Liputan6.com, Jakarta - Wacana Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk memindahkan agama bukan isapan jempol. Sejumlah calon Ibu Kota telah ditinjau. Lantas, provinsi mana yang akan dipilih Jokowi sebagai Ibu Kota negara baru?
Dari sejumlah provinsi yang didatangi, Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Tengah (Kalteng) lah yang paling banyak disorot. Menurut Jokowi ada nilai tambah yang dimiliki kedua provinsi ini, salah satunya kelengkapan infrastruktur serta sarana dan prasarana pendukung.
Advertisement
"Di sini saya melihat semuanya sangat mendukung. Kebetulan ini berada di tengah-tengah jalan tol Samarinda-Balikpapan. Kemudian kalau kita lihat di Balikpapan ada airport-nya, Samarinda juga ada airportnya. Sudah enggak buat airport lagi, sudah ada dua. Pelabuhan juga sudah ada," jelas Jokowi saat meninjau kedua lokasi, Selasa 7 Mei 2019.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini bahkan menyebut, jika dilihat dari sisi ketersediaan lahan, Kalteng-lah yang paling siap untuk dijadikan Ibu Kota negara baru.
Seiring Ibu Kota dipindah ke luar pulau Jawa, wacana akan memindahkan aparatur sipil negara (ASN) kini juga muncul kepermukaan. Lantas berapa jumlan ASN atau PNS yang akan dipindah jika pemindahan Ibu Kota terealisasi dalam 10 hingga 20 tahun ke depan?
Bertempat di Istana Merdeka, Jakarta, Wakil Presiden Jusuf Kalla memperkirakan ada sekitar 1,5 juta PNS dan keluarganya yang harus ikut pindah.
"Otomatis seluruh ASN diperkirakan harus pindah 1,5 juta orang, termasuk keluarga," kata JK di Kantornya, Jalan Merdeka Utara, Selasa, 7 Mei 2019.
Belakangan, hal yang sama juga diungkap oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana. Dia menyebut ada 1 juta PNS yang harus ikut serta jika Ibu Kota dipindahkan.
"Kan 2 jutaan tetapi itu banyak juga yang juga di daerah. Jadi saya enggan tahu berapa di kementerian itu. Angka itu belum tahu. Sebanyak 1 juta juga mungkin (yang ikut pindah)," ujar dia di Jakarta, Kamis (9/5/2019).
Konsekuensi Pindah Ibu Kota
Sementara itu, mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah yang kini menjadi dosen di IPDN, Soni Sumarsono menyatakan, ada sejumlah konsekuensi yang perlu diperhatikan Kemendagri terkait adanya kebutuhan pemindahan Ibu Kota. Di antaranya soal revisi regulasi penetapan Ibu Kota.
"Ada satu kebutuhan untuk merevisi penetapan DKI Jakarta menjadi sebuah Ibu Kota, yaitu UU Nomor 29 Tahun 2007. Intinya fungsi Ibu Kota tetap berjalan, hanya lokasinya saja yang berbeda. Hal ini tentu akan menempatkan peran sentral Kemendagri dalam hal koordinasi, tata kelola pemerintahan, dan regulasi," ucapnya.
Kedua, menyiapkan draf RUU baru tentang penetapan kota X sebagai Ibu Kota. "Perlu ada draf regulasi baru, revisi, atau pembatalan regulasi dengan Kementerian/Lembaga atau Pemda," kata Sumarsono.
Lalu perlu juga diperhatikan penyediaan satuan Tugas atau unit lintas sektoral untuk menangani proses pemindahan Ibu Kota negara dan resolusi untuk mengantisipasi konflik sedini mungkin.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Perlu Badan Khusus
Kompleksnya masalah yang harus ditangani terkait pemindahan Ibu Kota, Kemendagri, dalam hal ini Direktorat Jenderal Otonomi Daerah menilai, sangat ideal jika ada badan khusus untuk membuat master plan atau rancangan awal rencana ini.
Usul soal badan khusus perancangan Ibu Kota tersebut disampaikan saat menggelar Focus Group Discussion tentang pengkajian regulasi otda di Jakarta.
"Idealnya memang harus ada badan. Agar ada sinkronisasi, agar ada perpaduan penyiapan-penyiapan, perencanaan-perencanaan teknis, maupun makronya," kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik, di Jakarta, Kamis (9/5/2019).
Namun, lanjut dia, semuanya itu tergantung bagaimana keputusan Presiden Joko Widodo atau Jokowi nanti.
"Kami sebagai staf, cuma mempersiapkan langkah-langkah, seluruh alternatif-alternatif yang mungkin hadir untuk membantu Bapak Presiden mewujudkan rencana pemindahan Ibu Kota ini," jelas Akmal.
Senada, mantan Dirjen Otda Soemarsono, juga menegaskan yang paling penting dan utama adalah master plannya. Dan itu akan baik menyusunnya jika ada sebuah badan.
"Jadi memang perlu badan khusus selama master plan itu dibuat," jelas pria yang akrab disapa Soni ini.
Dia pun mengingatkan, dengan adanya master plan ini, akan mudah membuat langkah-langkah yang diambil. Termasuk anggarannya.
"Jadi terjemahannya, dari master plan jadi duit itu gampang," pungkas Soni.
Advertisement
Profil Calon Ibu Kota Baru
Sebenarya seperti apa profil kedua provinsi yang kini tengah dilirik Jokowi?
Rabu kemarin, 8 Mei 2019, Presiden Joko Widodo terpantau mengunjungi dua dari daerah tersebut, yakni Gunung Mas di Kaltim dan Bukit Soeharto di Kalteng. Satu faktor yang Jokowi timbang adalah kelengkapan infrastruktur yang sudah eksisting di daerah tersebut.
Luas lokasi turut menjadi perhitungan presiden. Menurutnya, lokasi di Kalteng memiliki kualifikasi sebagai ibu kota baru karena luas daerah yang mumpuni, namun infrastrukturnya belum optimal.
Gunung Mas misalnya. Menurut Jokowi paling siap menjadi ibu kota baru dari segi luas. Mengapa demikian?
Lokasi Gunung Mas merupakan bagian dari "segitiga emas" di wilayah Kalimantan Tengah yang terdiri atas Kota Palangka Raya, Kabupaten Katingan, dan Kabupaten Gunung Mas.
"Ya tadi kan kita melihat dari atas ya. Dari udara. Kalau dari sisi keluasan, di sini mungkin paling siap. Mau minta 300 ribu hektare ya siap di sini. Kalau kurang masih tambah lagi juga siap," ujar Jokowi di lokasi.
Luas kabupaten Gunung Mas sendiri adalah 10.025 kilometer (km) persegi, sementara Kecamatan Manuhing memiliki luas 1.113 km persegi. Jokowi juga menyukai Bukit Nyuling karena lokasinya tidak rawan bencana.
Kedua Bukit Soeharto. Nama Soeharto muncul di daerah ini karena presiden kedua yang mendorong agar kawasan hijau agar dilestarikan. Daerah ini berada di Kawasan Taman Hutan Raya, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Jokowi percaya diri bahwa daerah ini memiliki infrastruktur yang mendukung pemindahan ibu kota. Selain lokasinya berada di tengah Balikpapan dan Samarinda, konektivitas daerah ini didukung lokasi bandara dan pelabuhan yang terbilang dekat.
Bandara tersebut adalah Bandara Internasional Aji Pangeran Tumengung Pranoto Samarinda dan Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan Balikpapan. Sementara, dua pelabuhan besar adalah Pelabuhan Palaran di Samarinda dan Pelabuhan Semayang di Balikpapan.