HEADLINE: Jadi Presiden Dewan Keamanan PBB, RI Tak Lupakan Palestina

RI mengangkat isu Palestina saat menjadi presiden Dewan Keamanan PBB. Bikin utusan Donald Trump tak senang.

oleh Afra AugestiHappy Ferdian Syah Utomo diperbarui 11 Mei 2019, 00:00 WIB
Suasana sidang informal DK PBB yang dipimpin Indonesia, Kamis 9 Maei 2019 (Kemlu RI)

Liputan6.com, New York - Isu Palestina menjadi fokus pertemuan informal 'Arria Formula' di Dewan Keamanan PBB. Indonesia jadi penggagasnya, bersama Kuwait dan Afrika Selatan.

Dalam pertemuan, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dengan tegas menyatakan bahwa permukiman ilegal yang terus didirikan Israel di wilayah Palestina adalah hambatan utama bagi proses perdamaian kedua bangsa.

"Permukiman ilegal adalah inti dari pendudukan Israel. Itu adalah jantung dari krisis perlindungan rakyat Palestina dan halangan yang jelas untuk perdamaian," kata Menlu Retno Marsudi di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, Kamis 9 Mei 2019 waktu setempat, seperti dikutip dari Antara.

Menlu Retno menekankan, pembangunan permukiman ilegal di wilayah Palestina, termasuk di Yerusalem Timur, menempatkan solusi dua negara (two-state solution) dalam bahaya.

"Masa depan kelangsungan hidup negara Palestina dibatalkan setiap hari oleh permukiman ilegal," kata dia. Secara de facto, permukiman yang dibangun Israel adalah bentuk aneksasi yang jelas-jelas merupakan pelanggaran HAM.

Kebijakan pembangunan permukiman Israel juga tak hanya memicu bencana kemanusiaan, tapi juga menyulut konflik dan kekerasan yang bisa mengancam perdamaian dunia.

Dewan Keamanan diminta untuk mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Israel. "Tidak berbuat apapun bukan lah sebuah pilihan," kata Menlu Retno. Kredibilitas Dewan Keamanan PBB dipertaruhkan.

Perdamaian dunia, juga isu Palestina, menjadi fokus Indonesia sebagai Presiden Dewan Keamanan PBB sepanjang Mei 2009.

Sejak pendudukan Israel atas Tepi Barat pada 1967, sejumlah permukiman Yahudi didirikan. Para permukim pun datang dari segala penjuru dengan beragam motif. Ada yang karena agama, beberapa karena ingin mengklaim wilayah Tepi Barat sebagai tanah Israel, lainnya punya alasan praktis: perumahan di sana cenderung murah dan disubsidi.

"Selama 50 tahun terakhir, Israel telah memaksa ribuan warga Palestina meninggalkan tanah mereka, lalu menduduki tanah itu dan secara ilegal menggunakannya untuk menciptakan pemukiman yang secara eksklusif menampung pemukim Yahudi Israel," demikian dikutip dari situs Amnesty International.

Warga Palestina jadi korbannya. Mereka kehilangan rumah, mata pencaharian. Ruang gerak pun dibatasi. Tak punya akses ke sumber air bersih, tanah, dan sumber daya alam mereka sendiri.

Fokus pembicaraan dalam Arria Formula di Dewan Keamanan PBB ternyata membuat utusan Presiden Donald Trump tak senang. 

Infografis Kiprah RI di DK PBB (Liputan6.com/Abdillah)

Bikin Jengah Utusan Donald Trump

Utusan Presiden Donald Trump untuk Urusan Timur Tengah, Jason Greenblatt mengekspresikan ketidaksukaannya atas pertemuan informal terkait isu Israel-Palestina di Dewan Keamanan PBB.

Alasannya, menurut dia, membangkitkan pokok pembicaraan yang melelahkan, dengan mengkritik Israel. Ia mengklaim, perluasan permukiman khusus Yahudi bukanlah penghalang bagi perdamaian, atau masuk dalam kategori ilegal menurut hukum internasional.

"Adalah hal yang membingungkan dan mengecewakan untuk menyaksikan bias anti-Israel yang jelas dan terus-menerus di PBB," kata dia, seperti dikutip dari Fox News.

Greenblatt, yang bekerja sama dengan menantu Trump, Jared Kushner soal rencana perdamaian Israel-Palestina ala AS, mempermasalahkan mengapa kecaman hanya diarahkan pada negeri zionis, tapi tidak pada Hamas. Ia juga mempertanyakan mengapa perwakilan Israel tak diundang. 

Greenblatt mengklaim, rencana perdamaian yang akan dirilis AS bulan depan, usai Ramadan, lebih memberikan 'pendekatan baru'.

Greenblatt mendesak anggota dewan untuk mendukung rencana itu, yang menurut dia, "realistis dan dapat diterapkan" dengan "paket kompromi yang tepat untuk kedua belah pihak".

Sebelumnya, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusannya tersebut "bertentangan" dengan kebijakan luar negeri AS yang telah berjalan selama tujuh dekade.

Dalam sidang darurat Majelis Umum PBB pada Kamis 21 Desember 2017, 128 dari 193 negara menentang keputusan Trump soal Yerusalem. Hanya sembilan negara yang mendukung, termasuk Israel. Sementara, 35 lainnya memilih abstain.

Tak sampai di situ, Donald Trump kemudian secara sepihak mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Israel, sebagai bentuk dukungan terhadap negeri zionis yang telah secara sepihak mengklaim area yang dipersengketakan dengan Suriah itu.

Yang teranyar, di tengah konflik Israel dan Palestina di Jalur Gaza, Donald Trump menyatakan pembelaannya pada pihak Tel Aviv. "Kami mendukung Israel 100 persen dalam pembelaan terhadap warganya," kata miliarder nyentrik itu.

Respons Palestina

Apa yang disebut AS sebagai "kesepakatan abad ini", mendapat penolakan dari pemimpin politik serta warga sipil Palestina. Alasannya, karena sangat bias mendukung Israel.

"Itu bukan rencana perdamaian, melainkan syarat (bagi kami) untuk menyerah," kata Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad al Maliki, seperti dikutip dari situs trtworld.com. "Rakyat Palestina tak akan menerimanya, sebesar apapun uang yang akan ditawarkan."

Apa persisnya isi perdamaian yang dirancang AS belum diketahui. "Kami berharap mereka (AS) tidak tuli terhadap permohonan kami, buta terhadap pelanggaran Israel, dan memilih bisu terkait perdamaian yang fundamental."

Maliki menambahkan, ada sekitar 600 ribu pemukim Israel yang saat ini menghuni wilayah pendudukan di Tepi Barat.

Menurut dia, rakyat Palestina jadi korban. "Pengungsi Palestina berada dalam kondisi pengungsian terbesar dan paling berlarut-larut di dunia. Rakyat Palestina terus menanggung akibat dari pendudukan terlama dalam sejarah kontemporer," tambah dia.

 

Saksikan video terkait kiprah Indonesia di Dewan Keamanan PBB:


Respons AS dan Israel Sudah Diduga

Sebuah keluarga Palestina berbuka puasa di sebelah rumah mereka yang hancur selama eskalasi dua hari, di Rafah, Jalur Gaza selatan (8/5/2019). Perang yang terjadi antara Gaza dan Israel masih berlangsung hingga detik ini. (AFP Photo/Said Khatib)

Sepanjang Mei 2019, Indonesia berperan sebagai Presiden Dewan Keamanan PBB. "UN Peacekeeping" diangkat jadi tema besar. Meski demikian, isu Palestina tetap jadi fokus.

"Itu prinsipnya. Jadi apapun yang terjadi, dan apapun yang kita lakukan di berbagai forum internasional, khususnya selama kita menjadi anggota DK, kita mencoba mencari peluang untuk bisa mengangkat isu Palestina agar bisa menjadi perhatian dunia," kata Direktur Utama Timur Tengah Kementerian Luar Negeri RI, Rizal Purnama ketika dihubungi Liputan6.com melalui sambungan telepon, Jumat (10/5/2019).

Kemlu akan terus memastikan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia akan terus bisa meringankan beban rakyat Palestina. Selain itu, RI juga akan terus mengupayakan agar masyarakat internasional terus mendukung Palestina untuk mencapai perjuangannya. Untuk merdeka.

Terkait two-state solution atau solusi dua negara, Rizal menjabarkan besaran peluang tercapainya usaha perdamaian ini, melalui peran Indonesia sebagai presiden di DK PBB.

"Terkait dengan konflik Israel-Palestina, sudah ada parameter-parameter internasional yang harus dihormati oleh komunitas global. Sudah banyak resolusi DK PBB, maka harus kita hormati. Sudah banyak perjanjian damai, sudah disepakati dan harus kita jadikan rujukan," ujarnya.

"Masalahnya adalah ada pihak lain, selain Palestina, berusaha untuk lari dari berbagai kesepakatan atau parameter tersebut," imbuh Rizal.

Untuk itulah, kata dia, kemarin anggota-anggota DK PBB menggelar Arria Formula Meeting.

Pertemuan informal tersebut awalnya digagas oleh Duta Besar Venezuela Diego Arria. Kali pertama digelar untuk membahas krisis di Bosnia, pecahan Yugoslavia. 

"DK PBB itu nggak mudah kalau mau melakukan meeting. Harus dapat persetujuan. Tema yang mau diangkat harus dapat persetujuan. Siapa yang mau bicara harus dapat persetujuan dari seluruh negara anggota," jelas Rizal yang ikut hadir dalam rapat tersebut di New York.

"Jadi gagasan Arria Formula ini adalah sebuah bentuk kegiatan semi formal yang melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan seperti itu, sehingga kita bisa membahas sebuah isu dengan bebas, dan berbagai gagasan yang mungkin bisa jadi terobosan bisa kita eksplorasi," lanjutnya lagi.

Tema yang diangkat dalam Arria-formula Meeting kali ini adalah "Israeli Settlements and Settlers: Core of the Occupation, Protection Crisis and Obstruction of Peace."

Latar Belakang Arria Formula Meeting

Salah satu fenomena yang dianggap akan mengganggu jalannya two-state solution adalah selama ini Israel membangun permukiman ilegal di Palestina. Tujuannya, untuk secara de facto menguasai tanah Palestina.

Terkait respons Amerika dan Israel yang menentang pandangan Indonesia dalam pertemuan tersebut, menurut Rizal, itu sudah diduga sebelumnya. 

"Kalau respons seperti itu, kita sudah tahu. Makanya, kita mengadakan pertemuan dalam bentuk Arria Formula, sehingga kita tidak dijegal dari sisi prosedur. Sudah kami perhitungkan."

"Jadi, bukan masalah 'berani atau tidak berani', soalnya secara prosedur kita nggak bisa melakukan itu di chamber, di pertemuan resmi DK PBB. Maka yang kita lakukan di pertemuan informal DK PBB, walaupun AS atau Israel tidak setuju, mereka tidak bisa memblok apa yang kita mau," tegasnya.

Rizal menjelaskan, Jason Greenblatt, utusan Presiden Amerika Serikat yang hadir dalam Arria-Formula adalah 'arsitek' pilihan Donald Trump untuk menyusun "Deal of the Century", rencana perdamaian Israel-Palestina, yang bakal diajukan AS.

"Jadi, mereka menganggap gagasan Indonesia ini sangat penting. Meski tidak setuju dengan pandangan kita dan internasional, tapi pandangan kita tetap tidak bisa diintervensi oleh mereka dalam pertemuan itu."

Tak hanya Palestina, menurut Rizal, langkah RI menyampaikan pandangannya secara tegas adalah demi perdamaian di Timur Tengah di masa depan

Timur Tengah adalah salah satu kawasan yang paling bergejolak di muka Bumi. Konflik di Suriah dan Yaman tak kunjung usai. Libya yang sempat kondusif, kini kembali memanas. 

"Selama ada di DK PBB, kita ingin terus memastikan bahwa perkembangan-perkembangan ini ada perubahan. Masalahnya kan kompleks, terus berubah, problem di Timur Tengah tidak hanya masalah internal, jadi konfliknya sudah semakin tinggi," jelas Rizal.

Pertikaian yang ada di Timur Tengah, menurutnya, tidak hanya melibatkan faksi-faksi di dalam negara tersebut, tetapi juga memiliki dimensi regional dan global. Karena alasan inilah, Indonesia ingin terus memastikan bahwa rakyat di kawasan tersebut bisa tetap mendapat perhatian dunia.

"Kedua, kita ingin mendorong proses politik dalam negeri yang segera selesai, sehingga intervensi berbagai kekuatan asing bisa diminimalisasi. Selanjutnya adalah kondisi kemanusiaan di Timur Tengah yang sedang bergejolak bisa diatasi dengan segera, memisahkan antara isu politik dan kemanusiaan," tambah Rizal.

 


RI Bangkitkan Kekuatan Moderat

Meski tak terang-terangan menuding Indonesia, utusan khusus Presiden Donald Trump untuk Timur Tengah, Jason Greenbalt menyayangkan pertemuan di DK PBB yang membahas soal permukiman Israel. 

"Itu (sikap Greenbalt) sangat terkait dengan karakter presiden AS saat ini. Seharusnya mereka tahu bahwa ini bukan isu yang tiba-tiba diangkat. Kita (Indonesia) sudah sejak lama mengupayakan kemerdekaan Palestina, sehingga apa yang dibicarakan kemarin di DK PBB, adalah tindak lanjut dari isu tersebut, bukan mengada-ada," ujar Prof Tirta Tirta Nursitama, Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan.

Menurutnya, AS perlu lebih dulu melihat latar belakang Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, sehingga tahu di mana konteks pembelaan terhadap Palestina.

Indonesia, di sisi lain, seperti dikutip dari situs resmi Kemenlu RI, mengadakan sidang informal untuk membahas berbagai upaya lanjutan dalam memediasi berbagai konflik, khususnya tentak pemukiman Israel di wilayah Palestina.

Menlu Retno menyebut bahwa selain tekanan kuat dari masyarakat internasional untuk menyudahi permukiman Israel, diperlukan pula agenda duduk bersama untuk membahas upaya penyelesaian dengan cara moderat, melalui diplomasi.

Pernyataan Menlu RI itu diamini oleh Aleksius Djemadu, Guru Besar pada disiplin ilmu Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan. Dia menambahkan, posisi Indonesia sebagai Presiden DK PBB, seyogyanya digunakan sebagai kekuatan penengah.

"Dengan kata lain, Indonesia mampu menggunakan dengan baik posisinya untuk menjembatani penyelesaian konflik-konflik global, dengan mempertemukan negara-negara yang berkonflik untuk duduk berunding dalam satu meja. Ini sesuai dengan apa yang dimuat dalam pembukan UUD 1945, tentang peran bebas aktif," jelas Aleksius.

Masih menurut Aleksius, dengan posisi ganda Indonesia di DK PBB, baik sebagai anggota tidak tetap dan presiden sementara, memberikan rasa percaya diri untuk mengkampanyekan pendekatan damai dalam mengatasi berbagai konflik.

"Dengan posisi tersebut, Indonesia diharapkan mampu mendorong sikap proaktif, mengenalkan negara kita sebagai kekuatan moderat dalam melawan kekerasan, terorisme ... melalui diplomasi bebas aktif," pungkasnya.

Peran RI Sebagai Mediator Perdamaian

Ketua Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (PSKTTI UI), Yon Machmudi berpendapat, kepemimpinan RI di DK Keamanan PBB betul-betul dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia untuk mengangkat isu perdamaian di Palestina.

"Karena DK Keamanan PBB adalah tempat yang tepat untuk bisa melahirkan resolusi maupun hal-hal lain menyangkut apa yang terjadi di beberapa negara dan khususnya Palestina," kata dia saat dihubungi Liputan6.com.

"Tentu saja posisi Indonesia yang begitu kuat memperjuangkan perdamaian Palestina dan memberikan atensi penuh terhadap apa yang terjadi di Gaza, itu mengganggu Israel dan Amerika sebagai negara yang selama ini memang merestui apa yang dilakukan oleh Israel."

Di sisi lain, ia menambahkan, selama ini Palestina seakan ditinggalkan. Dunia Arab -- termasuk Arab Saudi dan Mesir tak menunjukkan perhatian yang besar. Atau, setidaknya, sebesar Indonesia.

Tak hanya berperan dalam perdamaian dunia, dengan mengirimkan pasukan penjaga perdamaian PBB, Indonesia bisa memanfaatkan momentum kepemimpinan di DK PBB untuk kembali menegaskan posisinya sebagai mediator perdamaian.

"Selama ini kita kan terkenal sebagai negara yang besar dalam menyumbangkan pasukan perdamaian di dunia. Peran-peran itu saya kira perlu lebih ditingkatkan dalam bentuk misi khusus yang bisa secara spesifik bertugas sebagai pihak yang akan melakukan mediasi, tidak hanya sebagai tentara penjaga perdamaian," kata Yon Machmudi.

"Dengan didorong oleh kepemimpinan Indonesia saat ini, saya kira peran Indonesia di Timur Tengah dan internasional akan menguat."

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya