Liputan6.com, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Sofyan Djalil mengatakan pemerintah akan memperbaiki peta sawit Indonesia. Ini dilakukan untuk mengatasi perbedaan data terkait lahan sawit di antara lembaga-lembaga pemerintah.
"Sekarang ini kan data sawit kan beda-beda. Itu mau diverifikasi kenapa, harusnya kan faktanya satu, datanya satu," kata dia saat ditemui, di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (10/5).
Menurut dia, perbedaan data lahan sawit yang terjadi antara satu lembaga pemerintah dengan lembaga yang lain diakibatkan karena perbedaan metodologi maupun teknik pengambilan data yang digunakan.
Baca Juga
Advertisement
"Oleh sebab itu ada LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), ada BIG (Badan Informasi Geospasial), Kementerian Kehutanan, ada ATR, ada Pertanian, masing-masing menyesuaikan apa referensinya sehingga terjadi perbedaan. Tapi sekarang ini ditugaskan kepada lapan, big, ATR," ungkapnya.
"Semua itu supaya mengkonsolidasikan dengan metode yang sama dengan teknik yang sama, informasi yang sama, pasti akan mengeluarkan data yang sama," imbuh dia.
Menurut dia, berdasarkan rapat koordinasi (Rakor), ditargetkan proses pembuatan satu peta sawit tersebut akan rampung pada akhir Agustus tahun ini.
"Itu mereka berkomitmen semua akan diselesaikan oleh BIG dan Lapan, pada akhir bulan Agustus," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Hindari Konflik Agraria, Pemerintah Harus Buka Data HGU Perkebunan Sawit
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) akan melayangkan protes pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Protes ini untuk menuntut keterbukaan data Hak Guna Usaha (HGU) lahan perkebunan.
Direktur eksekutif Nasional Walhi, Nurhidayati, mengungkapkan bahwa pada 6 Mel lalu Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution melalui Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian telah mengeluarkan surat terkait data dan informasi Kebun Kelapa Sawit.
Isi dari surat tersebut membatasi akses data dan informasi HGU kebun kelapa sawit ke publik dan menunda evaluasi perizinan perkebunan komoditas itu.
BACA JUGA
Nurhidayati menilai hal tersebut merupakan langkah mundur dan pembangkangan dari perintah presiden terkait penyelesaian konflik yang disampaikan dalam rapat terbatas pada Jumat 3 Mei lalu.
"Alih-alih melaksanakan review izin sebagaimana amanat Inpres 8 Tahun 2018 , belum ada satupun laporan publik terkait ini, yang muncul justru langkah mundur oleh pembantu-pembantu presiden," kata dia di kantor Walhi, Tegal Parang, Jakarta, Kamis (9/5/2019).
Salah satu akar masalah konflik agraria adalah terkait tumpang tindih HGU perusahaan dan tanah warga. HGU perusahaan berasal dari tanah publik seharusnya bisa diakses sangat mudah oleh publik.
"Kalau informasi soal HGU yang berasal dan publik tidak bisa diakses artinya memang ATR/BPN perlu dievaluasi oleh presiden, dalam kondisi ini presiden perlu bersikap tegas untuk menunjukkan keberpihakannya pada rakyat dan lingkungan hidup," ungkapnya.
Advertisement
Catatan KPK
Selain itu, dia menambahkan bahwa KPK punya catatan terhadap sektor sawit yang diklaim sebagai sektor strategis nasional ini. Disebutkan bahwa korporasi sawit punya catatan buruk terhadap kepatuhan pajak. Bahkan pada 2014 saat ekspor meningkat pajak dan sektor sawit justru menurun.
"Klaim bahwa terkait dengan petani kecil mudah sekali dipatahkan, mengingat komoditas ini sangat tergantung korporasi besar, penentuan harga hingga sebagian besar proses produksi dan ekonomi bukan di tangan petani, bahkan pengelolaan dana perkebunan sawit justru juga kembali pada korporasi," ujarnya.
Masih berdasar data KPK, disebutkan bahwa kebijakan pengelolaan dana perkebunan sawit yang seharusnya digunakan untuk pengembangan perkebunan sawit rakyat malah dialihkan untuk kepentingan pengembangan industri biodiesel berupa program subsidi kepada perusahaan biodiesel, yang didominasi penggunaannya oleh lima korporasi sawit berskala besar, yakni Wilmar Group, Musim Mas Group, Darmex Agro Group, First Resources, dan Louiss Dreyfus Company (LDC).
Padahal Mahkamah Agung sudah memutuskan agar pemerintah membuka data HGU sebagai informasi publik berdasarkan putusan bernomor register 121 K/TUN/2017," ujarnya.