 muncul gagasan dari Presiden Joko Widodo yang memerintahkan Bappenas untuk melakukan studi awal tentang pemindahan ibu kota.

 

 

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya