Pohon Berusia 2.624 Tahun Ditemukan di Rawa Carolina Utara, tapi...

Ilmuwan menemukan pohon berusia 2.624 tahun di rawa di Carolina Utara, tetapi sesuatu mengancam kehidupan tanaman ini.

oleh Afra Augesti diperbarui 13 Mei 2019, 15:02 WIB
Ilustrasi Foto Pohon (iStockphoto)

Liputan6.com, Carolina - Para ilmuwan baru-baru ini menemukan pohon-pohon yang berumur lebih dari 2.000 tahun di kawasan kota Black River, Carolina Utara, termasuk Sancang Taxodium (Taxodium distichum) atau cemara gundul yang berusia 2.624 tahun.

Itu membuatnya menjadi pohon non-klonal (tidak termasuk dalam koloni besar tanaman identik yang secara genetik tumbuh dari satu nenek moyang dan bisa hidup selama puluhan ribu tahun) tertua kelima yang dikenal di dunia.

Pohon lain yang berada di dekat wilayah itu, ditemukan berumur 2.088 tahun. Ahli geosains percaya bahwa ada lebih banyak pohon cemara gundul di Three Sisters Swamp --rawa-- yang kemungkinan bisa berusia sama atau bahkan lebih tua.

"Pasti ada beberapa pohon berusia lebih dari 2.000 tahun di Black River," kata David Stahle, ahli geologi dan geofisika dari University of Aransas yang dikutip dari surat kabar The Charlotte Observer, Senin (13/5/2019).

Selama beberapa dekade, diketahui bahwa ada sejumlah pohon di area itu berasal dari zaman kuno. Pada 1980-an, Stahle dan rekannya menemukan pohon yang berumur 1.700 tahun.

Temuan tersebut-lah yang menyebabkan North Carolina Nature Conservancy membeli lahan seluas 16.000 hektar itu secara pribadi, guna membantu melindungi tanaman-tanaman raksasa ini.

Dengan menggunakan sebuah alat pengambilan sampel yang dikenal sebagai increment borer (yang tidak membahayakan pohon), para peneliti dapat mengambil sampel inti yang memungkinkan mereka menghitung cincin pohon --lingkaran dari inti batang pohon yang dibuat oleh lapisan pertumbuhan tahunan.

Akan tetapi, sampel-sampel ini dapat diperumit oleh pembusukan inti dan menghasilkan pohon yang berlubang di tengah. Oleh sebab itu, tim ilmuwan hanya memilih pohon-pohon yang padat.

Namun anehnya, sebatang pohon yang diberi nama BLK227, ditemukan berusia setidaknya 2.624 tahun. Ilmuwan menyimpulkan, bibit pohon ini diperkirakan ditanam atau tertanam pada 605 SM --jangka waktu yang mendahului Kekaisaran Romawi dan tahun ketika Nebukadnezar II naik ke takhta menjadi raja Babilonia.

Pohon lain, BLK232, usianya 2.088 tahun dan peneliti mencatat bahwa bijinya berasal dari 70 SM, sekitar saat Cleopatra lahir.

"Sangat luar biasa melihat pohon tua yang tumbuh di sepanjang Black River," ujar Stahle.

"Kayu yang dihasilkan oleh pohon cemara gundul sangat berharga dan banyak di antara mereka sudah ditebang habis. Hanya kurang dari 1 persen hutan perawan di dunia yang masih dihuni oleh cemara gundul," imbuhnya.

 

 


Mengetahui Curah Hujan dan Iklim

Ilustrasi pohon (iStock)

Selain umur yang istimewa, pohon-pohon ini juga dinilai luar biasa dari segi cincinnya. Lingkaran pohon cemara gundul bisa dijadikan sebagai pendeteksi yang jelas tentang curah hujan selama musim tanam, setiap tahun tertentu.

Jadi, cincin BLK227 dan BLK232 berisi informasi berharga tentang iklim yang terjadi pada dua setengah milenium silam --termasuk kekeringan dan banjir yang ada sejak zaman Kekaisaran Neo-Babilonia.

Satu yang menarik perhatian peneliti adalah kekeringan parah yang dimulai pada 1587 dan berlangsung selama dua tahun, bertepatan dengan upaya pertama untuk pembangunan permukiman di Roanoke, Carolina Utara.

Ini mungkin yang menjelaskan mengapa pemukim Roanoke Colony menghilang sekitar tahun 1587 dan 1590.

"Adalah kebetulan yang luar biasa bahwa pohon tertua yang diketahui hidup di Amerika Utara bagian timur juga memiliki pendeteksi iklim terkuat yang pernah terdeteksi di mana pun di Bumi," Stahle menjelaskan kepada Smithsonian.

"Mereka sangat tua dan sangat sensitif terhadap iklim, terutama curah hujan," katanya lagi.

Namun, tim hanya mempunyai inti dari 110 pohon dari puluhan ribu. Jadi masih dimungkinkan bahwa ada pohon-pohon yang lebih tua di rawa di Black River.

Pohon-pohon kuno ini melindungi wilayah itu. Selain ancaman penebangan yang dilakukan oleh manusia, polusi, perubahan iklim, naiknya permukaan laut menjadi penyebab lain musnahnya tanaman-tanaman tua ini.

"Untuk mengatasinya, penemuan pohon tertua yang diketahui hidup di Amerika Utara bagian timur, yang sebenarnya merupakan beberapa pohon tertua yang hidup di Bumi, memberikan insentif yang kuat bagi konservasi swasta, negara bagian, dan federal," tulis para ilmuwan dalam makalah mereka.

Kini, penelitian tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal Environmental Research Communications.


Pohon Tertinggi di Dunia Lebih Panjang dari Lapangan Sepak Bola, Ada di Mana?

Ilustrasi Foto Pohon (iStockphoto)

Sementara itu, pohon tropis tertinggi di dunia dalam catatan para ahli disebut punya ukuran menakjubkan, yakni 100,8 meter yang menjulang dari tanah ke langit. Ukuran ini bahkan dikatakan setara dengan lima trek bowling yang ditumpuk dari ujung ke ujung.

Pohon ini, yang kemungkinan juga merupakan tanaman berbunga tertinggi di dunia, hidup di hutan hujan di Sabah, Malaysia, menurut para ilmuwan dari negara tersebut dan Inggris.

Saking tingginya jangkauan pohon ini, maka para ilmuwan pun menamainya "Menara" yang diambil dari bahasa Melayu.

Bagi orang-orang yang penasaran dan tidak dapat menyaksikannya secara langsung di Borneo, para peneliti telah membuat model pohon 3 dimensi (3D) yang dapat dibolak-balik dan dipelintir secara daring.

Dengan mempelajari Menara, para peneliti berharap bisa memahami bagaimana sebuah pohon mampu tumbuh dengan sangat tinggi dan faktor yang mencegah tanaman untuk tumbuh, kata mereka.

Menara adalah spesies pohon kayu tropis yang dikenal sebagai meranti kuning (Shorea faguetiana), anggota keluarga Dipterocarpaceae yang tumbuh subur di hutan hujan dataran rendah yang lembab di Asia Tenggara --merupakan tanaman endemik Kalimantan.

Pemegang rekor sebelumnya untuk pohon tropis tertinggi, berasal dari wilayah ini dan dari genus Shorea.

Tim ilmuwan menemukan Menara dengan menggunakan teknologi laser yang dikenal sebagai deteksi cahaya dan jangkauan (light detection and ranging) atau lazim disebut lidar.

Intinya, sebuah pesawat yang membawa perangkat lidar, terbang di ketinggian ratusan meter di atas permukaan laut sembari menembakkan laser ke arah bawah.

Laser tersebut kemudian dipantulkan kembali ketika sinarnya mengenai kanopi hutan dan tanah, sehingga bisa menyediakan data untuk peta topologi.

Setelah meninjau data, para peneliti memeriksa langsung Menara pada Agustus 2018. Di sana, mereka memindai pohon dengan laser terestrial untuk membuat gambar 3D resolusi tinggi. Mereka juga mengambil foto dari atas dengan menggunakan drone.

Seorang pemanjat lokal bernama Unding Jami dari Southeast Asia Rainforest Research Partnership, memanjat pohon itu pada Januari 2019 untuk mengukur tinggi persisnya dengan pita pengukur manual.

"Ini adalah pemanjatan yang menakutkan, sangat berangin di atas sana, karena pohon terdekat jaraknya sangat jauh, jadi angin gampang menerpaku" kata Jami dalam sebuah pernyataan.

"Tapi jujur, pemandangan dari atas sungguh luar biasa. Aku tidak tahu harus berkata apa selain itu sangat, sangat, sangat menakjubkan!" imbuhnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya